Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bukhari, Mengembangkan Batik Bakaran

Kompas.com - 22/04/2009, 02:06 WIB

Oleh HENDRIYO WIDI

Pada tahun 1975, batik bakaran nyaris hilang dari peredaran pasar tradisional. Pasalnya, Sutarsih yang berusia 86 tahun, satu-satunya generasi keempat pembatik bakaran, tak mampu lagi membatik. Namun, Bukhari, putra ke-12 Sutarsih, yang mewarisi kemampuan membatik, berusaha keras menjadikan batik bakaran kembali ”bermasa depan”. Bukhari Wiryo Satmoko, nama lengkap pria yang lahir di Desa Bakaran Wetan, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, ini tidak sekadar mengembalikan batik bakaran di peredaran pasar tradisional, tetapi sampai ke pasar nasional dan internasional.

Dia memang akrab dengan batik. Sejak masih duduk di kelas III Sekolah Rakyat, Bukhari kerap dianggap suka ngrusuhi atau mengganggu ibunya yang sedang membatik.

Saat sang ibu beristirahat, Bukhari kecil mengambil canting dan melanjutkan motif batik di kain yang dikerjakan ibunya. Bukannya menjadi rangkaian batik yang indah, motif-motif karya Bukhari itu tidak berbentuk dan malam batiknya mblobor.

Kejadian itu terus berulang hingga sang ibu sering marah. Namun, dari waktu ke waktu sang ibu pun bisa melihat bahwa hasil lanjutan motif Bukhari semakin baik. Bahkan, Bukhari kerap menelurkan motif lain yang berbeda dengan pakem batik bakaran.

”Saya mulai jarang membatik bersama Ibu setelah duduk di Sekolah Teknik Juwana. Soalnya, lebih asyik mengutak-atik mesin ketimbang canting he-he,” kenangnya.

Kondisi itu berjalan hingga Bukhari duduk di STM 2 Semarang. Namun, baru dua bulan di sekolah itu, dia harus pulang ke rumah dan tak lagi melanjutkan sekolah. Ia harus menjaga ibunya yang sakit keras karena seorang kakak Bukhari meninggal tertimpa paku bumi.

Sang ibu tak memperkenankan Bukhari melanjutkan sekolah teknik karena takut kejadian serupa menimpa putra bungsunya itu. Peristiwa itulah yang kembali mendekatkan Bukhari dengan cinta pertamanya, batik.

Mengajari istri

Tahun 1975 ia menikah dengan Tini. Untuk menghidupi keluarga, Bukhari mengerjakan tambak. Ia mengajari istrinya membatik dan berharap Tini tak sekadar menjadi ibu rumah tangga, tetapi turut menopang ekonomi rumah tangga.

Pada tahun-tahun itu pula Desa Bakaran Wetan krisis generasi pembatik bakaran. Sejak sakit, ibunda Bukhari tak lagi membatik. Bukhari memanfaatkan situasi ”genting” itu dengan mengembangkan batik bersama istrinya.

”Semula saya memproduksi dua kain batik per bulan dan menjualnya di pasar tradisional. Waktu itu harganya masih murah, Rp 3.000-Rp 8.000 per lembar,” ujar Bukhari, generasi kelima pembatik bakaran.

Menurut dia, meski tak selaris saat Juwana menjadi pelabuhan besar pada zaman para kakek-buyut, masyarakat tetap meminati batik bakaran. Bahkan, sejumlah orang yang mengira batik bakaran sudah tak lagi diproduksi mengaku kaget bisa menemukannya.

”Mereka mendatangi rumah saya untuk memesan batik. Dari waktu ke waktu pesanan bertambah sehingga batik bakaran tenar kembali,” katanya.

Agar batik bakaran lebih dikenal luas, Bukhari memberi merek batiknya ”Tjokro”. Ia mengambil nama kakeknya, Turiman Tjokro Satmoko. Alasannya, pada era Tjokro, batik bakaran menjadi komoditas perdagangan di Pelabuhan Juwana dan menjadi tren pakaian para pejabat Kawedanan Juwana.

Tenaga kerja

Lonjakan permintaan pasar pada era 1980-an itu menyebabkan Bukhari menambah tenaga kerja dari dua orang menjadi 20 pembatik. Tenaga pembatik itu berasal dari para ibu rumah tangga di sekitar tempat tinggalnya.

Menurut Bukhari, para ibu rumah tangga itu tak mempunyai pekerjaan tetap ketika ditinggal suaminya melaut, bertani, atau mburuh di kota-kota lain. Dengan membatik, mereka dapat menambah penghasilan keluarga Rp 15.000-Rp 30.000 per hari.

”Sebagian kecil di antara mereka sudah bisa membatik, sedangkan yang lain harus diajari lebih dulu,” kata penerima penghargaan Byasana Bhakti Upapradana dari Gubernur Jateng pada 1994 ini.

Pada tahun 1998 Bukhari terpaksa menutup usaha batik dan memberhentikan para pekerjanya. Industri rumah tangga batik yang dia kembangkan mulai dari nol itu terkena imbas krisis moneter.

Alasannya, saat itu harga bahan baku batik meningkat berlipat-lipat sehingga harga batik menjadi sangat tinggi. Hal Ini mengakibatkan batik bakaran tak laku, sepi pembeli.

”Usaha itu saya tutup selama dua tahun. Baru pada tahun ketiga saya mulai memproduksi batik lagi dalam skala kecil dibantu istri dan seorang pembatik,” katanya.

Tahun 2006 Bukhari mengusulkan kepada Pemerintah Kabupaten Pati untuk melestarikan dan meningkatkan pemasaran batik bakaran. Pemkab Pati menerima usulan itu dengan menggalakkan program pemakaian batik bagi pegawai negeri sipil (PNS) pada hari-hari tertentu.

