Anita Yosihara
KOMPAS.com - Matahari baru saja naik tepat di atas kepala. Aroma dupa dan lilin terbakar menyeruak dari dalam bangunan berwarna merah di Kampung Pamarican, Desa Banten, Kasemen Kota Serang, Banten, Kamis (17/9). Seorang juru parkir berjaga-jaga di depan pintu masuk wihara tua, mengawasi kendaraan para peziarah. Terik matahari tidak menyurutkan niatnya beribadah puasa di bulan Ramadhan. Wihara tua itu bernama Avalokitesvara. Nama itu diambil dari sebutan Kwan Im Hut Cou atau Dewi Kwan Im dalam bahasa Sanskerta. Dewi welas asih itu diyakini sering menolong manusia saat dihadapkan pada berbagai kesulitan. Kelenteng China itu berada di kawasan Banten Lama, sekitar 10 kilometer di utara Kota Serang. Berdiri di Kampung Pamarican, Desa Banten, yang dahulu menjadi pusat perdagangan lada antarnegara. Lokasinya hanya 500 meter di sebelah utara Masjid Agung Banten Lama dan Keraton Surosowan, istana kerajaan Islam Banten. Dekat dengan Teluk Banten dan Benteng Spelwijk. Tempat peribadatan itu dibangun tahun 1652 oleh Syekh Syarif Hidayatullah yang kemudian dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, salah satu dari Wali Songo. Wihara itu dibangun saat Syarif Hidayatullah menjadi Sultan Banten. Asaji dari bagian Humas Wihara Avalokitesvara menceritakan, awalnya kelenteng dibangun di Desa Dermayon, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, lebih kurang 500 meter di selatan Masjid Agung Banten Lama. Saat pertama kali dibangun, wihara China itu diberi nama Bantek Ie yang berarti sejuta kebajikan. Kelenteng itu kemudian dipindahkan ke Kampung Pamarican sekitar tahun 1774.