Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Rupiah Masih Tertatih-tatih

Bahkan dalam pasar spot Bloomberg, rupiah terdepresiasi hingga 98 poin atau 0,7 persen menjadi Rp 14.156 per dollar AS pada Jumat (18/5/2018) dari penutupan sebelumnya Kamis (17/5/2018).  Rupiah telah melemah 4,43 persen sejak awal tahun.

Melemahnya rupiah menurut pemerintah dan ekonom, disebabkan oleh faktor eksternal, dengan menguat dollar AS, seiring dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat.

Selain itu juga kondisi geopolitik global yang terus mengalami gejolak dan harga komoditas minyak mentah dunia terus meningkat dalam beberapa pekan terakhir.

BI naikkan suku bunga

Untuk memberikan vitamin kepada rupiah, Bank Indonesia akhirnya, memutuskan kenaikan suku bunga acuan BI 7 days Reverse Repo Rate 25 basis point (bps) menjadi 4,5 persen, yang efektif belaku pada Jumat (18/5/2018).

Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, langkah ini diambil sebagai salah satu upaya BI untuk menjaga stabilitas perekonomian Indonesia di tengah kondisi ketidakpastian global.

"BI ingin meyakini adanya depresiasi ataupun ekspetasi defisiasi yg dapat menimbulkan resiko kepada inflasi dan kita tidak ingin depresiasi ini berdampak kepada infalsi dan akhirnya berdampak kembali kepada depresiasi," ujarnya dalam konferensi pers di Bank Indonesia, Kamis (17/5/2018).

Pasar masih menunggu

Selepas BI kenaikan suku bunga, dibuka menguat tipis di level Rp 14.053 per dollar AS, namun pada hari itu pula rupiah terus melorot.

Ekonom dari Institute for Development Economic and Finance ( INDEF) Eko Listiyanto mengatakan, investor masih menghitung kemungkinan kenaikan Fed Fund Rate di bulan Juni mendatang.

Sehingga, mereka memilih untuk menahan untuk mengalirkan dananya ke Indonesia meski BI telah meningkatkan suku bunga kebijakannya. Selain itu, suku bunga kebijakan obligasi AS, US Treasury sebesar 3,1 persen juga dinilai menjadi pertimbangan lain bagi investor.

Ditambah, kemungkinan kenaikan Fed Fund Rate yang diekspektasikan terjadi pada bulan Juni mendatang, diperkirakan akan mendorong imbal hasil US Treasury.

"Jika dibandingkan Indonesia, investor akan tetap memilih AS karena lebih liquid. BI rate nggak akan serta merta menaikkan nilai tukar rupiah karena pasar bermain di ekspektasi," ujarnya kepada Kompas.com, Jumat (18/5/2018).

Sementara itu, Chief Economist Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih mengatakan, rupiah saat ini memang berada pada kondisi yang rentan secara psikologi, dan jika sudah menyentuh level Rp 14.300, akan rupiah akan sangat mudah untuk terdepresiasi lebih jauh.

"Secara technical, kalau ada isu negatif sedikit terkait menguatnya dollar, gampang sekali (rupiah melemah), jadi memang saat ini rawan secara psikologis," ucapnya.

Dia menyebut, jika tujuan BI meningkatkan suku bunga adalah untuk sebatas menjaga stabilitas rupiah, maka 25 bps tidaklah cukup. Namun, jika harus meningkatkan lebih dari 25 bps, BI harus mempertimbangkan kembali dampaknya terhadap keamanan perekonomian secara keseluruhan.

"Keputusan ini perlu diambil untuk memperlihatkan bahwa BI ada di pasar. Mungkin efeknya belum terlihat sekarang. Kalau untuk ngejar rupiah, 25 bps enggak cukup," sebutnya,

Adapun Chief Economist Bank Mandiri Anton Hermnasysah menilai,  saat ini rupiah telah keluar jauh dari nilai fundamentalnya atau undervalued.

Menurut dia, rupiah dapat kembali menguat hingga level Rp 13.800 di akhir tahun.

"Kita tidak memperkirakan akan naik di atas Rp 14.000 bahkan Rp 15.000, kecuali jika ada kesalahan policy atau hal-hal di luar kontrol seperti kerusuhan," ujarnya.

https://ekonomi.kompas.com/read/2018/05/21/070100626/rupiah-masih-tertatih-tatih

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke