Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pengelolaan Utang Negara Lebih Transparan, Pelemahan Rupiah Tak Separah 1998

Kondisi perbankan dinilai jauh lebih baik dengan rasio kecukupan modal  atau capital adequacy ratio (CAR) yang melebihi standar internasional.

Direktur Strategi Investasi dan Kepala Makroekonomi PT Bahana TCW Investment Management (BTIM) Budi Hikmat menjelaskan, pemerintah Indonesia sudah memiliki manajemen berutang yang lebih transparan dan cermat, defisit maksimal 3 persen dari PDB.

"Sistem nilai tukar fleksibel (flexible exchange rate) yang menyadarkan perusahaan akan bahaya risiko kurs mata uang bila berutang," jelas dia melalui keterangan tertulis, Senin (10/9/2018).

Baca: BI Tegaskan Kondisi Rupiah Saat Ini Jauh Berbeda dengan 1998

Dia menjelaskan, krisis mata uang lira Turki, Argentina, Brazil dan Afrika Selatan memberikan sentimen negatif terhadap rupiah di tengah dolar Amerika Serikat (AS) yang menguat karena ekonomi AS yang tumbuh tinggi. 

Di sisi lain, Indonesia juga mengalami defisit neraca berjalan dampak dari tingginya impor yang tidak dapat diimbangi kenaikan ekspor.

"Hal ini memunculkan lagi isu Indonesia sebagai bagian dari fragile five, negara rentan jatuh ke dalam krisis bersama dengan Turki, Brazil, India dan Afrika Selatan," lanjut Budi.

Defisit transaksi berjalan dan penguatan dolar yang signifikan merupakan dua pra-kondisi fundamental yang melandasi krisis moneter 1998. Budi pun meyakini perkembangan saat ini tak mengarah ke krisis ekonomi destruktif seperti krisis moneter era 1997-1998. 

"Krisis moneter 1997-1998 bermula dari krisis mata uang, dimana rupiah melemah secara tajam dan menjalar jadi krisis perbankan. Lumpuhnya fungsi intermediasi keuangan, tak hanya memperlambat pertumbuhan ekonomi, juga memicu kehancuran aset keuangan yang menjadi penopang kemakmuran bangsa," ujar dia.

Akibat Nilai Tukar Tetap

Lebih lanjut Budi menjelaskan, krisis nilai tukar rupiah 1998 dilandasi oleh rupiah nilai tukar rupiah mengalami overvalued yang dipertahankan melalui sistem nilai tukar tetap (fix exchange rate) atau dikendalikan pemerintah sehingga tak sejalan dengan tren penguatan dollar AS. Hal ini memicu aksi sektor korporasi dan perbankan untuk mengakumulasi utang luar negeri. 

Indonesia juga dinilai belum memiliki tata kelola utang negara khususnya luar negeri, dan penguatan sistem administrasi untuk pemungutan pajak. Apalagi mobilisasi pembiayaan bisnis dalam negeri non-perbankan melalui pasar modal juga terbatas. 

Kredit perbankan juga tinggi akibat lemahnya pengawasan perbankan. Kekeliruan perbankan dan berbahaya ketika itu adalah berutang valas jangka pendek untuk membiayai proyek investasi rupiah jangka panjang. 

Saat kurs rupiah melemah mengikuti mata uang regional, kondisi keuangan perusahaan dan perbankan memburuk drastis. Beban utang naik dan nilai aset turun. 

“Perbankan saat itu ibarat peribahasa nothing right in the left and nothing left in the right. Sebelah kiri jadi aset bodong. Sebelah kanan deposan menarik dana. Akibatnya, modal tergerus dan harus dibenahi melalui kebijakan rekapitalisasi perbankan yang sangat mahal biayanya,“ jelas Budi. 

https://ekonomi.kompas.com/read/2018/09/10/184000226/pengelolaan-utang-negara-lebih-transparan-pelemahan-rupiah-tak-separah-1998

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke