JEO - Ekonomi

Pilpres 2019
dan
Bayang-bayang Ancaman Krisis Energi

Sabtu, 16 Februari 2019 | 17:55 WIB

Tanpa energi yang efisien, berat bagi suatu negara untuk memiliki daya saing. Apa visi dan langkah rinci yang bisa ditawarkan Jokowi dan Prabowo sebagai calon presiden dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 atas ancaman nyata krisis energi ini?

 

DEBAT kedua Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, Minggu (17/2/2019), mengangkat tema energi, pangan, infrastruktur, sumber daya alam, dan lingkungan hidup. Terkait energi, topik ini menjadi krusial, salah satunya karena tren kebutuhan yang meningkat pada saat produksi dari dalam negeri justru memperlihatkan arah sebaliknya.

Pada debat kali ini hanya para calon presiden yang akan berhadapan, yaitu calon presiden dari pasangan nomor urut 01, Joko Widodo (Jokowi) dan calon presiden dari pasangan calon nomor urut 02, Prabowo Subianto. Tak ada Ma'ruf Amin bersama Jokowi di panggung debat, demikian pula Sandiaga Uno tak berdiri di sisi Prabowo.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyebut, energi yang efisien bagi suatu negara adalah syarat untuk memiliki daya saing. Indonesia tentu bukan perkecualian.

Baca juga: JEO-Rezim Soekarno, Soeharto, dan dan 20 Tahun Reformasi dalam Hal Ekonomi

Masalahnya, saat ini ancaman krisis energi bagi Indonesia adalah nyata. Terlebih lagi bila energi berbasis fosil—minyak bumi dan gas (migas)—yang masih menjadi sandaran utama.

Indonesia telah menjadi net importer minyak bumi sejak 2003, dan diperkirakan segera pula menjadi net importer gas pada 2022.

Apa pasal? Indonesia telah menjadi net importer minyak bumi sejak 2003, dan diperkirakan segera pula menjadi net importer gas pada 2022.

Net importer artinya—dalam bahasa awam—adalah ketergantungan pada impor untuk sekadar mencukupi kebutuhan rutinnya. Dalam bahasa teknisnya, neraca perdagangan atas komoditas tersebut akan selalu negatif, alias impor melulu. 

Gambarannya, untuk minyak bumi, konsumsi bahan bakar minyak (BBM) per hari di Indonesia hingga akhir 2018 sekitar 1,6 juta barrel, sementara produksi minyak bertahan di kisaran 800.000-an barrel saja per hari. 

Simak juga: sajian visual interaktif Membongkar Mitos "Indonesia Kaya Migas"

Merujuk data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), rata-rata produksi (lifting) minyak pada 2018 hanya sekitar 778.000 barrel per hari dari target 800.000 barrel per hari dalam APBN 2018. 

Adapun produksi gas nasional pada 2018, merujuk data yang sama, adalah 1,14 miliar barrel setara minyak per hari. Angka ini juga di bawah target 1,2 miliar barrel per hari setara minyak yang dipatok di APBN 2018.

Total realisasi lifting migas pada 2018 adalah 1,92 juta barrel per hari. Realisasi tersebut 95,85 persen dari target 2 juta barrel per hari yang dipatok APBN 2018, alias tak memenuhi target, dan lebih rendah 3,42 persen dibandingkan kinerja pada 2017. 

Benar, ada pilihan sumber energi selain berbasis migas, baik yang terbarukan maupun tidak. Namun, dalam beragam skema energi nasional, ketergantungan terhadap energi berbasis migas masih akan berlanjut.

Ketergantungan itu diperkirakan berlanjut hingga 30 tahun ke depan, dengan total porsi penggunaan energi berbasis migas hingga 30 persen. Bahkan, Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) menetapkan porsi migas hingga 2050 masih mencapai 44 persen. 

Apa masalahnya? Dengan fakta Indonesia telah menjadi net importer minyak dan segera menjadi net importer gas, belanja energi akan teramat mahal dengan tingkat konsumsi yang juga tak terbendung.

Baca juga: JEO - Jokowi dan Prabowo, Siapa Lebih Punya Jawaban soal Pangan?

Volume impor migas—dan tentu saja nominalnya—membesar pula, dengan fakta target lifting yang masih saja meleset dan tidak signifikannya temuan cadangan baru di dalam negeri.

Ini belum bicara soal pola konsumsi energi masyarakat yang tak terkendali di tengah euforia lonjakan kelas menengah dan produk-produk konsumtif seperti mobil murah serta kebijakan transportasi publik yang masih saja fokus ke jalan raya.

Tanpa ada upaya yang menyeluruh, energi yang efisien untuk mendorong daya saing akan terasa mengawang-awang. Sebaliknya, krisis energi—paling sederhananya biaya yang mahal untuk konsumsi energi—di depan mata. 

Baca juga: JEO-Ketimpangan, Ketidakadilan, dan Tahun Politik

Karenanya, isu energi ini diharapkan mendapatkan porsi pembahasan yang memadai dan mencerahkan dalam debat kedua Pilpres 2019. Terlebih lagi, ini debat antara dua kandidat "nakhkoda" negara. 

Manajer Advokasi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Aryanto Nugroho, menyebut, ada beberapa isu energi yang perlu diperhatikan oleh para kandidat Pilpres 2019. Menurut dia, sejauh ini belum ada solusi yang konkret disodorkan kedua pasangan calon untuk ancaman krisis energi.

"Krisis energi ini adalah ancaman nyata. Kita sudah tanda-tanda itu, sudah ada. Sepertinya belum cukup terjawab dari dua kubu. Level sudah akut," ungkap Aryanto, dalam diskusi "Menyigi Visi Misi Calon Presiden 2019", beberapa waktu lalu.

Dengan posisi produksi migas saat ini, kata dia, dibutuhkan eksplorasi untuk sumber-sumber baru, yang tentunya membutuhkan dana investasi yang tidak sedikit.

Baca juga: JEO-Pilpres 2019, Minus Gereget Pemberantasan Korupsi?

Aryanto menyoroti pula hubungan antara energi dan perubahan iklim. Menurut dia, penggunaan energi berbasis fosil seringkali didorong dengan alasan ketahanan energi, tetapi aspek lingkungannya kerap terlupakan.

"Tak cukup bilang diversifikasi energi. Harus dijelaskan pilihannya apa saja, yang substantif dan mana yang paling realistis."

~Enny Sri Hartati~

Kedua pasangan calon, kata Aryanto, sama-sama menyatakan akan menggenjot penggunaan energi terbarukan, tetapi belum dijabarkan secara detail.

"Sayangnya di dua capres masih mengandalkan fosil, energi terbarukan didorong tapi kita tidak pernah tahu bagaimana cara mendorong energi terbarukan seperti apa, apakah andalannya angin atau air atau energi nabati, termasuk insentif apa yang diberikan untuk energi terbarukan," papar Aryanto.

Isu lain yang perlu disoroti terkait energi, lanjut Aryanto, adalah soal regulasi. Dia berpendapat, ketidakpastian hukum menjadi sumber masalah sulitnya investasi, tak terkecuali di sektor energi.

Masalah pada ketidakpastian regulasi terdiri dari dua hal, sebut Aryanto, yaitu aturan yang tumpang tindih dan aturan yang sering berubah-ubah.

Baca juga: JEO-Pilpres 2019, Antiklimaks Perlindungan HAM

Adapun Enny menyebut, yang dibutuhkan dan diharapkan muncul dari debat kedua Pilpres 2019 adalah arah kebijakan yang memberikan gambaran lebih konkret tentang langkah solusi ke depan. 

"Isu energi, secara cadangan memang berpatokan fakta energi berbasis fosil sudah defisit. Kemungkinan masih ada saja cadangan yang belum ditemukan, tapi belum ada investasi atau upaya signifikan untuk menemukannya. Nah, apa yang mau dilakukan dengan itu?" papar Enny, lewat percakapan dengan Kompas.com pada Kamis (14/2/2019).

Lalu, lanjut Enny, terlihat ada pergeseran basis energi ke batubara. Namun, ujar dia, dengan penambangan selama ini, cadangannya pun menipis. Terlebih lagi, ada praktik ekspor yang kembali tanpa pembatasan untuk batubara, di luar pemanfaatan untuk kebutuhan pembangkit PLN yang juga besar. 

"(Pertanyaannya), perencanaan untuk energi baru terbarukan seperti apa? Sebagai kunci daya saing, harus ada energi efisien, itu akan seperti apa? Tak cukup bilang diversifikasi energi. Harus dijelaskan pilihannya apa saja, yang substantif dan mana yang paling realistis," tegas Enny.

Baca juga: JEO-Terorisme Menurut Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandiaga

Satu hal lagi yang juga perlu jadi catatan seluruh anak negeri, imbuh Enny, semua janji dan program selama kampanye dan pencalonan harus dikawal.

Sejarah mencatat, banyak janji yang sebelumnya menyihir para pemilih untuk menentukan pilihan politiknya pun banyak yang tak terealisasi ketika sang kandidat benar-benar terpilih dan mengemban amanat.

Akankah harapan ini berjawab?

VISI MISI KANDIDAT

Visi-misi Kandidat Pilpres 2019 soal Energi - (KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO)

 

PARA kandidat mendaku akan menggarap serius isu energi ini. Sejumlah program dalam kemasan visi besar sebagaimana infografis di atas pun telah disodorkan ke publik. 

Juru Bicara Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf Amin, Arif Budimanta, menyebut pasangan calon nomor urut 01 itu telah menyiapkan Program 4A sebagai arah kebijakan menuju kemandirian dan ketahanan energi nasional.

Rinciannya: Menurut Arif, 4A tersebut terdiri dari, affordibilitas, akseptabilitas, aksesibilitas, dan availabilitas. Rinciannya:

Affordabilitas: 

Akseptabilitas:

Aksesibilitas:

Availablitas:

Sekretaris Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf Hasto Kristiyanto mengatakan, Jokowi dan Ma'ruf Amin akan mengangkat kedaulatan dan keadilan energi yang sudah dikerjakan pemerintah dalam debat capres kedua Pilpres 2019. 

Kedaulatan di bidang energi diperjuangkan dengan baik. Keadilan dalam energi juga diperjuangan dengan baik.

~Hasto Kristiyanto~

“Tentu saja Pak Jokowi akan mengangkat tema berdaulat. Kedaulatan di bidang energi itu, diperjuangkan dengan baik. Tapi keadilan dalam energi itu juga diperjuangan dengan baik," kata Hasto.

Menurut Hasto, program energi Jokowi bakal diselaraskan dengan isu lingkungan hidup. Yaitu, sebut dia, dengan beralih ke energi terbarukan. Karena itu, ujar dia memberikan contoh, Jokowi membangun waduk demi mengaliri listrik ke rumah-rumah warga.

"Karena itulah pembangunan waduk itu menjadi hal yang sangat penting. Energi terbarukan itu yang akan diangkat juga sama Pak Jokowi," kata dia.

Adapun pasangan calon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memiliki 36 program aksi bidang ekonomi dalam visi misinya, di dalamnya tercakup soal energi sebagaimana tergambar dalam infografis di atas. 

Dalam sejumlah pernyataan, Prabowo juga berjanji bila terpilih dalam kontestasi kepemimpinan nasional ini maka dia akan mewujudkan swasembada energi untuk Indonesia. 

"Saya bersaksi di sini, kalau Insya Allah saya menerima amanah rakyat Indonesia, saya akan bikin Indonesia berdiri di atas kaki kita sendiri. Kita tidak akan impor apa-apa, saudara-saudara sekalian!" ujar Prabowo dalam deklarasi dukungan Komando Ulama Pemenangan Prabowo Sandi (Koppasandi) di GOR Soemantri, Minggu (4/11/2018).

Menurut Prabowo, Indonesia harus memiliki terobosan yang cepat agar dapat membenahi sektor pangan dan energi yang masih bergantung pada negara lain.

“Maka dari itu, strategi saya adalah melalui bioenergi dan biofuel. Kita akan membangun ulang hutan-hutan agar menjadi produktif. Itu strategi saya. Strategi dorongan besar tim Prabowo-Sandiaga adalah untuk berdikari dengan cepat," lanjut Prabowo.

Prabowo juga mengatakan, sejumlah kelebihan dari Indonesia dapat ditingkatkan lagi dalam rangka menghadapi tantangan kebutuhan energi di masa depan.

Ia meyakini, Indonesia dapat memproduksi bioenergi dengan jumlah besar. Salah satu sumbernya, sebut Prabowo, adalah pohon aren.

Strategi terkait energi, sambung Prabowo, juga akan dibarengi dengan strategi dalam pewujudan swasembada pangan. Menurut dia, Indonesia saat ini masih memiliki lahan yang sangat luas untuk memproduksi sumber energi terbarukan tersebut.

"Kami akan pastikan bahwa rakyat tidak terbebani dengan harga BBM yang tinggi."

~Sandiaga Uno~

"Setelah dikalkulasi, ada sekita 8 juta hektar yang memproduksi energi, dan 4 juta atau 5 juta hektar yang memproduksi pangan. Kita harus mencari inovasi baru yang revolusioner, teknologi untuk mengelola air kita. Kita bisa melihat sekarang efek dari pergantian iklim," papar Prabowo.

Sementara itu, Sandiaga mengatakan bahwa dia dan Prabowo akan menjaga level harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang terjangkau oleh terutama masyarakat kelas bawah. Menurut dia, kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi akan menyulitkan perekonomian masyarakat kecil.

"Jadi kebijakan kami, seandainya kami diberikan amanah oleh Allah SWT, dipilih oleh rakyat, kami akan pastikan bahwa rakyat tidak terbebani dengan harga BBM yang tinggi," kata Sandiaga.

Di sisi lain, Sandiaga akan mendorong atau meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan sebagai sumber energi alternatif. Dia menyebut, salah satu sumber itu adalah pemanfaatan potensi biofuel. 

"Kami memiliki satu strategi yang kami sebut the big push strategy untuk memastikan bahwa sektor energi ini bukan menjadi sektor yang membebani kita tapi merupakan potensi yang luar biasa," ucap Sandiaga.