Anne of the Green Gables: Mata Air Keajaiban
Meicky Shoreamanis Panggabean*
Nama Pengarang: Lucy M. Montgomery
Jenis Karangan: Novel
Penerbit :Qanita (Mizan Group), Bandung
Cetakan Pertama: Desember 2008
Tebal Buku : 513 halaman
ISBN:978-979-3269-86-3
“Tak ada gunanya mencintai sesuatu jika kita harus direnggut dari mereka, betul ‘kan? Dan begitu sulit menahan diri untuk tidak mencintai banyak hal, iya ‘kan?” (hal.70). Demikianlah pertanyaan retoris yang diajukan Anne, pengkhayal sejati berusia 11 tahun yang ingin menjadi burung camar, menganggap pingsan adalah sebuah kejadian romantis, dan memiliki dua teman imajiner yang tinggal di dalam lemari.
Anne adalah anak berkepribadian dan berpenampilan aneh yang diadopsi Matthew dan Marilla Cuthbert karena sebuah kesalahan prosedur. Mereka sesungguhnya ingin mengasuh seorang anak lelaki dan berniat mengembalikan Anne ke panti asuhan namun sepanjang perjalanan, tanpa ia sadari kepolosan dan keriangannya melelehkan hati Marilla dan Matthew. Ia pun akhirnya tinggal bersama pasangan ini di rumah berpanorama memukau yang disebut Green Gables di Avonlea, sebuah desa yang bisa mengembalikan ingatan kita kepada Little House on the Prairie, tempat Laura Inggals lahir dan tumbuh dewasa.
Dari lokasi inilah cerita mengalir. Perpaduan antara imajinasi yang panjang dan logika yang pendek sering membuatnya terperosok dalam masalah namun ia membangga-banggakan dirinya sebagai anak yang “…tak pernah melakukan kesalahan yang sama hingga dua kali”. Pernyataan ini diamini Marilla dengan ketus,“…karena engkau terus membuat kesalahan baru” (hal.299). Kemurnian hatinya, kenakalannya yang kerap dipicu oleh tekad untuk mempertahankan harga diri serta sikap impulsifnya yang didorong keinginan tulus untuk menyenangkan orang-orang tersayang membuat Anne cepat diterima oleh masyarakat setempat.
Ia berhasil membuat Matthew yang benci keriuhan jadi rajin ke kota yang ramai untuk membelikannya berbagai baju bagus, mengubah Marilla yang sarkastis menjadi sentimentil dan melankolis serta mampu membuat Josephine, perawan tua berusia tujuh puluh yang kaku, rela menginap sebulan lebih lama di Avonlea hanya karena ingin berbincang-bincang lebih jauh dengan dirinya.
Kelincahan dan antusiasme Anne dalam wujud berbeda bisa kita temui dalam diri Maria, pengasuh tujuh anak di film klasik ‘The Sound of Music’ dan keliaran imajinasinya mungkin akan mengingatkan kita kepada Hans Christian Andersen. Adapun ketepatannya dalam beranalogi saat bicara serta kematangan berpikirnya akan membawa sebagian orang mengaitkan sosok kurus berambut merah dan berwajah penuh bintik ini dengan ‘anak indigo’, sebuah istilah yang di Indonesia kini sedang merebak menjadi topik berbagai buku psikologi.
Buku ini merekam lima setengah tahun perjalanan hidup Anne dan mengupas berbagai faset kepribadiannya: Anne sebagai anak sombong akibat kompensasi dari masa kecil yang pedih, Anne sebagai trouble-maker karena tubuhnya bergerak lebih cepat daripada pikirannya, si anak cerdas namun bandel yang membenturkan batu tulis ke kepala teman sekelasnya serta calon guru yang rela melepaskan impiannya untuk orang yang paling ia sayangi.
Buku ini mengajak kita untuk berpetualang ke tempat-tempat yang Anne namai sesuai dengan imajinasinya yang unik yaitu Permadani Violet, Kanopi Kekasih serta Danau Air Riak Berkilau. Novel ini juga menyodorkan persahabatannya yang indah dengan Diana Barry serta perseteruannya dengan Gilbert Blythe, musuh bebuyutan yang mengirimkankannya kertas berbentuk hati berisi pujian dan kelak menyelamatkan nyawanya.
Karakter Anne yang agak teatrikal, gerakannya yang serba cepat serta penuturannya yang sulit dihentikan oleh siapapun, mungkin akan membuat pembaca yang memiliki kecenderungan untuk memvisualisasikan teks merasa ‘terengah-engah’ ketika membaca buku ini. Imajinasinya yang ganjil serta kegemarannnya menggunakan kata-kata superlatif dengan intensitas emosi yang ekstrem juga mungkin akan membuat mata letih untuk sesaat.
Bagaimanapun, dua dugaan kecil di atas tidak menghalangi edisi Bahasa Indonesia dari buku ini untuk dicetak dua kali hanya dalam dua bulan. Oplah novel ini bahkan telah mengalahkan To Kill A Mockingbird, Gone with the Wind dan Harry Potter. Hingga 2009, buku ini juga telah diangkat sebagai film televisi di Amerika Serikat, Kanada dan Inggris hingga tujuh versi dan bahkan mucul dalam format anime di Jepang pada tahun 1979. Mungkin naskah yang ditulis pada tahun 1908 ini menjadi legendaris berkat kepiawaian Montgomery menciptakan karakter Anne yang amat unik. Ia meramu kebajikan Anne, yang kerap terlalu matang untuk bocah seusianya, dengan sifat khas kanak-kanak yang polos dan menjengkelkan serta serangkaian imajinasi yang aneh. Ia juga membuat Anne melebur dengan karakter lain yang jumlahnya cukup banyak dan menyodorkan puluhan cerita dengan setting berpindah-pindah sehingga kita terhindar dari kebosanan saat membacanya.
Pada halaman bagian dalam, tertera sub judul:Novel tentang Kasih Sayang dan Pengorbanan. Saya merasa cerita melulu berputar-putar di tema kasih sayang dan kata ‘pengorbanan’ tak ada kaitannya dengan isi. Barulah di halaman 504, hanya sekitar lima lembar menjelang cerita berakhir, mata saya tertumbuk pada uraian mengenai dua pengorbanan yang menguras emosi. Di bagian inilah kata ‘pengorbanan’ menemukan relevansinya yang terdalam.
Ralph Waldo Emerson, seorang penyair Amerika, sambil tersenyum pernah mengutarakan bahwa selucu apapun seorang anak, ibunya pasti amat bahagia jika anak tersebut tidur. Mudah ditebak bahwa pasti begitu jugalah perasaan Marilla saat menghadapi tingkah polah Anne. Namun bagaimanapun bandelnya Anne, ia telah membawa kita untuk kembali meneguk obat kuno, gratis dan pasaran yang terbukti mujarab menyembuhkan di saat kita sakit menghadapi kehidupan yang rapuh dan kejam:Kasih sayang.
Anne juga mendorong kita untuk mengasah kembali kepekaan yang telah tumpul akan keajaiban yang tersembunyi di balik hal-hal sederhana. Ia mengajak kita untuk kembali menghidupkan sifat anak kecil di tubuh dewasa tempat kita berdiam dan juga mengingatkan kita untuk selalu menyadari bahwa di akhir setiap hujan selalu ada pelangi. Ketika Mrs. Rachel yang telah beranak sepuluh bertutur kepadanya,” Terberkatilah mereka yang tidak berharap apa-apa karena mereka tak akan kecewa”, anak bandel ini langsung membantah,”…tidak mengharapkan apa-apa lebih buruk daripada harus merasa kecewa” (hal.170).
Kendati kisah ini berfokus pada seorang bocah, Montgomery menuliskannya untuk pembaca dari segala usia. Sebagai guru, Montgomery yakin bahwa anak-anak adalah mata air keajaiban dan kebahagiaan yang tak akan kering kendati isinya direguk setiap hari. Dalam novel ini, keyakinannya mengejawantah dengan sempurna dalam diri Anne.
*Guru Pelita Harapan Lippo-Cikarang, Penulis ‘Keberanian Bernama Munir:Mengenal Sisi-sisi Personal Munir’ (Mizan, 2008).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.