Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Atlet Asian Games, Jangan Lupa Menabung

Pemerintah mengklaim pemberian bonus itu merupakan yang tercepat dalam sejarah. Dalam kesempatan itu, Presiden secara simbolis menyerahkan buku tabungan berisi bonus kepada masing-masing atlet peraih medali emas, perak, dan perunggu.

Dalam gelaran Asian Games 2018 Indonesia total meraih 31 medali emas, 24 medali perak, dan 43 medali perunggu atau total 98 medali dan menduduki peringkat keempat negara peraih medali. Pencapaian tertinggi sepanjang keikutsertaan kontingen Indonesia dalam gelaran olahraga terbesar Asia empat tahunan tersebut.

Pemerintah menggelontorkan total dana hampir Rp 210 miliar tidak hanya untuk para atlet dan pelatih yang meraih medali, tapi juga atlet Indonesia yang tidak merebut medali memperoleh bonus.

Atlet peraih medali emas diberikan bonus Rp 1,5 miliar secara penuh dengan pajak sudah ditanggung. Adapun untuk pasangan atau ganda mendapatkan Rp 1 miliar per orang dan Rp 750 juta per orang untuk beregu.

Khusus untuk peraih medali emas, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimulyono menyatakan akan membangunkan rumah tipe 36 dengan kisaran harga Rp 70 juta-100 juta.

Tidak cukup sampai di situ, sejumlah pemerintah daerah (pemda) tidak mau ketinggalan memberikan bonus bagi para atlet yang berasal dari daerahnya walaupun jumlahnya tidak sebesar pemerintah pusat.

Tercatat di antaranya Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, sudah menganggarkan bonus bagi para atlet yang berhasil meraih medali pada Asian Games 2018 senilai total Rp 21,4 miliar dalam rapat pembahasan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) 2018 di Gedung DPRD DKI Jakarta, Selasa (28/8/2018).

Demikan juga dengan Bupati Garut Rudy Gunawan ketika diwawancara usai penyambutan atlet peraih medali emas di Garut, Senin (3/9/2018). Pemda Garut sudah menyiapkan bonus bagi para atlet peraih prestasi di Asian Games, meski besarannya belum bisa disebutkan lantaran ada mekanisme tersendiri.

Tabungan masa depan

Di media sosial tersebar sejumlah foto buku tabungan yang mencantumkan jumlah uang yang diterima oleh para atlet, satu baris print yang bagi sebagian besar pemilik tabungan merupakan sesuatu yang langka.

Para atlet tersebut kini menjadi salah satu nasabah pemilik uang di atas satu hingga dua miliar. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat pada Maret 2018 ada 252.341.846 rekening dengan saldo berjumlah maksimal Rp 2 miliar.

Jumlah itu tumbuh 0,69 persen dibandingkan posisi pada Februari 2018 yang terdata 250.615.670 rekening.

Lazimnya sebuah prestasi maka akan mengundang gelombang apresiasi, namun sejarah selalu mencatat bahwa semua itu pasti ada lekangnya.

Terlebih bagi seorang atlet yang banyak mengandalkan potensi tubuh, pasti akan ada senjakala mereka harus menepi karena usia.

Tergantikan oleh yang lebih energik dan kompetitif. Sebuah hal lumrah sesungguhnya dalam hukum alam yang terjadi di hampir semua profesi.

Pemberian bonus bukan sesuatu yang baru dalam dunia olahraga, sudah sering dilakukan sejak lama baik di level nasional seperti Pekan Olahraga Nasional (PON) hingga event multinasional seperti Olimpiade.

Namun seringkali kita juga menemukan berita pilu, di mana para atlet nestapa di ujung kariernya setelah bergelimang harta dan popularitas. Ada yang jatuh sakit, terjebak kesulitan hidup hingga terlilit hutang.

Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga secara global. Padahal beragam penghargaan pernah diraih dan bonus uang direngkuh semasa jaya. Selepas pensiun para atlet banyak yang jatuh miskin.


Majalah Time pernah menulis tentang 10 atlet sangat kaya yang kemudian dihantam kesusahan finansial dan beberapa diantaranya bangkrut.

Sebuah studi di Amerika Serikat (AS) yang dimuat di majalah Sports Illustrated pada 2009 pernah mengungkapkan sebuah data yang memperihatinkan. Sebanyak 78 persen pemain National Football League (NFL) atau liga untuk sepak bola khas Amerika Serikat bangkrut setelah dua tahun pensiun.

Seluruh catatan ini tentu saja tidak bermaksud merusak kebahagian para atlet yang telah menyumbangkan medali, namun sesungguhnya diharapkan menjadi pengingat sederhana di pojok gemerlap lapangan dan sorot kamera.

Lavallee & Grove (1997) mengidentifikasi bahwa individu dengan identitas atletik yang tinggi pada saat pensiun lebih mungkin mengalami tingkat kesulitan penyesuaian emosional yang lebih tinggi.

Bill Cole seorang pelatih dengan kinerja paling terkenal di dunia dan telah bekerja dengan banyak atlet, menemukan mereka harus berjuang untuk mencapai masa pensiun mereka.

Salah satu faktor penting adalah rasa kehilangan yang mendalam dalam hidup mereka para atlet setelah menghabiskan hari-hari mereka yang penuh persaingan dan kompetisi.

Russ Hafferkamp pendiri and CEO of the Athlete Success Network and Managing Director and Co-Founder of Career Athletes LLC mendefinisikan itu sebagai tunnel vision syndrome, yakni situasi ketika para atlet sepanjang kariernya menghabiskan terlalu banyak waktu hanya memikirkan pelatihan, persaingan dan hasil, namun selepas pensiun tidak siap dalam perspektif yang seimbang meniti peluang karir di "dunia nyata".

Bagi sebagian atlet periode transisi ini akan dijalani dengan mulus dan tanpa insiden, tapi bagi banyak atlet lainnya situasi tersebut akan menjadi pengalaman yang membingungkan dan membuat frustrasi.

Fenomena psikologis tersebut memengaruhi banyak atlet dalam berbagai tingkat pada tahap karier mereka. Seringkali pelatih, orangtua, dan agen olahraga profesional dapat melihatnya. Namun, atlet tidak menyadari bahwa mereka menderita tunnel vision syndrome ini.


Menjaga asa atlet

Besarnya bonus yang diterima oleh Atlet Asian Games telah menyampaikan pesan besar kepada khalayak bahwa dengan kerja keras, fokus, dan kesungguhan maka prestasi yang gemilang akan diraih.

Demikian juga pujian dan decak kagum publik direngkuh. Namun tidak ada pesta yang tidak akan berakhir, para atlet harus pandai-pandai merencanakan masa depannya.

Langkah Pemerintah memberikan prioritas kesempatan bagi para atlet peraih medali Asian Games 2018 menjadi pegawai negeri sipil (PNS) patut diapresiasi, meski tentu saja itu bukan satu-satunya solusi yang ampuh menjamin masa depan seorang atlet.

Perlu ada mekanisme karier yang jauh lebih sistematis dan terencana bagi seorang atlet yang sebisa mungkin tidak menjauhkan dirinya dari profesi awal. Setidaknya sebagai pelatih atau official sejenisnya, sehingga diharapkan akan jauh lebih memberikan manfaat bagi pengembangan olahraga nasional.

Selain itu, mendorong para atlet untuk secara cermat menggunakan uang bonus tentu bukan tindakan yang buruk. Semisal dengan disiplin menabung dan berinvestasi di sektor yang lebih produktif merupakan langkah bijak yang bisa dilakukan.

Mengatur secara bijak apa yang diraih hari ini tidak sekadar perkara yang konsumtif dan impulsif. Dalam llmu psikologi sikap impulsif melakukan sesuatu di luar rencana atau sebuah sikap yang tidak didukung alasan yang kuat dan pada umumnya tergolong irasional.

Selain itu, perlu pendampingan dan pengetahuan mengenai pentingnya perencanaan keuangan oleh para atlet dalam menunjang masa depannya.

Karena dalam banyak sebab, lemahnya manajemen keuangan dan perilaku yang konsumtif menjadi salah satu ‘pintu jebakan’ banyak atlet mengalami nasib yang buruk selepas pensiun.

Memang tidak ada yang bisa menebak arah nasib seseorang, namun merencanakan nasib baik tentu mutlak dilakukan oleh seorang atlet sekalipun.

Para atlet selain tekun dalam profesinya, perlu juga untuk tetap komitmen dalam meniti jenjang pendidikan. Suatu waktu nanti pendidikan tersebut dapat digunakan untuk menunjang masa depan mereka.

Terlebih saat ini mekanisme pendidikan tidak harus menempuh cara yang formal dan normal semata, cukup banyak cara yang bisa ditempuh sesuai dengan kesibukan atlet.

Pendidikan memang bukan segala-galanya, namun dari pendidikan semua bermula. Utamanya bagi seorang atlet sekalipun.

https://ekonomi.kompas.com/read/2018/09/09/140922226/atlet-asian-games-jangan-lupa-menabung

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke