Josua yang kini menjadi Ketua Perkumpulan Alumni Indonesia National Taiwan University bahkan sampai kaget mendengar kabar adanya dugaan kerja paksa tersebut.
"Alumni cukup kaget dengan kejadian seperti ini yang membuat gaduh," ujarnya di Kantor Taipei Economic and Trade Office (TETO), Jakarta, Jumat (4/1/2019).
Josua yang sudah lulus kuliah di Taiwan 30 tahun silam itu mengatakan masih memiliki hubungan baik dengan pemerintah Taiwan.
Ia pun membandingkan program internship pemerintah Taiwan saat ini dengan 30 tahun silam. Saat ini tuturnya, progran tersebut sudah jauh lebih baik.
Sebab para mahasiswa bisa bekerja part time dan full time atas rekomendasi dari kampus. Tempat kerjanya pun bisa diarahkan oleh kampus dan pemerintah.
"Dulu saya juga part time di Taiwan secara pribadi tidak dikoordinir sehingga beban lebih berat," kata dia.
Josua mengatakan, saat kerja part time, dia sempat mencicipi sejumlah pekerjaan di antaranya menjadi pengirim koran.
Sementara mahasiswa Indonsia lainnya ada yang bekerja menjadi cuci piring. Bagi Josua, pekerjaan part time di negeri orang adalah suatu pengalaman yang berharga.
Hal itu bukanlah hal yang aneh. Sebab kata dia, 90 persen mahasiswa Indonesia di Taiwan pasti bekerja lantaran bisa mendapatkan upah yang cukup besar.
Apalagi kata dia, mayoritas mahasiswa Indonesia yang kuliah di Taiwan berasal dari keluarga yang kurang mampu.
Oleh karena itu bekerja menjadi salah satu solusi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di Taiwan.
Sebagai alumni, dia berharap isu kerja paksa tersebut bisa selesai. Apalagi Pemerintah Taiwan pun sudah membantah hal itu.
Dia menyarankan, apabila ada mahasiswa RI yang tak puas dengan program internship, maka segera melapor ke kantor perwakilannya di Indonesia, Taipei Economic and Trade Office (TETO).
https://ekonomi.kompas.com/read/2019/01/05/100100826/cerita-mantan-mahasiswa-indonesia-di-taiwan-kaget-mendengar-isu-kerja-paksa