Program itu meningkatkan pemasaran batik bakaran di daerah Pati sekaligus juga di luar Pati. Melalui promosi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Pati dan gethok tular para pembeli, batik bakaran kembali bangkit.

Bukhari bisa mempunyai tenaga kerja harian dan borongan sebanyak 52 orang. Mereka mampu memproduksi 400-600 lembar batik bakaran per bulan. Tak mengherankan jika omzet Bukhari mencapai Rp 40 juta–Rp 60 juta per bulan. Pemasaran batik produknya tak hanya di Pati, tetapi sampai ke Surabaya, Bandung, Jakarta, Rembang, Blora, Semarang, serta Kanada dan Amerika Serikat.

Melestarikan legenda

Sukses Bukhari melestarikan batik bakaran dan meningkatkan perekonomian warga sekitar berdampak pula pada kelestarian legenda tentang batik bakaran. Melalui legenda itu, tradisi manganan atau makan bersama terus berkembang dan menjadi salah satu sarana menjalin keguyuban warga.

Bukhari memaparkan, sejarah batik bakaran terkait erat dengan kisah Nyi Danowati atau Nyai Ageng Siti Sabirah, penjaga pusaka dan pengurus seragam Kerajaan Majapahit akhir abad ke-14. Ia datang ke Desa Bakaran untuk mencari tempat persembunyian karena dikejar-kejar prajurit Kerajaan Demak.

Dalam penyamarannya di Desa Bakaran, Nyi Danowati membuat langgar tanpa mihrab yang disebut Sigit, dan sampai kini menjadi pepunden, tempat warga menggelar tradisi manganan. Di halaman Sigit itulah Bukhari mengajar membatik kepada warga sekitar.

Menurut dia, motif batik Nyi Danowati yang masih berkembang hingga kini adalah motif sekar jagad, gandrung, padas gempal, magel ati, dan limaran. Motif-motif itu mirip dengan motif batik dari Jawa Timur.

Dahulu, pewarna batik motif itu menggunakan bahan-bahan alami. Misalnya, kulit pohon tingi yang menghasilkan warna coklat, kayu tegoran untuk warna kuning, dan akar kudu sebagai pewarna sawo matang.

”Sayangnya, bahan-bahan itu sudah sulit didapat,” kata Bukhari.

Selain motif-motif bakaran kuno, Bukhari juga mengembangkan motif kontemporer berdasarkan kekhasan daerah dan tren yang dilihatnya berkembang di masyarakat. Misalnya, motif gelombang cinta, juwana, begisar, kembang rowo, peksi papua, pohon druju, dan jambu alas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pemerintah Perlu Tinjau Ulang Anggaran Belanja di Tengah Konflik Iran-Israel

Pemerintah Perlu Tinjau Ulang Anggaran Belanja di Tengah Konflik Iran-Israel

Whats New
Ekspor Batik Aromaterapi Tingkatkan Kesejahteraan Perajin Perempuan Madura

Ekspor Batik Aromaterapi Tingkatkan Kesejahteraan Perajin Perempuan Madura

Whats New
Hadiri Halalbihalal Kementan, Mentan Amran: Kami Cinta Pertanian Indonesia

Hadiri Halalbihalal Kementan, Mentan Amran: Kami Cinta Pertanian Indonesia

Whats New
Pasar Modal adalah Apa? Ini Pengertian, Fungsi, dan Jenisnya

Pasar Modal adalah Apa? Ini Pengertian, Fungsi, dan Jenisnya

Work Smart
Syarat Gadai BPKB Motor di Pegadaian Beserta Prosedurnya, Bisa Online

Syarat Gadai BPKB Motor di Pegadaian Beserta Prosedurnya, Bisa Online

Earn Smart
Erick Thohir Safari ke Qatar, Cari Investor Potensial untuk BSI

Erick Thohir Safari ke Qatar, Cari Investor Potensial untuk BSI

Whats New
Langkah Bijak Menghadapi Halving Bitcoin

Langkah Bijak Menghadapi Halving Bitcoin

Earn Smart
Cara Meminjam Dana KUR Pegadaian, Syarat, dan Bunganya

Cara Meminjam Dana KUR Pegadaian, Syarat, dan Bunganya

Earn Smart
Ada Konflik Iran-Israel, Penjualan Asuransi Bisa Terganggu

Ada Konflik Iran-Israel, Penjualan Asuransi Bisa Terganggu

Whats New
Masih Dibuka, Simak Syarat dan Cara Daftar Kartu Prakerja Gelombang 66

Masih Dibuka, Simak Syarat dan Cara Daftar Kartu Prakerja Gelombang 66

Work Smart
Tingkatkan Daya Saing, Kementan Lepas Ekspor Komoditas Perkebunan ke Pasar Asia dan Eropa

Tingkatkan Daya Saing, Kementan Lepas Ekspor Komoditas Perkebunan ke Pasar Asia dan Eropa

Whats New
IHSG Turun 2,74 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Saham Rp 11.718 Triliun

IHSG Turun 2,74 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Saham Rp 11.718 Triliun

Whats New
Pelita Air Catat Ketepatan Waktu Terbang 95 Persen pada Periode Libur Lebaran

Pelita Air Catat Ketepatan Waktu Terbang 95 Persen pada Periode Libur Lebaran

Whats New
Simak, 5 Cara Tingkatkan Produktivitas Karyawan bagi Pengusaha

Simak, 5 Cara Tingkatkan Produktivitas Karyawan bagi Pengusaha

Work Smart
Konflik Iran-Israel, Kemenhub Pastikan Navigasi Penerbangan Aman

Konflik Iran-Israel, Kemenhub Pastikan Navigasi Penerbangan Aman

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com