NEW YORK, KOMPAS.com - Permasalahan ekonomi di sejumlah negara emerging markets alias negara berkembang dan terus berlangsungnya perang dagang antara AS dan China dipandang berpotensi meningkatkan risiko krisis keuangan berikutnya. Hal ini menurut CEO sebuah perusahaan sovereign wealth fund Korea Selatan.
Dikutip dari CNBC, Senin (17/9/2018), CEO Korea Investment Corporation (KIC) Heenam Choi menyatakan, sejalan dengan ekonomi global yang terus tumbuh, bank sentral AS Federal Reserve dan sejumlah bank sentral lainnya ingin melakukan pengetatan kebijakan moneter. Ini berdampak pada likuiditas di sejumlah negara berkembang.
Gejolak likuiditas tersebut terjadi ketika kondisi ekonomi di sebuah negara menjadi ketat dan pengajuan pinjaman menjadi lebih susah. Akhirnya, konsumsi dan investasi menurut, berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang terpukul.
Suku bunga AS pun telah menanjak dan bank-bank sentral di seluruh dunia menjauh dari kebijakan pelonggaran yang diadopsi selama dan setelah krisis keuangan satu dekade silam.
"Selain (kondisi pengetatan ekonomi) itu, ada pula faktor-faktor non-ekonomi. Maksud saya, perang dagang, perselisihan perdagangan, risiko geopolitik bisa menjadi daftar faktor potensi yang berdampak pada ekonomi global," jelas Choi.
Ia juga menambahkan, menyelesaikan perang dagang antara AS dan China tak akan mudah.
"Terkait isu tersebut, saya sedikit (merasa) negatif," sebut dia.
Satu dekade setelah krisis keuangan global, imbuh Choi, ekonomi dunia secara umum lebih aman dibandingkan sebelumnya. Selain itu, negara-negara pun lebih mempersiapkan diri dengan baik untuk menangkis krisis.
Menurut Choi, hal ini khususnya terjadi di negara-negara berkembang yang dalam satu dekade terakhir melakukan reformasi struktural. Ini dilakukan guna membuat ekonomi lebih kuat.
"Meskipun ada beberapa negara yang terpukul karena guncangan eksternal, negara-negara berkembang sangat siap dalam hal jaring pengaman (krisis keuangan)," ungkap Choi.
https://ekonomi.kompas.com/read/2018/09/17/131708726/perang-dagang-bisa-sebabkan-krisis-keuangan-selanjutnya