Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Promosi Memang Harus, tapi Benahi Juga Dong Infrastrukturnya...

Kompas.com - 02/10/2009, 06:40 WIB

KOMPAS.com- Mungkin ini potret birokrasi Indonesia pada umumnya. Satu departemen dan departemen lainnya tak selalu mudah berkoordinasi tentang sesuatu yang mestinya saling berkait. Koordinasi mungkin sering dilakukan, tetapi tindakan nyata sulit diwujudkan.

Pertanyaan sejumlah peserta Dialog Bisnis Indonesia yang diprakarsai Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI di Sidney, Kamis (16/9) lalu, mungkin bisa menggugah hati para pengambil kebijakan berkait pariwisata. Entah itu imigrasi, Angkasa Pura, atau juga para pelaku bisnis pariwisata itu sendiri.

Seorang peserta yang merupakan agen perjalanan mengaku sudah berkali-kali menghadiri acara serupa, yakni promosi pariwisata. Berkali-kali juga dinyatakan bahwa Indonesia bukan hanya Bali dan Lombok. ”Tapi kita tidak pernah tahu ada apa di Bandung, ada apa di Yogya, ada apa di tempat-tempat lain?” katanya berapi-api.

Dengan tajam ia mengkritik para pelaku pariwisata Indonesia yang tidak pernah membuat brosur, tidak menulis buku, atau memasang iklan di media internasional. ”Pernahkah Anda pasang iklan di Discovery Channel, misalnya,” kata peserta lain yang justru memuji Malaysia dengan iklan-iklannya yang gencar meski sebenarnya tak punya apa-apa.

Padahal, kata peserta lain, penerbitan dalam Bahasa Inggris akan sangat berguna membantu para wisatawan asing untuk panduan ke mana mereka harus pergi selama di Indonesia. ”Kami sebenarnya mau saja mengarahkan turis kami ke Bandung atau kota lain di Indonesia. Tolong kami diberitahu ada apa saja di kota-kota itu,” katanya.

Memang harus diakui bahwa soal penerbitan dan brosur Indonesia boleh dikata sangat miskin. Di hotel-hotel, misalnya, sangat jarang ditemukan brosur. Kalau pun ada, kebanyakan berbahasa Indonesia. Atau informasi yang disampaikannya sangat minim.

”Bahkan di Bandara Soekarno-Hatta sekalipun sangat jarang ditemukan brosur tentang pariwisata di sekitar Jakarta,” kata Wakil Ketua Asita DKI Jakarta Rudiana. Asita DKI, katanya, sebenarnya akan dengan senang hati kalau diizinkan menempatkan brosur-brosurnya di bandara atau hotel-hotel.

Permintaan akan brosur dan penerbitan obyek wisata di luar Bali itu, kata si penanya, sebenarnya sudah berkali-kali disampaikan. Tapi ya begitu, sampai datang promosi berikutnya brosur yang diminta belum juga terbit.

Saking kesalnya kepada pariwisata Indonesia yang dianggapnya kurang promosi, seorang peserta bahkan dengan sinis bertanya berapa sih sebenarnya anggaran promosi pariwisata Indonesia?
 
Imigrasi dan Angkasa Pura
Hal lain yang mendapat sorotan tajam dari para peserta dialog adalah antrean di bandara-bandara Indonesia, terkait dengan pemeriksaan keimigrasian dan pemeriksaan barang. Seorang peserta di Auckland bahkan mengaku pernah nyaris pingsan ketika mengantre di Imigrasi Bandara Ngurahrai Bali.

”Ibu yang sudah berusia 83 tahun ini mengeluh kepada saya ketika berbincang tadi. Ia mengantre hampir dua jam,” kata Wakil Ketua Asita DKI Jakarta Rudiana.

Sebagai pemandu wisata yang sangat sering bepergian, Rudiana kerap mendapat komplain dari banyak pihak mengenai lambannya proses keimigrasian di Indonesia. Begitu juga soal pemeriksaan bagasi yang sampai tiga kali.

”Anda lihat sendiri di Auckland dan Sidney, pemeriksaan bagasi hanya sekali,” katanya. Di Indonesia, tambahnya, pemeriksaan dilakukan tiga kali: sebelum check in, sebelum masuk gate, dan sebelum masuk ruang tunggu. ”Sebelum masuk ruang tunggu malah tas kita digeledah segala,” katanya.

Kebijakan clearance bagasi di bandara kedatangan pertama, misalnya, sangat dikeluhkan turis. ”Coba bayangkan orang dengan tujuan Bali, misalnya, yang transit di Jakarta harus mengurus bagasinya dulu. Padahal mestinya itu urusan pihak maskapai. Penumpang harus tetap nyaman dan dijamin bagasinya tiba dengan selamat di tujuan,” kata Rudiana lagi.

Sebagai pelaku pariwisata, Asita DKI, kata Rudiana, sudah berkali-kali mengeluhkan soal pelayanan CIQ (customs, imigrations, quarantine) itu ke pemerintah. Tetapi tidak pernah ada hasilnya. ”Mudah-mudahan kalau yang omong orang bule lebih didengar,” kata Rudiana.

Peserta lain menceritakan pengalamannya berkunjung ke Manado yang katanya masyarakatnya dikenal ramah dan murah senyum. ”Tapi ketika ke sana, sejak dari bandara hingga hotel saya tidak menemukan senyuman itu,. Padahal, pariwisata itu adalah sejak seseorang mendarat di bandara, hingga menuju dan menginap di hotel, sampai ke obyek wisatanya. Mereka yang berkecimpung di dalamnya haruslah memahami apa yang diinginkan turis,” katanya.
 
Ada di instansi lain
Pertanyaan dan kritik tajam para peserta dialog itu sayangnya tak mendapat jawaban memuaskan. Sebab, banyak kewenangan yang dikeluhkan itu tidak ada pada Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, melainkan ada di Imigrasi, Bea Cukai, dan Angkasa Pura.

Maksimal jawaban yang bisa diberikan Direktur Pemasaran Luar Negeri Departemen Budpar I Gde Pitana hanyalah mencatat masukan itu dan akan mengoordinasikannya dengan instansi terkait.

Tentu saja jawaban seperti itu tidak memuaskan peserta, meski mereka tak memperpanjang pertanyaan. Barangkali mereka juga maklum kalau yang namanya koordinasi antarinstansi di Indonesia itu artinya tidak jelas. Benarkah begitu? Mudah-mudahan tidak! Budpar harus bisa menjadi dirijen yang memandu orkestra pariwisata Indonesia sehingga jumlah kunjungan wisata ke Indonesia terus meningkat. Masak kalah sama Malaysia yang kata banyak orang tak punya apa-apa...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com