Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kisah dari Pelosok Papua, Sulit Akses Air Bersih hingga Perekonomian yang Nyaris Mati

Sementara untuk jalur darat, siap-siap saja berjalan kaki sekitar 2 hari dari Kabupaten Yahukimo. 

Untuk melakukan perjalanan dengan kaki pun, medan yang harus ditempuh adalah jalanan beralaskan tanah dengan bebatuan yang licin.

Perjalanan melalui jalur udara juga tidak kalah menantangnya. Distrik Puldama yang dikelilingi pegunungan membuat pesawat tidak bisa terbang jika lewat dari pukul 14.00 WIT lantaran kabut sudah mulai turun di daerah tersebut. 

Selain itu, air strip atau landasan pesawat yang ada pun sangat sederhanya. Hanya berupa tanah lapang dengan panjang kira 600 meter beralaskan rumput dan bebatuan. Tak heran, tidak semua pilot bersedia terbang di kawasan ini.

Asal tahu saja, air strip ini dibangun secara swadaya oleh masyarakat Puldama selama 9 tahun.

Distrik Puldama sendiri terdiri atas 8 kampung yang tersebar mengelilingi air strip. Nama-nama kampung tersebut adalah Kampung Puldama, Kampung Kasen, Kampung Bakuo, dan Balumbok. Ada pula Kampung Memla, Kampung Manbola, serta Ilsok.

Karena itu tidak heran, meskipun berada pada satu distrik, untuk bisa menjangkau antara satu kampung dengan kampung lain harus melalui jalan-jalan setapak berbatu serta tebing. Bahkan, ada satu kampung yang berlokasi di balik gunung.

Petrus Simalya, pendeta yang melayani gereja di Distrik Puldama bercerita, dalam sebulan, belum tentu ada pesawat yang singgah di kawasan tersebut. Terang saja, setiap kali ada pesawat yang mendarat di air strip Puldama, masyarakat sekitar distrik, bahkan yang kampungnya berada di puncak pun, langsung berbondong-bondong menghampiri air strip yang juga sekaligus menjadi ruang sosial bagi warga distrik Puldama.

"Hanya pesawat jenis perintis seperti Kodiak atau Caravan saja yang bisa masuk. Isi 7 sapai 12 penumpang, itu juga tak setiap hari ada. Biasanya hanya ketika ada acara-acara besar gereja. Pilot pun tak banyak yang berani mendarat di sini," ujar dia kepada Kompas.com, Sabtu (11/8/2018).

Sulitnya Akses Air Bersih

Selain hampir tidak tersentuh listrik, akses masyarakat terhadap air bersih juga cukup sulit. Sumber air bersih yang cukup jauh, sekaligus medan yang sulit membuat banyak dari warga distrik Puldama yang menampung air hujan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Sumber air yang berada sekitar 2 km di atas tebing pun tidak selalu mengalir lancar. Untuk bisa mengakses sumber air tersebut, masyarakat pun bahu-membahu menyambung selang.

Perkara mandi memang menjadi tak penting. Bukan hanya karena udara yang dingin, kebutuhan minum menjadi hal utama yang harus dipenuhi.

Rimba (19) salah satu warga di kampung aksen mengatakan, kebutuhan minum warga Puldama tak begitu banyak. Mereka umumnya hanya minum selepas makan di pagi, siang dan malam hari.

"Kami memang tak banyak minum, air kan sedikit. Jadi memang hanya minum setelah makan saja," ujar dia.

Jangan pula bicara soal kebutuhan air untuk sanitasi. Di satu distrik, hanya ada satu kamar mandi yang memiliki toilet. Itu pun milik keluarga pendeta. Tidak sembarang warga bisa menggunakan kamar mandi tersebut.

Kegiatan Ekonomi yang Nyaris Mati

Tak berhenti di situ, masih banyak warga Puldama yang tidak mengenal uang. Mau mencari warung di distrik ini? Jangan harap. Mie instan saja menjadi barang mewah dan dibanderol Rp 10.000 hingga Rp 15.000 setiap bungkusnya.

Sebab, untuk bisa membawa mie instan ke distrik ini, perlu menyewa pesawat perintis dan membayarnya pulang pergi. Sekali terbang, pesawat perintis jenis apapun, umumnya dihargai sekitar Rp 10,8 juta.

Maka dari itu, warga Puldama hanya bisa merasakan tanaknya nasi serta sedapnya mie instan ketika ada acara-acara besar gereja saja.

Mirka (20) mengungkapkan bahwa warga Puldama mengandalkan kebun keluarga untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Uang jadi tak berharga di sini.

"Kami makan pakai ubi, talas, labu siam, jagung, kemudian kunyah tebu untuk sehari-hari. Semua dari kebun sendiri," ujar dia.

Setiap keluarga di Puldama, memiliki kebun yang ditanami bahan pangan secara tumpang sari. Apa saja yang bisa dimakan, maka akan ditanam.

Namun, ada pula beberapa warga yang memelihara hewan seperti ayam hutan, kelinci, dan babi. Ketika ditelisik, ternyata dana desa yang didapatkan untuk membangun infrastruktur desa, sebagian dibagikan ke masyarakat.

"Itu babi dan kelinci beli ketika dapat uang dari desa," ujar Mirka.

Mama Dina, yang tak lagi ingat berapa usianya, menjelaskan, satu babi kecil bisa dihargai Rp 10 juta hingga Rp 15 juta. Sedangkan babi yang sudah dewasa akan dihargai hingga Rp 30 juta.

Sedangkan ayam bisa seharga Rp 120.000 per ekor untuk ukuran kecil, dan kelinci biasanya dihargai sekitar Rp 200.000.

"Biasanya dijual kalau butuh uang anak sekolah di Wamena atau Jayapura," ujar Mama Dina.

https://ekonomi.kompas.com/read/2018/08/14/155010326/kisah-dari-pelosok-papua-sulit-akses-air-bersih-hingga-perekonomian-yang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke