Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sudah Tua, Kok, Malah Cerai

Kompas.com - 03/08/2009, 09:08 WIB

Masyarakat umumnya menganggap, bila pernikahan sudah melampaui masa 25 tahun, maka akan selamatlah para pasangan mengatasi badai kehidupan perkawinan sebelumnya karena mereka dipandang sudah dapat saling menyesuaikan diri dan menerima apa pun keadaan pasangannya.

Sebetulnya perkawinan baru dapat disebut berhasil bila tidak hanya bertahan utuh dalam waktu lama, tetapi sekaligus memberikan kebahagiaan bagi semua anggota keluarga. Kenyataannya, ada sebagian kecil pasangan yang sudah lama menikah justru ”berani” menghentikan hubungan dengan pasangan karena berbagai alasan. Mari kita simak surat bapak lanjut usia berikut ini.

”Saya seorang laki-laki pensiunan, berusia di atas 60 tahun, memiliki seorang istri dan dua anak yang sudah berkeluarga.

Setiap bulan saya dan istri harus mengandalkan hidup kepada anak-anak karena uang pensiun sangat kecil. Itu pun dengan keadaan salah satu menantu laki-laki pekerjaannya tidak tetap. Karena itu, terkadang kami meminta bantuan kepada keponakan yang berpenghasilan besar.

Keadaan ekonomi itu menjadi sumber pertengkaran saya dan istri. Akhirnya setelah memendam masalah cukup lama (kami sudah menikah lebih dari 30 tahun), saya dan istri berpisah tempat tinggal beberapa bulan. Yang mengagetkan, istri ternyata mengajukan talak kepada saya dan resmi menceraikan saya sekitar dua minggu lalu. Ini di luar dugaan, apalagi saya mengetahui dari anak, bukan dari istri sendiri. Ternyata istri demikian teganya…. Apalagi yang bisa saya lakukan sekarang, Bu? Rasanya saya sudah mati langkah.” Demikian surat Bapak B di kota C.

Untuk menjawab surat Bapak B, kita perlu menganalisis beberapa hal dalam kehidupan perkawinan yang mungkin luput dari pengamatan pasangan perkawinan dan sangat mungkin merupakan penyebab retaknya hubungan perkawinan.

Kebutuhan

Menurut Cox (1983), seyogianya tiga macam kebutuhan dapat terpenuhi melalui kehidupan perkawinan, yaitu:

1. Kebutuhan psikologis, seperti kebutuhan untuk mendapat cinta kasih, dukungan emosional, rasa aman, kebersamaan, dan pemenuhan kebutuhan romantis.

2. Kebutuhan seksual yang dalam masyarakat tertentu hubungan seks hanya sah bila terikat dalam perkawinan.

3. Kebutuhan material, di mana nafkah dan pengelolaan rumah tangga merupakan hal penting untuk kelangsungan kehidupan bagi yang terlibat dalam perkawinan tersebut.

Bapak B perlu merenungkan kembali apakah selama 30 tahun kehidupan perkawinan, berbagai kebutuhan itu terpenuhi atau tidak. Bila tidak ada keterbukaan dalam mengomunikasikan kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka masalah menjadi bertumpuk.

Banyak pasangan menganggap remeh suatu masalah, hanya dipertengkarkan sebentar, lalu tak ada pembahasan untuk menemukan pemecahan. Hal semacam ini bila berlarut bisa berbahaya karena sebenarnya pihak yang merasa kebutuhannya tak terpenuhi hanya memendam dalam hati, tetapi kemudian baru meledak suatu saat.

Bisa jadi selama ini persoalan coba ditahan karena mempertimbangkan beberapa hal, misalnya anak belum lulus sekolah atau belum menikah, khawatir orangtua sakit atau shock, atau berharap pasangan membaik.

Masalah keuangan

Bila selama ini hampir semua kebutuhan terpenuhi, juga tak ada masalah dalam keterbukaan berkomunikasi, bisa dipastikan masalah ada pada masa kini setelah Bapak B berhenti bekerja, yaitu masalah keuangan. Sayang, tak ada informasi apakah Ibu B juga bekerja mencari uang.

Masalah keuangan sering memicu persengketaan dalam kehidupan perkawinan. Pasangan yang berpenghasilan kurang memadai cenderung mengalami banyak masalah akibat keterbatasan keuangan. Berarti selama ini pengelolaan keuangan keluarga tidak baik, terlalu boros, atau penghasilan kurang memadai sampai tak ada tabungan sehingga begitu pensiun Bapak B harus mengandalkan kebutuhan hidup pada anak-menantu, bahkan keponakan.

Maaf, saya tidak bermaksud membela pihak mana pun, tetapi bisa jadi Ibu B juga sudah sangat jengkel dengan situasi keuangan yang buruk selama ini. Apakah Bapak B cukup mengenal sifat Ibu B selama ini dan menyadari masalah tersebut?

Jika ya, sebenarnya Bapak B sudah dapat memperkirakan Ibu B tidak dapat lagi bertahan hidup bersama dia. Jika suatu perkawinan hancur, hal tersebut bukan disebabkan suami atau istri terpaksa harus menerima kegagalan, melainkan karena kegagalan itu memang dibiarkan terjadi.

Langkah selanjutnya

Bagi Bapak B, meski kondisi Bapak sangat memprihatinkan, saya menganjurkan tidak berlarut menyalahkan diri maupun pihak lain. Yang pasti, biasanya bila lanjut usia memutuskan berpisah dari pasangan, hal itu sudah dipertimbangkan dengan saksama kebaikan dan keburukannya.

Jadi, jalani kehidupan dengan lebih tegar dan tabah, perbanyaklah membina hubungan dengan lingkungan sekitar tempat tinggal dan tidak terlalu lama mengurung diri karena menyesali keadaan. Terus upayakan melanjutkan silaturahim dengan keluarga besar, anak, menantu, dan cucu.

Menurut saya, Bapak masih belum terlalu tua untuk terus bekerja mencari penghasilan. Justru dengan terus bergiat dan berkarya, Bapak bisa membuktikan bertanggung jawab pada diri pribadi. Selamat berjuang.

Penulis: Agustine Dwiputri, psikolog

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com