Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tantangan Fiskal pada Tahun Politik

Apa yang terjadi pada 2017 mungkin bisa memberikan gambaran paling aktual bahwa mengelola fiskal tidaklah mudah di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi. Banyak pencapaian yang patut diapresiasi, tetapi tidak sedikit pula yang perlu dikritisi.

Dari sisi makro, berbagai indikator ekonomi menunjukkan tren positif. Pertumbuhan ekonomi terjaga di kisaran 5 persen,  inflasi berhasil ditekan di bawah 4 persen, ekspor-impor tumbuh dua digit untuk pertama kalinya dalam lima tahun terakhir, pun demikian dengan investasi yang tumbuh di atas 7 persen untuk kali pertama dalam kurun yang sama.

Sayangnya, konsumsi rumah tangga melandai dan belanja pemerintah belum cukup mampu mengompensasi pelemahan.

Apabila melihat tingkat penyerapan anggaran, belanja pemerintah pada 2017 sebenarnya tergolong cukup baik jika dibandingkan dengan capaian tahun-tahun sebelumnya, terutama dari sisi belanja modal yang diklaim mencatatkan penyerapan anggaran tertinggi dalam tiga tahun terakhir (92,8 persen). Hal ini sejalan dengan kebijakan agresif pemerintah terkait pembangunan infrastruktur.

Dari sisi penerimaan negara, secara total mencatatkan realisasi 95,4 persen dari target APBN-P 2017. Pencapaian yang cukup baik jika dibandingkan dengan tingkat realisasi beberapa tahun terakhir. Namun, ada sejumlah catatan yang harus menjadi perhatian, terutama terkait shortfall penerimaan pajak meski sudah dibantu dengan tax amnesty.

Pajak—kontributor terbesar penerimaan negara—menjadi pos paling kritikal untuk dicermati. Di tengah kondisi ekonomi yang relatif stabil, setoran pajak 2017 hanya meningkat 4 persen dari perolehan tahun lalu. Pencapaian tersebut jauh di bawah pertumbuhan alamiah yang seharusnya, yakni pertumbuhan ekonomi plus inflasi.

Namun, yang amat disayangkan, PPh non-migas yang punya bobot sumbangan lebih dari 50 persen justru minus 5,27 persen.

Euforia tax amnesty yang memudar disinyalir menjadi penyebab rendahnya setoran PPh non-migas pada 2017. Program amnesti pajak yang hanya berlangsung di tiga bulan pertama 2017 dinilai tidak sebanding perannya dibandingkan dengan implementasi program serupa di enam bulan terakhir 2016 yang penuh euforia pengampunan.

“Coba saja hilangkan sumbangsih penerimaan yang berasal dari program amnesti pajak (uang tebusan dan PPh revaluasi asset), seharusnya penerimaan pajak 2017 dapat tumbuh hampir 16 persen.”

Itu pembelaan pemerintah, yang merujuk pada basis penerimaan pajak 2016 yang cukup tinggi berkat tax amnesty. Sebuah perspektif yang diputar dan terkesan mundur jika dibandingkan dengan optimisme awal pemerintah, bahwa salah satu tujuan tax amnesty adalah meningkatkan basis dan penerimaan pajak.

Meski begitu, neraca fiskal terjaga dengan baik pada 2017. Defisit anggaran yang sempat diproyeksi mencapai 2,92 persen terhadap PDB berhasil dijaga di kisaran 2,57 persen pada akhir tahun.

Efisiensi belanja pegawai dan belanja barang yang dilakukan pemerintah juga cukup mengurangi efek dari shortfall penerimaan. Realisasi belanja negara pada 2017 tercatat Rp 2.001,6 triliun atau  93 persen dari target yang ditetapkan dalam APBN-P 2017.

Bonus Harga Minyak

Optimisme muncul pada 2018 jika melihat tren peningkatan harga-harga komoditas dan permintaan global, terutama harga minyak yang pada tahun lalu memberikan windfall profit ke kas negara dalam bentuk setoran PPh migas yang melonjak.

Aktivitas ekonomi yang diprediksi akan lebih baik diyakini akan memberikan ruang dan peran fiskal yang lebih besar, baik dari sisi belanja maupun penerimaan negara. Berbekal optimisme tersebut, target penerimaan negara dan alokasi anggaran belanja negara ditetapkan pada level yang cukup ambisius di APBN 2018.

Berdasarkan waktu pencatatan 8 Januari 2018, realisasi penerimaan pajak 2017 sebesar Rp 1.151,1 triliun atau shortfall Rp 132,5 triliun dari target.

Apabila melihat potensi pertumbuhannya—baik yang 11 persen maupun yang 23,7 persen— maka target penerimaan pajak tahun ini di atas pertumbuhan alamiah (pertumbuhan ekonomi + inflasi) 8,9 persen. Jika tercapai, itu yang dikatakan dengan extra effort.

Dalam beberapa kesempatan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati secara terang-terangan meminta aparat pajak untuk menjaga iklim investasi dan dunia usaha tetap kondusif. Untuk itu, upaya mendorong penerimaan pajak diharapkannya tidak menimbulkan kegaduhan.

Pertanyaannya kemudian, apakah target penerimaan pajak 2018 realistis untuk bisa dicapai?

Realistis atau tidak realistis itu tergantung dari upaya dan strategi yang akan dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menghimpun sebanyak-banyaknya setoran pajak. Kalau pakai cara-cara klasik atau tanpa terobosan apa pun, target tersebut menjadi mustahil untuk bisa dicapai.

Lihat saja tren pertumbuhan penerimaan pajak dalam lima tahun terakhir yang kecenderungnya semakin turun—dari 10,2 persen pada 2013 menjadi 3,8 persen pada 2017.

Tren pertumbuhan penerimaan pajak 2013-2017

Karenanya, butuh terobosan kebijakan untuk melengkapi cara-cara mainstream yang selama ini dilakukan otoritas pajak. Misal, dengan mengefektifkan Program Pengungkapan Aset Sukarela dengan Tarif Final (PAS-Final) yang pelaksanaannya tidak terbatas waktu.

Meski tidak sebaik tax amnesty, fasilitas ini setidaknya memberikan tarif pajak yang lebih ringan bagi Wajib Pajak untuk mendeklarasikan harta yang selama ini belum diungkap tanpa khawatir dikenakan sanksi administrasi.

Apabila Wajib Pajak diberikan fasilitas, maka di sisi lain fiskus harus memaksimalkan tugas dan fungsinya dengan mengoptimalkan implementasi dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2017.

Beleid tersebut merupakan tindak lanjut dari program amnesti pajak, yang mengatur pengenaan PPh atas penghasilan tertentu berupa harta bersih yang dianggap sebagai penghasilan. Artinya, jangan hanya mengandalkan data yang terkumpul tetapi juga harus mampu menggali potensi-potensi pajak baru.

Komitmen Indonesia untuk mengimplementasikan perjanjian pertukaran data dan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan atau Automatic Exchange of Information (AEoI) juga bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan basis pajak.

Ada pula peluang dari perubahan format dokumentasi transfer pricing, yang mewajibkan grup usaha untuk melaporkan pula Country by Country (CBC) Report. Perubahan ini dapat membuka potensi pajak yang cukup besar selain untuk meredam aksi penghindaran pajak oleh korporasi.

Hal ini terkait pula dengan kesiapan sistem perpajakan berbasis teknologi informasi (TI) yang mumpuni. Terlebih lagi, pertumbuhan pesat bisnis e-commerce menciptakan banyak varian transaksi perdagangan baru yang sulit terekam oleh sistem perpajakan konvensional.

Selain sistem perpajakan berbasis TI yang canggih, regulasi pendukung juga harus segera disiapkan pemerintah. Revisi paket UU perpajakan bisa menjadi jalan masuk bagi pemerintah untuk bisa memajaki objek-objek transaksi ekonomi baru yang selama ini lepas dari pantauan DJP (underground economy).

Sekadar mengingatkan, revisi paket UU Perpajakan erat kaitannya dengan agenda melanjutkan reformasi perpajakan, yang antara lain meliputi perbaikan sistem kelembagaan; peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan penyempurnaan aturan perpajakan.

Amandemen UU tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), dan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), merupakan agenda lama yang sudah menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak tahun lalu.

Belajar dari pengalaman dan tarik-ulur politik di parlemen, pembahasan satu undang-undang saja bisa menguras energi dan menghabiskan waktu yang tidak sebentar. Bayangkan, membahas ketiga UU Perpajakan tersebut merupakan tugas berat untuk tuntas pada tahun ini.

Kalaupun dipaksakan selesai, jangan sampai secara substansi justru menciptakan kemunduran kebijakan di bidang perpajakan.

Bicara soal kebijakan ekonomi, yang tak bisa dipisahkan dengan proses politik anggaran, ujian pemerintah akan bertambah berat pada 2018. Meski pemilihan umum baru akan dihelat pada tahun depan, tapi banyak kalangan memprediksi pemanasan suhu politik akan mulai terasa pada tahun ini.

Suhu politik ditengarai meningkat terutama di Pulau Jawa, terkait Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2018, mengingat  hajatan demokrasi digelar di tiga tiga provinsi besar di pulau ini, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Di sinilah fokus pemerintah diuji untuk membuktikan bahwa instrukti Presiden Joko Widodo, “Kerja..kerja..kerja,” bukan hanya sebatas slogan.

https://ekonomi.kompas.com/read/2018/01/15/105627326/tantangan-fiskal-pada-tahun-politik

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke