JEO - Ekonomi

Jokowi dan Prabowo,
Siapa Lebih Punya Jawaban soal Pangan?

Jumat, 15 Februari 2019 | 08:26 WIB

Isu ketahanan pangan selalu menjadi sorotan di era pemerintahan siapa pun. Sebab, pangan adalah kebutuhan sehari-hari. Ketahanan pangan akan menentukan kualitas kesejahteraan masyarakat.

DEBAT kedua Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 akan diselenggarakan pada Minggu (17/2/2019) di Hotel Sultan, Jakarta. Dalam debat kedua ini, hanya para calon presiden (capres) yang berduel, yakni capres nomor urut 01 Joko Widodo dan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto.

Terkait mekanisme, ada sedikit perbedaan antara debat kedua dan debat pertama Pilpres 2019. Tak seperti pada debat pertama, dalam debat kedua nanti kedua calon akan mendapat kesempatan debat bebas, yaitu pada segmen 4. Alokasi waktu untuk segmen tersebut juga lebih panjang daripada segmen lain yang terbatas. 

Jumlah panelis untuk debat kedua Pilpres 2019 pun bertambah, menjadi delapan orang, dari sebelumnya enam orang pada debat pertama. Kedelapan panelis untuk debat kedua Pilpres 2019 adalah:

  1. Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Mochamad Ashari
  2. Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria
  3. Ahli pertambangan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Irwandy Arif
  4. Pakar energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Ahmad Agustiawan
  5. Pakar lingkungan hidup Universitas Diponegoro (Undip) Sudharto P Hadi
  6. Pakar hukum lingkungan Universitas Airlangga (Unair) Suparto Wijoyo
  7. Direktur Eksekutif WALHI Nur Hidayati
  8. Sekretaris Jenderal Konsorsium Pengembangan Agraria (KPA) Dewi Kartika.

KPU mengaku memilih panelis dari akademisi dan LSM agar dapat memberikan pertanyaan yang komprehensif, baik praktikal maupun teoritikal.

Substansi debat

Tema debat kali ini terkait dengan energi, pangan, infrastruktur, sumber daya alam, dan lingkungan hidup.

Terkait pangan, isu ini selalu menjadi sorotan di era pemerintahan siapa pun. Sebab, pangan merupakan kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari. Ketahanan pangan akan menentukan kualitas kesejahteraan masyarakat.

Kedua calon pun dituntut membawa perubahan yang lebih baik untuk mengatasi masalah pangan di Indonesia.

Ekonom Rizal Ramli, misalnya, menyorot komitmen pemberantasan kartel pangan di Indonesia oleh kedua kandidat. Menurut dia, masalah tersebut harus diangkat dalam debat karena penting didengar masyarakat.

Rizal berpandangan, komitmen calon presiden soal pemberantasan kartel itu penting didengar oleh masyarakat jelang pelaksanaan Pilpres 2019 yang kurang dua bulan lagi. Ia mengaku sudah menyampaikan hal tersebut kepada Jokowi dan Prabowo.

Kepada Jokowi, Rizal mengaku pernah bertanya apakah kandidat petahana ini akan meneruskan kebijakan impor sektor pangan, padahal Indonesia punya hasil panen yang melimpah sehingga seharusnya tak perlu memasoknya lagi dari luar negeri.

Menurut Rizal, saat itu Jokowi menjawab akan berkomitmen pada kedaulatan pangan. Namun, Rizal kecewa karena pada praktiknya presiden melantik menteri yang gemar impor.

"Kalau Jokowi ingin menang, harus mengubah sistem kuota impor, paling tidak mengganti menteri-menteri yang doyan impor," kata Rizal, Rabu (16/1/2019).

Adapun kepada Prabowo, Rizal mengaku mengingatkan, jika mantan Danjen Kopassus itu memenangi Pilpres 2019 maka taipan-taipan impor pangan akan datang ke Indonesia membawa uang triliunan rupiah.

"Lalu Pak Prabowo bilang kepada saya bahwa dia setelah keluar dari TNI dia menjadi Ketua Umum HKTI. Jika dia (Prabowo) membela kartel pangan, sama saja dia menembak kakinya sendiri. Itu bagus," kata Rizal Ramli. 

VISI-MISI SOAL PANGAN 

MISI pasangan calon nomor urut 01 Jokowi-Ma’ruf Amin terkait pangan dimuat pada bagian kedua dan ketiga data yang disetor ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), yakni pada bab "Struktur Ekonomi yang Produktif, Mandiri, dan Berdaya Saing" dan "Pembangunan yang Merata dan Berkeadilan.”

Jokowi-Ma’ruf meyakini dengan percepatan pembangunan infrastruktur dan reformasi struktural maka perekonomian menjadi lebih kokoh, produktif, mandiri, dan berdaya saing. Selain itu, mereka juga berkomitmen mengurangi angka kemiskinan dan kesenjangan.

Adapun pasangan calon nomor urut 02 Prabowo-Sandiaga Uno menyusun beberapa poin apa yang akan diterapkannya nanti jika terpilih dalam pilpres, mulai dari soal ketahanan pangan hingga reformasi agraria. Hal tersebut termuat dalam bab mengenai pilar kesejahteraan rakyat dan program aksinya.

Berikut ini visi-misi kedua pasangan calon yang beririsan dengan isu pangan dalam sajian infografik:

Visi Misi Kandidat Pilpres 2019 soal Pangan - (KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO)

MENYOAL KEBIJAKAN
IMPOR PANGAN

DARI banyak isu yang berkaitan dengan pangan, salah satu yang paling banyak mendapat sorotan sekaligus selalu mengundang pro-kontra adalah kebijakan impor.

Ada sejumlah kritik dan masukan atas praktik yang terjadi selama ini. Harapannya, muncul jawaban dalam debat kedua Pilpres 2019 dan terwujud dalam pemerintahan ke depan, siapa pun pasangan calon yang memenangi Pilpres 2019.

Ombudsman RI, misalnya, memberi peringatan kepada pemerintah terkait kebijakan impor di empat komoditas pangan, yaitu beras, gula, garam, dan jagung, apalagi di tengah tahun politik. Volume impor keempat komoditas itu terbilang tinggi.

Anggota Ombudsman Ahmad Alamsyah Saragih menuturkan, pemerintah jangan sampai lengah dan lalai untuk mengawasi segala aktivitas impor meski tengah mempersiapkan pesta demokrasi.

Jika pemerintah lengah, kata dia, pasokan empat komoditas impor tersebut akan berlebih di dalam negeri. Kondisi ini akan memberikan dampak negatif dan merugikan.

Ombudsman menyarankan pemerintah tak mengimpor beras pada tahun ini dan melihat persediaan yang ada di Perum Bulog. Berdasarkan data, jumlah stok beras masih memadai, yakni sekitar 2,1 juta ton per akhir 2018.

Ilustrasi beras
KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG
Ilustrasi beras

Ombudsman juga melakukan penelusuran dan investigasi terkait impor gula. Lembaga ini mensinyalir produk impor yang masuk ke pasar tradisional untuk kebutuhan gula konsumsi.

Ujungnya, impor telah mengganggu stabilitas produksi gula petani dan berdampak pada penurunan harga gula tebu petani.

"Kita temukan di lapangan, gula impor banyak yang merembes ke pasar," kata Alamsyah.

Oleh sebab itu, pemerintah diminta memperketat proses verifikasi kebutuhan dan stok gula impor untuk industri. Pemerintah juga harus menetapkan hasil perhitungan neraca gula nasional, dan mengevaluasi penerapan SNI bagi gula petani.

"Kami memberikan peringatan dini agar pada 2019 betul-betul verifikasi kebutuhan industri dilakukan secara cermat (oleh pemerintah)," imbuh dia.

Pada periode 2015-2018, Ombudsman RI mencatat pula, impor komoditas garam industri mencapai 12,3 juta ton dengan tren naik. Puncaknya terjadi pada 2018 yang mencapai 3,7 juta ton. 

Ada kepentingan rente? 

Terpisah, ekonom Faisal Basri dalam wawancara khusus dengan Kontan mengkritisi juga soal kebijakan impor, tak terkecuali soal pangan ini.

Merujuk data yang ada, kata Faisal, tak ada lonjakan signifikan kebutuhan beras tetapi faktanya impor beras melejit dari kisaran 300.000 ton menjadi di atas 2,2 juta ton pada 2018. 

Setali tiga uang, impor garam juga demikian. Pada 2018, ujar Faisal, produksi garam naik karena kemarau panjang, mencapai 2,7 juta ton. Dengan produksi itu, mestinya hanya butuh impor 2 juta ton untuk mencukupi kebutuhan di dalam negeri. Praktiknya, izin impor tercatat 3,7 ton. 

Aktivitas petani garam di Pamekasan, Madura, Jawa Timur.  Gambar diambil pada Rabu (6/9/2017).
KOMPAS.com/TAUFIQURRAHMAN
Aktivitas petani garam di Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Gambar diambil pada Rabu (6/9/2017).

Kasus gula tak berbeda. Merujuk data pemerintah, ungkap Faisal, produksi gula di dalam negeri bertahan di kisaran 2 juta ton dengan kebutuhan sekitar 6 juta ton sehingga butuh impor 4 juta ton.

Padahal, lanjut Faisal, kebutuhan industri makanan dan minuman tidak melonjak, ada di kisaran 3,2 juta ton, sementara kebutuhan masyarakat sekitar 2 juta ton, yang berarti total kebutuhan adalah 5,2 juta ton.

Kenyataannya, ujar Faisal, impor gula pada 2018 mencapai 6 juta ton. Hasilnya, saat ini ada kelebihan pasokan gula di dalam negeri lebih dari 1 juta ton.

"Ini stok gula terbanyak dalam sejarah Indonesia," tegas Faisal dalam wawancara yang dilansir Kontan pada edisi 31 Januari 2019 tersebut. 

Menurut Faisal, impor gula terjadi karena harga gula di luar negeri lebih murah dibandingkan di sini. Keuntungan yang didapat dari impor akan besar.

"Jadi yang muncul adalah praktik pemburuan rente, yang polanya mirip untuk gula, garam, dan beras," kata Faisal. 

Merujuk data BPS, pada 2018 terjadi surplus beras 2,8 juta ton. Faisal berpendapat, inilah yang membuat Kepala Bulog Budi Waseso mempertanyakan kebijakan impor beras saat gudang Bulog penuh stok. 

Argumentasi bahwa impor dilakukan untuk menjaga stabilitas harga dengan data inflasi yang bertahan relatif rendah, menurut Faisal juga tidak tepat dalam kasus impor pangan ini. 

"Harus diingat, mengamankan harga itu (harus dilihat juga ada) pada level berapa," ujar Faisal.

Misal, papar dia, harga komoditas X di suatu negara pada tahun lalu adalah 100 dan pada tahun ini naik menjadi 150. Artinya, di negara itu terjadi inflasi 150 persen.

Adapun di Indonesia, lanjut Faisal, harga komoditas yang sama pada tahun lalu 1.000 dan pada tahun ini 1.100, yang artinya inflasi 10 persen.

"(Inflasi di Indonesia terlihat) lebih rendah dibanding negara antah berantah tetapi levelnya tinggi," ujar Faisal. 

Rente, tegas Faisal, terkait dengan level, termasuk inflasi rendah tapi pada harga yang tinggi, yang karenanya konsumen harus merogoh kocek lebih dalam sehingga daya beli terpukul.

"Ingat, harga beras kita juga lebih mahal daripada harga dunia. Syukur kalau petani yang menikmati. Masalahnya, pemburu rente yang menikmati," ujar Faisal. 

Karena itu, Faisal berpendapat, melihat perspektif ekonomi tidak cukup dengan hanya melihat angka inflasi, terlebih bila inflasi sekalipun rendah terjadi pada level harga yang sangat tinggi.

Bea masuk atau kuota impor?

Untuk melihat indikasi perburuan rente memang terjadi, cara yang bisa dilakukan adalah melihat selisih harga suatu komoditas di sini terhadap harga dunia. Faisal menjadikan impor komoditas gula sebagai contoh.

Pada 2014, sebut Faisal, harga gula di pasar Indonesia dibandingkan harga pasar internasional adalah 2,6 kali lipat. Saat ini, ujar dia, sudah naik menjadi 3 kali lipat.

"Semakin lebar (selisih) harganya, potensi rentenya pun makin tinggi," tegas Faisal. 

Ada juga konsekuensi ikutannya dari praktik rente tersebut. Ketika harga suatu komoditas turun tajam di pasar dunia, harga di Indonesia tak banyak berubah. Namun, saat harga di pasar dunia nai, harga di Indonesia akan ikut naik dengan cepat. 

Sebanyak 5.000 ton gula rafinasi yang hendak dipasarkan ke masyarakat disita oleh Satgas Pangan Polda Sulsel, Senin (22/5/217).
KOMPAS.com/Hendra Cipto
Sebanyak 5.000 ton gula rafinasi yang hendak dipasarkan ke masyarakat disita oleh Satgas Pangan Polda Sulsel, Senin (22/5/217).

Menurut Faisal, di sinilah perlunya kebijakan pembatasan impor oleh pemerintah, terutama untuk pangan. Akan lebih baik lagi bila ada upaya mendorong ekspor.

"Kalau Indonesia membolehkan ekspor dan impor bebas, maka apa yang terjadi? Harga dunia akan sama dengan di Indonesia," sebut Faisal.

Namun, ada catatannya. Pada saat harga rendah, konsumen untung. Produsen, ada untung tetapi akan berupaya menaikkan keuntungan. 

Pilihan yang ada, menahan laju impor dengan bea masuk atau mengenakan kuota impor. 

"Kalau menghambat impor dengan bea masuk, uang akan masuk ke pemerintah. Kalau dengan kuota, tidak bayar secara resmi. Tapi secara tidak resminya, enggak ada yang gratis. Itulah yang namanya rente," ungkap Faisal.

Perkiraan Faisal, rente dari impor komoditas gula saja bernilai triliunan rupiah. Korupsi miliaran rupiah di sini bisa dipenjara beberapa tahun, kata dia, tetapi praktik rente triliunan rupiah lewat impor bisa melenggang bebas.

"Kalau harga beras tinggi, semua menjerit. Kalau harga pesawat naik semua menjerit. Nah, mengapa kalau harga gula tinggi tidak ada yang menjerit?" tanya Faisal.

Sebanyak-banyaknya per orang mengonsumsi gula, tutur Faisal, nilainya per tahun tak begitu besar. Ongkos demo ke istana saja bisa lebih besar daripada nilai penurunan harga gula yang akan terjadi. Namun, kata dia, jangan salah, triliunan rupiah tadi dibagi hanya ke 11 pengusaha gula rafinasi.

Seperti halnya Alamsyah, Faisal pun menyarankan pemerintah benar-benar mendata kebutuhan nasional, baik untuk konsumsi rumah tangga maupun industri, sebelum memutuskan mengimpor suatu komoditas.

"Kalau perencanaan teknokratiknya baik tanpa campur tangan politik, saya rasa akan baik-baik saja," kata dia.

Menurut Faisal, ada pula masalah di pengawasan dan pengendalian impor. Dia mencontohkan temuan gula rafinasi yang seharusnya untuk industri tetapi praktiknya dijual di supermarket untuk kebutuhan rumah tangga. 

"Kita tidak anti-impor. Namun, hitungannya harus benar. Karena kalau gula rafinasi dijual bebas ke pasar, (sebagai contoh), gula petani tidak dibeli pedagang karena harganya mahal. Kita harus melindungi petani," tegas Faisal.

VISI-MISI
MENGAWANG-AWANG

VISI-MISI yang disetor pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Pilpres 2019 ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), disebut masih mengawang-awang.

Direktur Program Kemitraan Dewi Rizki, salah satunya, berpendapat bahwa visi-misi kedua pasangan calon belum menjangkau ke akar permasalahan di bidang pangan. Bahkan, kata dia, data yang disajikan pemerintah saja diragukan keakuratannya.

Antara data yang disampaikan kementerian dan data jurnal lainnya terdapat selisih yang cukup besar. Hal ini dikhawatirkan membuat program pangan yang digalakkan pemerintah tidak optimal dan mencukupi kebutuhan yang ada.

Ia juga menyoroti tingginya impor pangan, khususnya beras, yang cukup menjadi polemik.

"Data BPS (Badan Pusat Statistik) menyebut ada surplus di beras sebetulnya di 2018, tapi kenapa masih impor? Yang kita perlukan bagaimana strategi dua calon dalam mengatasi ini," kata Dewi.

Dewi menyebut, sejauh ini belum ada yang secara konkret melontarkan langkah-langkah yang diambil untuk menyejahterakan petani. Semua hanya tertera dalam visi dan misi, tetapi tak pernah diungkit setiap kali bertemu masyarakat.

Hal ini membuat petani menjadi gamang soal nasibnya nanti usai pemilu, apakah lebih baik atau sama saja. Dewi menuturkan, pangan adalah kunci kesejahteraan.

"Mampukah kita (mewujudkan ketahanan pangan dan menyejahterakan petani)? 2018 saja kita impor 20 juta ton. Strategi berikutnya kayak apa, harus dilihat juga," kata Dewi.

Dewi memandang, untuk mencipakan ketahanan pangan, antara permintaan dan ketersediaan harus diperhatikan oleh kedua kandidat.

"Yang kita mau bagaimana solve kelangkaan pangan. Diharapkan, dalam debat ini terjawab," lanjut dia.

Kekuatan dan kelemahan

Peta persoalan pangan di Indonesia diyakini membuat arah debat kedua Pilpres 2019 terkait masalah ini akan mudah ditebak. Direktur Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi, menjadi salah satu yang berkeyakinan demikian.

Prabowo, kata dia, memiliki amunisi yang cukup tokcer dengan membahas masalah soal impor pangan. Dalam hal ini, kata Veri, Jokowi bisa kalah poin.

"(Masalah impor pangan) ini bisa jadi senjata paling kuat (bagi Prabowo) bahwa pemerintah gagal mengatur kebijakan pangan di eranya," terang Veri.

Oleh karena itu, Jokowi disarankan menyiapkan jawaban terbaik beserta data-data yang jelas dan akurat untuk menepis serangan itu. Karena, kata Veri, tak bisa ditampik bahwa sebenarnya ada juga keberhasilan pemerintah Jokowi dalam mengatasi masalah pangan.

Contoh keberhasilan itu, sebut Veri, harga bahan makanan pokok yang terkendali menjelang hari raya dan perayaan malam tahun baru. Biasanya, pada kedua momentum itu terjadi kenaikan harga pangan yang bahkan bisa sampai dua kali lipat dan berlangsung cukup lama. 

Belakangan, fenomena itu menurut Veri berhasil ditekan dan angka inflasi terjaga meski menjelang perayaan hari besar.

"Ini menjadi concern Jokowi. Oleh karena itu, hal ini harus ditonjolkan," ucap Veri.

Meski demikian, Veri mengkritisi Jokowi dan tim suksesnya yang kurang mengerahkan tenaga untuk membuktikan bahwa capaiannya dalam empat tahun terakhir di sektor pangan cukup memuaskan.

Timses Jokowi, kata Veri, hanya bicara soal data infrastruktur yang dibangun—berapa jembatan, berapa panjang jalan desa, dan sebagainya—, tetapi tidak dielaborasi bagaimana dampaknya ke sektor pangan.

"Misal, apa sih makna pembangunan infrastruktur terhadap persoalan pangan di Indonesia? (Katakanlah), ternyata dengan infrastruktur bisa membuat distribusi pangan antar-wilayah, antar-pulau jadi terjangkau," papar Veri memberikan contoh.

Padahal, lanjut Veri, hal itu seharusnya bisa menjadi kekuatan Jokowi dalam debat kedua nanti. Sebab, dengan mudah dan cepatnya distribusi bahan pangan, berdampak pada harga yang lebih murah.

"Semestinya itu yang dieksplorasi lebih lanjut. Kalau hanya mengandalkan debat kuda buat isu ini, tidak akan tercapai," terang dia.

Tak cukup visi normatif

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyebut, persoalan terkait pangan sejatinya sudah sangat jelas. Bicara pangan, kata dia, adalah membahas kecukupan dan ketersediaan.

Lalu, membicarakan masalah ketersediaan pangan ini juga akan bersambung dengan topik upaya menahan impor, dan ujungnya adalah stabilitas harga pangan. Menurut Enny, yang dibutuhkan masyarakat dari kedua calon presiden ini adalah jalan keluar yang konkret.

"Kalau (Jokowi sebagai) petahana paparkan capaian, yang ditunggu adalah jawaban meyakinkan atas sejumlah kritik termasuk masalah impor pangan, apalagi kalau ada yang menagih janji tidak impor pada kampanye periode sebelumnya," ungkap Enny, saat dihubungi, Kamis (14/2/2019).

Sebaliknya, lanjut Enny, Prabowo sebagai calon penantang juga tak cukup hanya melontarkan kritik atau olok-olok seperti pada debat pertama Pilpres 2019 beberapa waktu lalu. 

"(Dari oposisi), apa alternatif kebijakannya? Tak cukup hanya mengkritik. Janji stabilitas harga, misalnya, harus di-breakdown akan pakai instrumen apa," ujar Enny. 

Bila oposisi menentang kebijakan impor pangan, lanjut Enny memberikan contoh lain, harus dirinci pula impor apa yang ditentang. Karena, tak mungkin juga Indonesia sama sekali tidak mengimpor komoditas, termasuk di sektor pangan.

Baca juga: JEO-Pilpres 2019 Minus Gereget Pemberantasan Korupsi?

Terlebih lagi, tutur Enny, kerusakan di sektor pertanian—penopang dasar sektor pangan—juga sudah terjadi lama.

Pada Orde Baru, harus diakui bahwa Presiden Soeharto berhasil membangun pertanian sampai swasembada, terutama pada periode Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I dan II. Terbukti, kelembagaan pangan yang dibentuk juga efektif pada saat itu, seperti Koperasi Unit Desa (KUD) dan Badan Urusan Logistik (Bulog). 

Namun, dalam perjalanannya, capaian itu berantakan, terutama di pengujung Pelita V yang berakhir dengan krisis moneter. Kelembagaan pangan, ujar Enny, goyah pada kurun waktu ini, lebih-lebih ketika Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas peran-peran awal Bulog.

"Ketahanan pangan bukan persoalan yang bisa diselesaikan dengan instan, banyak sektor berkaitan dengan sektor ini. Masyarakat dan pemilih butuh terobosan ini dari kedua calon presiden," kata Enny.

Karenanya, petahana pun tak cukup bila berkilah dengan dalih 5 tahun berkuasa tak akan bisa menyelesaikan semua persoalan yang sampai ke level kelembagaan. 

"Meski (kilah) itu benar, harus juga dipaparkan apa yang akan dilakukan bila terpilih lagi," tegas Enny.

Terlebih lagi, menurut Enny, yang butuh mendapatkan jawaban-jawaban solutif tersebut bukanlah mereka yang sekarang sudah menentukan pilihan dukungan.

Di luar pendukung kedua pasangan calon untuk laga Pilpres 2019. ujar dia, ada pemilih yang belum menentukan pilihannya (swing voter), bahkan ada yang belum memutuskan akan menggunakan hak pilihnya atau tidak.

"Kalau ada jawaban yang rasional dan bisa meyakinkan mereka, dukungan bisa jadi akan diberikan kepada pemberi jawaban itu," kata dia.