Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sebuah Hikayat Bagi-bagi Hutan untuk Rakyat

"Yang ada di kantong saya 12,7 juta hektar," tegas Presiden Jokowi.

Sebuah cita-cita yang mengerucut dalam program yang kemudian diberi nama perhutanan sosial. Harapan yang mengemuka oleh fakta puluhan tahun di mana proporsi hak kelola masyarakat terhadap sumber daya hutan selama ini sangat kecil dibanding korporasi, sehingga kerap memicu konflik dan turut memperparah kesenjangan ekonomi.

Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan, dari 25.863 desa di dalam dan sekitar kawasan hutan, sekitar 71 persen hidupnya bergantung pada hutan. Dari jumlah itu, 10,2 juta jiwa warga yang tinggal di kawasan tersebut masuk kategori miskin.

Maka, beleid pun dibuat dalam rupa: Peraturan Menteri LHK Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial.

Pada intinya, beleid ini menegaskan sebuah sistem pengelolaan hutan yang dilaksanakan dalam hutan negara atau hutan adat oleh masyarakat setempat sebagai pelaku utama. Tujuannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk hutan desa, hutan tanaman rakyat, hutan rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan.

Singkatnya, dengan beleid ini, masyarakat di dalam dan sekitar hutan memiliki akses legal untuk mengelola sumber daya hutan selama 35 tahun secara lestari.

Lokasi perhutanan sosial diproyeksikan tersebar, mulai dari ekosistem pegunungan, dataran rendah, rawa gambut, hingga kawasan mangrove.

Program perhutanan sosial yang dihelat pemerintah kali ini seolah mendaraskan dua pemikiran besar, yang berpuluh-puluh tahun seakan begitu jauh dari paradigma pengelolaan hutan di negeri ini.

Pertama, inilah antitesis terhadap pengelolaan perhutanan modern, sekaligus pengakuan terhadap pengolaan tradisional masyarakat. Kedua, memindahkan penguasaan pengelolaan sumber daya dari perusahaan ke masyarakat.

Namun, rupanya kita masih harus menghunus kesabaran lebih untuk merasakan dampak dari kebijakan ini. Sebab, alih-alih percepatan penghapusan kemiskinan masyarakat di dalam dan sekitar hutan, realisasi distribusi lahan hutan hingga dua tahun program perhutanan sosial berjalan begitu lambat, serta masih sangat jauh dari target.

Hingga akhir Oktober 2017, sesuai keterangan yang disampaikan Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, dari 12,7 juta hektar target yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RJPMN) 2015-2019, baru sekitar 1,09 juta hektar, atau hanya 8,6 persen yang telah direalisasikan alokasinya untuk masyarakat.

Capaian itu terdiri atas 268 unit hak pengelolaan hutan desa (HPHD) seluas 494.600,83 hektar, 633 unit izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan (IUPHKm) seluas 255.741,67 hektar, izin usaha pemanfaatan hasil hutan pada hutan tanaman rakyat (IUPHHK-HTR) sebanyak 2.845 unit seluas 236.906,90 hektar, dan kemitraan kehutanan sebanyak 168 unit seluas 77.652,43 hektar.

Adapun untuk izin pemanfaatan hutan perhutanan sosial (IPHPS) telah terdata sebanyak delapan unit seluas 5.439,9 hektar dan hutan adat sebanyak 10 unit seluas 8.795,34 hektar.

Padahal, dalam RPJMN 2015-2019 telah ditetapkan, pada tahun 2017 ditargetkan tercapai setidaknya 7,6 juta hektar. Pada 2018, luasnya bertambah menjadi 10,1 juta hektar, sehingga pada 2019 diharapkan akan tercapai target secara keseluruhan, yakni 12,7 juta hektar.

Disparitas antara target dan capaian tersebut membuat banyak pihak mulai mempertanyakan tentang akurasi dan validitas angka 12,7 juta hektar tersebut. Sayangnya, hingga saat ini pemerintah belum mampu memberikan jawaban yang meyakinkan perihal besaran target tersebut.

Sejumlah sumber menyatakan, angka 12,7 juta merupakan perhitungan umum pemerintah dari 10 persen total luas hutan di Indonesia yang diperkirakan mencapai kisaran 120 juta. Namun, luasan hutan tersebut dibantah oleh sejumlah organisasi non-pemerintah yang meyakini bahwa hutan Indonesia saat ini tak lebih dari 80 juta hektar.

Kabar lain berembus bahwa 12,7 juta hektar merupakan akumulasi kasar dari perhitungan luas hutan dari beberapa sumber, antara lain hasil pemetaan hutan adat oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) seluas 6,2 hektar, Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) seluas 4 juta hektar, dan wilayah hutan kemasyarakatan (HKm) seluas 2,5 juta hektar.

Jika kabar ini benar, sesungguhnya angka 12,7 juta hektar belumlah luasan yang terverifikasi betul. Pertanyaannya, bagaimana bisa program berjalan di atas data yang demikian karut marut dan tak terekap dengan baik?

Diakuinya pula, angka 12,7 juta hektar yang disodorkan pada awal kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kallla tersebut tidak realistis untuk diwujudkan dalam kurun waktu 4-5 tahun (Sumber: Harian Kompas edisi 31 Oktober 2017, Target Perhutanan Sosial Sulit Tercapai).

Target luasan yang tertulis dalam Nawacita, menurut Siti, dihasilkan oleh tim transisi Jokowi-JK. Di awal program ini, Tim Transisi bahkan meminta agar pemerintah bisa membebaskan lahan untuk perhutanan sosial mencapai 40 juta hektar.

Angka 12,7 juta hektar itu selanjutnya diambil dan dimasukan begitu saja ke dalam RPJMN pemerintah tanpa verifikasi.

Sayangnya, meski ketidakakuratan telah disadari, kenyataannya angka tersebutlah yang kemudian tetap diulang-ulang pemerintah--bahkan oleh Presiden langsung--ketika berbicara tentang perhutanan sosial dalam berbagai kesempatan.

Di samping ketidakakuratan data, realisasi perhutanan sosial--seperti disinggung sebelumnya--juga jauh dari kata cepat. Distribusi lahan nyatanya tidak mudah.

Belakangan, Kementerian LHK kerap memunculkan target capaian perhutanan sosial yang dipandang realistis hingga akhir 2019 dari semula 12,7 juta hektar ke level sekitar 4,38 juta hektar.

Inkonsistensi data ini membuat sejumlah kalangan mulai beranggapan bahwa perhutanan sosial seakan lebih terdengar sebagai janji politik belaka daripada sebuah program yang disiapkan, disusun, dan dikerjakan persiapan teknis yang matang, terukur, serta serius.

Kisah yang berulang

Sebagai negara dengan sumber daya hutan yang luas dan kaya, sejak lama hutan mempunyai nilai politis yang tinggi. Maka, kebijakan kehutanan yang bersifat populis nyaris selalu hadir dari satu rezim ke rezim berikutnya.

Semestinya hal tersebut tidak menjadi masalah selama kebijakan yang ada dijalankan secara konsisten dan berkesinambungan, dengan didasari data yang terukur.

Sayangnya, seperti nasib kurikulum pendidikan, kebijakan sistem pengelolaan hutan pun kerap berubah-ubah sesuai selera rezim yang berkuasa ataupun pejabat yang sedang memegang kendali.

Jauh sebelum pemerintahan Jokowi-JK mengusung perhutanan sosial, sistem pengelolaan hutan semacam ini sebelumnya telah banyak dikenal dengan berbagai terminologi, seperti kehutanan masyarakat, sistem hutan kerakyatan, dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat.

Berbagai pengertian tersebut menunjukkan keberadaan masyarakat sebagai aktor utama dalam pengelolaan hutan. Diawali dengan program Mantri-Lurah (Ma-Lu) dan Magelang-Malang (Ma-Ma) yang digagas dan diselenggarakan Perum Perhutani pada tahun 1972, sebuah sistem pemanfaatan hutan bersama masyarakat sekitar dengan konsep tumpang sari.

Lalu, pada tahun 1980-an muncul program HPH Bina Desa. Program ini konon muncul sebagai upaya pemerintah saat itu untuk menghapus citra bahwa hutan hanya menguntungkan orang kaya atau korporasi besar yang dekat dengan pusat kekuasaan.


Berangkat dari kebutuhan masyarakat hutan atas akses terhadap sumber daya dan keyakinan bahwa masyarakat mampu mengelola hutan dengan lebih baik, sejumlah organisasi masyarakat sipil dan perguruan tinggi di Indonesia sejak pertengahan 1990-an mempromosikan pengelolaan hutan berbasis masyarakat.

Memasuki dekade 1990-an, muncul Surat Keputusan Menteri Kehutanan 251 Tahun 1993 tentang Pemanfaatan Hasil Hutan oleh Masyarakay Adat. Lalu, pada 1995 melalui SK Menhut Nomor 622 muncul ketentuan mengenai HKm.

Setelah itu, memasuki era reformasi, aturan baru tentang perhutanan sosial (atau nama yang sejenisnya) datang silih berganti sebanyak enam kali.

Hingga akhirnya memasuki era pemerintahan Jokowi–JK, di mana target perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar masuk di dalam rencana strategis pembangunan sektor kehutanan, yang merupakan penjabaran dari RPJMN 2015-2019.

Meski masih meleset dari target, sesungguhnya kebijakan perhutanan sosial di era Pemerintahan Jokowi-JK ini patut diapresiasi, terutama di tengah persoalan ketimpangan ekonomi yang sangat mendesak untuk mendapatkan jawaban dan solusi.

Namun, akurasi data target luasan perhutanan sosial yang masih dipertanyakan dan realisasi distribusi lahan yang masih jauh dari target (bahkan target yang paling realistis sesuai Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial/PIAPS, yaitu 4,38 juta hektar) juga menunjukkan bahwa saat ini belum saatnya bagi Kementerian LHK dan para pendukung perhutanan sosial untuk bernapas lega. Tugas berat untuk mencapai target luasan perhutanan sosial pada tahun 2019 masih sangat besar.  

Setidaknya ada empat hal yang harus diperhatikan betul untuk menyelesaikan tugas berat tersebut. Pertama adalah tentang prosedur panjang perizinan perhutanan sosial.

Mengacu pada Permen LHK No 83 Tahun 2017, perizinan perhutanan sosial berada di tangan Menteri Kehutanan dan dapat dilimpahkan kepada gubernur dengan persyaratan tertentu, di antaranya adalah tercantumnya perhutanan sosial dalam RPJM provinsi dan/atau adanya anggaran perhutanan sosial di provinsi.

Meskipun peluang pelimpahan itu ada, sampai sekarang pelimpahan kepada gubernur tersebut belum pernah diberikan oleh Menteri LHK. Untuk mempercepat perluasan perhutanan sosial, pemangkasan prosedur perizinan ini seharusnya dapat dipertimbangkan.

Peran Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan dinas kehutanan provinsi juga harus didorong. Verifikasi lapangan sudah saatnya didesentralisasikan kepada KPH atau dinas kehutanan provinsi setempat.

Keberadaan Balai PSKL yang hanya ada lima unit tentu akan terbantu apabila proses verifikasi dapat dilimpahkan kepada KPH atau dinas kehutanan setempat.

Kedua, pemerintah harus mulai konsisten dengan target perhutanan sosial yang realistis dan terukur. Selain tak memiliki dasar perhitungan yang pasti, angka 12,7 juta hektar juga terlampau bombastis dan cenderung sebagai angka politis belaka daripada sebuah target realistis.

Angka 4,38 juta hektar yang dikemukakan Menteri LHK sebagai target yang tak muluk-muluk lebih patut dicatat, meski sangat mungkin hingga akhir 2019 pencapaian luasan perhutanan sosial tak akan lebih dari 2,5 juta hektar, khususnya dari luasan penerbitan izin HKm yang sudah dicadangkan sebelumnya.

Data yang tak terukur akan membuat perencanaan, strategi, dan detail pelaksanakaan perhutanan sosial di lapangan akan menemui kerumitannya.  

Ketiga, keterbatasan sumber daya manusia di Kementerian LHK dan anggaran yang minim membuat proses verifikasi di tingkat tapak berjalan lamban. Sebagai program yang diharapkan menyelesaikan persoalan ketimpangan sosial ekonomi, program perhutanan sosial belum mendapat perhatian yang memadai dari pemerintah.

Berdasarkan data di KLHK, telah terjadi penurunan anggaran untuk mendukung program perhutanan sosial, yakni Rp 308,12 miliar untuk 2015, Rp 249,58 miliar untuk 2016, dan Rp 165,17 miliar untuk 2017. Padahal, menurut perhitungan Indonesia Budget Center (IBC), minimal Rp 830 miliar per tahun yang dibutuhkan untuk penyiapan perhutanan sosial.

Untuk mengatasi tantangan keterbatasan sumber daya manusia dalam penyiapan perizinan sosial tersebut, peran desa dan KPH bisa menjadi solusi. Sudah saatnya Kementerian LHK bekerja sama secara lebih erat dan lebih sistematis dengan Kementerian Desa, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten untuk mendorong desa-desa yang wilayahnya tercantum dalam PIAPS untuk mengajukan hak pengelolaan hutan desa, sebagai skema perhutanan sosial yang paling relevan dengan desa.

Keempat, konsistensi dan penyiapan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Alih-alih menyapu ketimpangan ekonomi, berbagai kebijakan perhutanan sosial yang telah dilaksanakan sejak pertengahan 1970-an tersebut layu sebelum berkembang.

Persoalan utamanya adalah ketiadaan kesinambungan kebijakan. Setiap pergantian rezim atau pejabat, kebijakan pun berubah.


Di samping itu, penyiapan kapasitas dan aspek manajerial masyarakat secara serius terkait dengan implementasi perhutanan sosial umumnya juga sangat minim. Sayangnya, parade kegagalan tersebut tak juga membuat pemerintah mau belajar dari masa lalu.

Sejauh ini, kesan yang masih kuat dari kebijakan perhutanan sosial baru kepada upaya distribusi atau bagi-bagi lahan. Aspek kunci, yakni peningkatan kemampuan masyarakat di dalam dan sekitar hutan dalam pengelolaan kawasan, belum banyak disentuh.

Hal ini tentu berbahaya. Tanpa keterampilan dan kesiapan manajerial masyarakat atau kelompok masyarakat dalam mengelola sumber daya hutan secara lestari, program perhutanan sosial rasanya akan sangat sulit memberi daya ungkit kesejahteraan bagi mereka.

Yang terjadi kemudian adalah penyimpangan pengelolaan, seperti yang selama ini sering terjadi (termasuk dalam pengelolaan HKm), di mana investor atau korporasi besar, khususnya sawit, mengambil alih pengelolaan lahan hutan dari tangan masyarakat yang tak siap secara manajerial dan permodalan.

Koordinasi dan kerja sama yang baik oleh semua pihak, data yang akurat, penyelesaian pekerjaan rumah pasca-perizinan, dan konsistensi kebijakan akan menghindarkan program perhutanan sosial kali ini kembali jatuh sebagai kisah lama yang terulang kembali: layu sebelum berkembang.

Perhutanan sosial harus benar-benar dikibarkan sesuai haribaan tujuannya: hikayat untuk pemerataan kesejahteraan rakyat, dan bukan kisah lain tentang liberalisasi hutan dalam bentuk bagi-bagi lahan.

https://ekonomi.kompas.com/read/2017/12/05/070800726/sebuah-hikayat-bagi-bagi-hutan-untuk-rakyat

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke