Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Prostitusi "Online", Nurhadi-Aldo, dan Kuasa Platform

Ramai-ramai soal prostitusi online, saya mencoba minta komentar dia atas kasus tersebut. Dengan enteng dia menjawab, layanan prostitusi online sebenernya ketinggalan zaman. Kendati menggunakan istilah “online”, namun metodenya masih konvensional.

“Coba kalau pakai platform kencan. Mungkin tak ada uang yang keluar sampai Rp 80 juta. Bahkan mungkin juga tak akan ditangkap polisi, ha-ha-ha,” gelaknya.

Kebutuhan atas pemenuhan hasrat seksual adalah salah satu kebutuhan paling “primitif” manusia. Meski demikian, cara untuk memenuhinya terus berkembang mengikuti perkembangan teknologi.

Dalam sebuah laporan yang dimuat Daily Mail di awal 2017, ada cerita seorang pemilik rumah bordil di Brisbane, Australia.

Namanya madam Joan Leeds. Dia mulai memliki rumah bordil sejak 2006, dan hingga awal 2017 dia telah punya 4.000 pelanggan. Namun, sejak 2013, bisnisnya stagnan. Penyebabnya adalah masifnya kehadiran platform digital untuk kencan. Hal itu membuat para pelanggan perlahan-lahan meninggalkan rumah bordilnya.

Para pelanggan yang dulunya harus membayar untuk berkencan di rumah bordil, sekarang bisa mendapatkan layanan serupa secara gratis. Sepanjang, mereka bisa mendapatkan pasangan yang pas dan saling menyukai. Bahkan pilihannya jauh lebih banyak, dan tentunya lebih “customized”.

Sementara itu, pemilik rumah bordil lain di Queensland, Australia, terpaksa menghentikan bisnisnya. Pasalnya, kehadiran tamu yang semakin sedikit tidak bisa menutup biaya operasional. Sehingga untuk mengantisipasi kerugian yang lebih besar, menjual tempat usaha tersebut adalah opsi terbaik.

Kisah dua pemilik rumah bordil di Australia itu sangat mungkin dialami oleh pelaku usaha lainnya. Bahkan di Indonesia. Hal itu bukan lantaran daya beli turun. Atau stamina para pelanggan yang tak lagi “setrong” seperti sebelumnya. Namun, lebih karena pergeseran metode untuk mendapatkan kesenangan seiring dengan hadirnya platform digital.

Rumah bordil adalah segelintir sektor bisnis yang pada akhirnya kehilangan pasar. Industri tersebut lambat laun menyusul sektor-sektor lain yang telah kehilangan relevansi karena kehadiran platform kencan.

Perkembangan teknologi mendisrupsi metode-metode lama untuk pemenuhan hasrat tersebut.

Hilangnya Gatekeepers

Beranjak dari industri prostitusi, Parker, Van Alstyne, dan Choudary dalam buku Platform, How Networked Markets are Transforming The Economy and How to Make Them Work For You (2016) menulis bahwa platform digital berhasil menghantam bisnis konvensional karena mampu menghilangkan gatekeepers.


Pada industri konvensional, gatekeepers adalah pihak yang paling punya otoritas untuk menyeleksi produk yang akan didistribusikan ke customers. Sebuah produk ditentukan apakah punya value ataukah tidak, tergantung pada gatekeepers ini.

Gatekeepers memiliki julukan yang berbeda-beda di setiap sektor bisnis. Di media misalnya, mereka disebut editor yang berhak menentukan artikel layak tayang atau tidak. Di perguruan tinggi ada senat yang menentukan mata kuliah apa saja yang bisa diajarkan ke mahasiswa.

Kemudian di industri keuangan, gatekeepers ini adalah para bankir yang menyeleksi apakah kredit bisa dikucurkan kepada debitur. Hingga di industri prostitusi, mereka adalah para mucikari yang menyaring para pekerja seks komersial apakah layak atau tidak untuk ditawarkan ke konsumennya. Dan sebagainya.

Di tangan gatekeepers, sebuah produk dianggap universal dan cocok untuk pasar yang sebenarnya memiliki beragam konsumen. Hingga muncullah istilah “one size suits all”. Satu ukuran untuk semua.

Alih-alih “memfasilitasi”, gatekeepers justru kerap membuat proses bisnis menjadi lebih panjang. Menjadi lebih costly. Sehingga dalam era yang penuh ketergesaan ini, keberadaan mereka membuat proses bisnis menjadi tidak efisien dan tidak merepresentasikan selera konsumen.

Hadirnya platform mampu mendobrak itu semua. Platform mengaburkan batas-batas antara produsen dan konsumen. Tak ada lagi gatekeepers. Tak ada lagi penyaring yang mungkin selama ini merasa paling tahu atas produk yang ditawarkan ke customer. Dan customers bisa berinteraksi secara langsung dengan produsen tanpa melalui penyaring.

Tak hanya itu. Platform juga memungkinkan konsumen sekaligus sebagai produsen atau penyedia jasa. Proses produksi tidak berjalan linier sebagaimana yang terjadi pada model bisnis konvensional.

Seperti di platform teks digital milik Amazon, Kindle. Di platform tersebut semua orang bisa memublikasikan bukunya tanpa harus berurusan dengan editor. Pada saat yang sama, para user bisa berkomentar mengenai buku apa yang saat ini paling banyak dibaca. Hal itu bisa memantik users lain untuk menyuplai content sebagaimana yang diharapkan oleh mereka yang ada di platform itu.

Bayarannya? Di sinilah kehebatan platform. Selama ini pembuat konten memang sering dibayar menggunakan currency tradisional yakni uang (baik tunai maupun dalam bentuk elektronik). Tapi di platform, mereka juga bisa memperoleh pembayaran dalam bentuk “mata uang” alternatif, yakni value. Ini tecermin dari jumlah followers.


Semakin banyak followers, semakin tinggi value dari orang tersebut. Sehingga ketika dikonversi menjadi mata uang konvensional, bayaran orang tersebut semakin mahal.

Taruhlah seorang musisi rajin mengunggah karya-karyanya di Youtube dan digemari oleh para netizen. Lama kelamaan jumlah subscribers di channel-nya makin banyak. Saat itu, dia mungkin tidak bisa mendapatkan uang secara tunai. Namun ketika dia menggelar konser, fans-nya banyak menonton. Dan di event itulah dia bisa mengonversi value menjadi uang.

Atau seperti teman saya, seorang penulis muda berbakat dari Bantul Yogyakarta, Iqbal Aji Daryono. Dia adalah seleb Facebook. Followernya ribuan. Semakin bertambah followers, makin mahal biaya mengundang dia untuk menjadi pembicara. Demikianlah.

“Mcqueen” Punya Value

Hari-hari ini jagad medsos tengah ramai oleh munculnya akun Nurhadi-Aldo. Dia hadir di tengah situasi politik yang semakin membosankan. Saling serang. Saling klaim. Hingga masing-masing pendukung capres-cawapres bertengkar.

Media-media arus utama juga terus menampilkan berbagai berita soal politik di antara pendukung dua calon capres-cawapres.

Jengah dengan informasi politik, akhirnya muncul akun Nurhadi-Aldo yang mampu memberi warna di jagad perpolitikan. Mengusung konten satir politik dan cenderung blak-blakan oleh admin yang masih misterius, akun tersebut ternyata sangat digemari netizen. Dan didukung oleh network effect, hanya dalam waktu kurang dari sebulan, jumlah follower Nurhadi-Aldo sudah mencapai sekitar 300.000.

Tanpa menggunakan standar kampanye maupun standar penulisan formal, akun Nurhadi-Aldo nyatanya mampu menarik perhatian netizen. Seiring dengan itu, jumlah followers di akun Instagram-nya konsisten naik.

Sehingga ketika Nurhadi membuat “kaus kampanye” Nurhadi-Aldo, barang tersebut laris manis dipesan netizen. Di situlah value bisa diuangkan.

Begitulah platform. Dia mampu membalik model bisnis konvensional yang linier menjadi model bisnis yang resiprokal. Setiap users berhak untuk menjadi konsumen sekaligus produsen.

Hal ini sekaligus membuktikan bahwa setiap produk memiliki konsumennya sendiri. Produk-produk yang selama ini dinyatakan tidak layak oleh gatekeeper, ketika dilempar ke platform ternyata bisa mendapatkan konstituennya sendiri.

Seperti dalam konteks platform media sosial. Berbagai content yang mungkin di media konvensional tidak layak tayang, justru ternyata banyak penggemarnya di segmen tertentu ketika dilempar ke platform medsos.

Menyalahkan platform?

Namun di sisi lain, diakui bahwa hilangnya gatekeeper memunculkan kekhawatiran. Yakni membuka peluang tidak tersaringnya informasi hoaks. Atau mungkin ada distorsi informasi ketika users tidak memiliki kemampuan melakukan verifikasi atas informasi.

Seperti yang diungkapkan Andrew Keen (2018) dalam bukunya How To Fix The Future, Staying Human in the Digital Age. Di ranah media, hilangnya gatekeeper akan memunculkan masalah. Sehingga yang menjadi korban adalah kebenaran itu sendiri.

Namun yang perlu dicatat adalah, munculnya masalah tersebut bukan kesalahan platform. Melainkan ulah dari mereka-mereka yang punya kepentingan. Hal ini terutama merujuk kepada politisi yang kerap memanipulasi informasi untuk mencapai kepentingannya.

Di media sosial, para politisi bisa secara langsung menyebarkan informasi kepada publik tanpa ada saringannya. Ada banyak kasus, seperti surat suara dari KPU yang sudah tercoblos, penganiayaan ke aktivis politik hingga membuat wajah lebam-lebam, dan sebagainya. Sehingga publik heboh.


Ini berbeda ketika mereka para politisi itu berbicara ke jurnalis media konvensional. Di sana ada editor yang menyaring dan memverifikasi informasi untuk disampaikan ke audience. Sehingga output informasi di media konvensional bisa lebih terjamin kesahihannya karena keberadaan gatekeeper.

Memang tak dimungkiri bahwa hilangnya gatekeepers akan memunculkan kerentanan mengenai distorsi informasi. Namun hal itu bukan menjadi pembenar untuk menyalahkan keberadaan platform.

Bagaimanapun, platform adalah sebuah wadah yang memungkinkan siapapun bisa mendapatkan banyak benefit. Setiap orang bisa menciptakan values atas dirinya sendiri dan orang lain.

Alih-alih platform, yang justru paling pas untuk disalahkan dalam konteks seperti ini adalah mereka yang berusaha memanfaatkan platform untuk kepentingannya sendiri dengan membuat users lain merugi dan kehilangan value.

Karenanya, unfollow saja para politisi mereka yang membuat kehidupan menjadi tambah berisik dan tidak tenang.

https://ekonomi.kompas.com/read/2019/01/11/090000926/prostitusi-online-nurhadi-aldo-dan-kuasa-platform

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke