Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajarlah kepada Sultan Banten

Kompas.com - 23/09/2009, 04:50 WIB
 

Anita Yosihara

KOMPAS.com - Matahari baru saja naik tepat di atas kepala. Aroma dupa dan lilin terbakar menyeruak dari dalam bangunan berwarna merah di Kampung Pamarican, Desa Banten, Kasemen Kota Serang, Banten, Kamis (17/9).

Dari pintu masuk terlihat dua perempuan sedang bersembahyang di depan arca Dewi Kwan Im. Beberapa lelaki berdiri memegang hio atau dupa yang siap dibakar. Meski masih berpuasa, para lelaki itu tetap sibuk melayani peziarah yang akan bersembahyang di wihara tua itu.

Seorang juru parkir berjaga-jaga di depan pintu masuk wihara tua, mengawasi kendaraan para peziarah. Terik matahari tidak menyurutkan niatnya beribadah puasa di bulan Ramadhan.

Wihara tua itu bernama Avalokitesvara. Nama itu diambil dari sebutan Kwan Im Hut Cou atau Dewi Kwan Im dalam bahasa Sanskerta. Dewi welas asih itu diyakini sering menolong manusia saat dihadapkan pada berbagai kesulitan.

Kelenteng China itu berada di kawasan Banten Lama, sekitar 10 kilometer di utara Kota Serang. Berdiri di Kampung Pamarican, Desa Banten, yang dahulu menjadi pusat perdagangan lada antarnegara.

Lokasinya hanya 500 meter di sebelah utara Masjid Agung Banten Lama dan Keraton Surosowan, istana kerajaan Islam Banten. Dekat dengan Teluk Banten dan Benteng Spelwijk.

Tempat peribadatan itu dibangun tahun 1652 oleh Syekh Syarif Hidayatullah yang kemudian dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, salah satu dari Wali Songo. Wihara itu dibangun saat Syarif Hidayatullah menjadi Sultan Banten.

Asaji dari bagian Humas Wihara Avalokitesvara menceritakan, awalnya kelenteng dibangun di Desa Dermayon, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, lebih kurang 500 meter di selatan Masjid Agung Banten Lama.

Saat pertama kali dibangun, wihara China itu diberi nama Bantek Ie yang berarti sejuta kebajikan. Kelenteng itu kemudian dipindahkan ke Kampung Pamarican sekitar tahun 1774.

Syekh Syarif Hidayatullah membangun wihara itu setelah menikahi putri Tiongkok bernama Ong Tien Nio. Rombongan putri dari marga Ong itu tiba di Teluk Banten lantaran kehabisan bekal dalam perjalanan menuju Surabaya. Iring-iringan kapal putri Tiongkok itu kemudian berlabuh di Kali Kemiri, dekat Keraton Surosowan. Sultan Syarif Hidayatullah yang kebetulan berjalan-jalan melihat putri tersebut. Merasa tertarik, Sultan lalu menikahi sang putri.

Sang putri bersama sebagian pengikutnya memilih masuk Islam, sebagian lainnya tetap memeluk agama Buddha.

Para pemeluk Buddha terpaksa beribadah di tepi pantai karena belum ada tempat beribadah. Atas permintaan istrinya, Syarif Hidayatullah mendirikan kelenteng. Selain itu, Sultan juga membangun masjid untuk para pengikut putri yang masuk agama Islam.

Hingga kini, wihara tersebut kerap didatangi ribuan peziarah dari sejumlah negara, misalnya Belanda, Jerman, dan Thailand.

Wihara itu sering didatangi para peziarah karena terdapat altar Dewi Kwan Im. Di dalam wihara juga terdapat 15 altar lain, seperti altar Thian Kong yang berarti Tuhan Yang Maha Esa dan Sam Kai Kong atau penguasa tiga alam.

Ribuan peziarah datang terutama pada bulan keenam lunar kalender Imlek, peringatan Lak Gwe Cap Kau. Peringatan itu dilakukan saat Dewi Kwan Im mendapatkan kesempurnaan.

Kerukunan

Keberadaan tempat peribadatan umat Buddha di pusat pemerintahan kerajaan Islam Banten itu menunjukkan tingginya toleransi antarumat beragama pada masa itu. Meski berbeda agama dan keyakinan, lebih dari tiga abad warga hidup berdampingan dengan rukun dan damai.

Tak sedikit warga sekitar yang mayoritas beragama Islam membantu mengelola wihara. Asaji menuturkan, hampir 80 persen dari 32 pekerja wihara itu beragama Islam. Mereka terutama warga Kampung Pamarican.

Upah pekerja sekitar Rp 150.000 per bulan. ”Ditambah tip dari peziarah,” tutur Jupri, petugas parkir Wihara Avalokitesvara. Pada perayaan besar seperti Lak Gwe Cap Kau, semua warga Pamarican bergotong-royong membantu persiapan di wihara. Mereka pulalah yang membantu pada saat perayaan sekaligus membenahi setelah perayaan usai.

Warga juga memanfaatkan lahan sekitar wihara untuk berjualan penganan khas Banten, seperti emping, gula kelapa, dan sate bandeng, sebagai buah tangan. Selain mendirikan pusat kesehatan bertarif murah, pihak wihara juga meminjamkan kursi dan tenda kepada warga yang menggelar pesta. Toleransi itu masih terpelihara hingga sekarang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com