TOKYO, KOMPAS.com - Prospek ekonomi Asia tampak meredup, sejalan dengan aktivitas manufaktur dan ekspor yang melemah di seluruh kawasan tersebut selama periode November 2018. Para analis pun mengekspetasikan perbaikan tidak akan terjadi dalam waktu cepat.
Dua aktivitas ekonomi tersebut terpukul akibat kekhawatiran mengenai proteksionisme. Akibatnya, aktivitas manufaktur tergelincir pada November 2018 di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, Taiwan, dan Korea Selatan.
Hal ini berdasarkan IHS Markit Purchasing Managers' Index yang dikutip dari Reuters, Senin (3/12/2018). Meskipun aktivitas manufaktur meningkat di China, namun pesanan ekspor baru menurun karena sektor tersebut terdampak ketegangan perdagangan AS-China.
Sebuah survei lainnya menunjukkan, aktivitas sektor manufaktur China tumbuh pada November 2018, namun pesanan ekspor baru merosot. Ini merefleksikan pelemahan permintaan global.
Saham-saham Asia menguat pada Senin ini setelah pertemuan pimpinan AS dan China pada konferensi tingkat tinggi (KTT) G20 di Argentina. Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping setuju untuk meredakan ketegangan perdagangan di antara kedua negara.
Kesepakatan itu memberikan kepastian terhadap outlook perekonomian global. Namun demikian, para analis menyatakan batas waktu 90 hari bagi kedua belah pihak untuk menyetujui kesepakatan berarti resolusi di antara kedua negara masih terbilang jauh.
"Masih ada risiko yang cukup besar bahwa perang dagang AS-China masih akan memanas lagi setelah gencatan senjata selama 90 hari, (akhirnya akan) memberatkan ekonomi global," kata Yoshimasa Maruyama, kepala ekonom di SMBC Nikko Securities.
"Perang dagang AS-China masih menjadi risiko terbesar prospek ekonomi global," imbuh Maruyama.
https://ekonomi.kompas.com/read/2018/12/03/154434926/sektor-manufaktur-dan-ekspor-asia-loyo-ada-apa