Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menyoal Utang Indonesia

"Sudah lampu kuning, sudah gali lubang tutup jurang karena primary balance negatif, debt service ratio sudah 39 persen, tax ratio hanya 10 persenan karena pengelolaan fiskal tidak prudent (ugal2an)," demikian penggalan pandangan Rizal dalam Facebooknya, tentang kondisi utang negara saat ini.

Selain Rizal, Kepala Divisi Advokasi dan Hukum DPP Partai Demokrat, Ferdinand Hutahean, bahkan menantang Presiden Joko Widodo untuk membuka riwayat data utang negara.

Hal itu menanggapi pernyataan Presiden saat berpidato di Bogor, beberapa waktu lalu, yang mana Jokowi menyinggung utang yang sudah ada sejak dirinya belum memimpin.

"Kalau bunga utang jd utang, berarti pak @jokowi tdk pernah bayar cicilan dan bunga utang negara sehingga di konversi jd utang? Trus utang2 yg bertambah di era bapak itu bkn utang negara? Mk itu perlu pak Presiden membuka data utang kita secara terbuka," sebut Ferdinand melalui akun Twitter miliknya, @LawanPoLitikJKW.

Kementerian Keuangan mencatat, jumlah utang negara mencapai angka Rp 4.000 triliun. Angka itu  masih di bawah 30 persen rasio terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Berdasarkan Undang-Undang Keuangan Negara, posisi utang Indonesia terpantau masih di bawah batas maksimal yang diterapkan, yakni 60 persen terhadap PDB.

"Artinya, Indonesia masih mempunyai kemampuan untuk membayar utang sebanyak tiga kalinya," kata Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti, beberapa waktu lalu.

Pandangan Ferdinand soal utang dan bunga utang berhubungan dengan pernyataan Rizal mengenai keseimbangan primer. Menurut Rizal, keseimbangan primer Indonesia yang masih negatif berarti sama saja dengan membayar bunga utang negara dengan utang yang baru.

Keseimbangan primer adalah penerimaan negara dikurangi belanja, di luar pembayaran bunga utang.

Berdasarkan data yang ada, keseimbangan primer Indonesia memang masih negatif, yakni minus Rp 121,5 triliun pada 2017. Menurut Nufransa, pemerintah telah mengalami defisit keseimbangan primer sejak 2012 dan terjadi penurunan angka defisit dari lima tahun terakhir.

Sebagai gambaran, keseimbangan primer 2013 minus Rp 98,6 triliun, 2014 minus Rp 93,3 triliun, 2015 minus Rp 142,5 triliun, dan 2016 minus Rp 125,6 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya menyatakan pihaknya berkomitmen menurunkan defisit keseimbangan primer hingga sampai titik seimbang, bahkan surplus.

Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro, ada dua cara untuk mencapai keseimbangan primer, yaitu menurunkan belanja atau meningkatkan penerimaan. Jika belanja diturunkan, dampaknya akan mengganggu pertumbuhan, sehingga yang ditempuh pemerintah adalah meningkatkan penerimaan.

Dalam hal penerimaan, tax ratio pada 2017 tercatat sebesar 10 persen. Tax ratio merupakan perbandingan jumlah penerimaan pajak dengan PDB. Untuk tax ratio, diakui Nufransa masih agak kecil dibandingkan negara lain karena di Indonesia belum memperhitungkan pajak daerah serta jaminan sosial.

Nufransa mengatakan, pemerintah telah menjalankan reformasi perpajakan setelah program tax amnesty selesai, dalam rangka meningkatkan tax ratio. Reformasi perpajakan dibarengi dengan reformasi di bea dan cukai.

"Inipun dilakukan secara hati-hati, disertai perbaikan pelayanan oleh Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai agar tidak memperlemah pertumbuhan ekonomi. Itu jelas bukan program ugal-ugalan," sebut dia.

https://ekonomi.kompas.com/read/2018/04/09/125200026/menyoal-utang-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke