Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Albert Porsiana, Tiap Bulan Butuh 160 Sapi

Kompas.com - 09/11/2009, 08:59 WIB

Samuel Oktora

KOMPAS.com - Sungguh tak dinyana, peristiwa pahit pemecatan Albert Porsiana (48) sebagai Direktur Hotel Marina Kupang justru menjadi momentum awal kesuksesannya di bidang agroindustri peternakan Nusa Tenggara Timur.

Albert, yang telah memimpin roda manajemen Hotel Marina sekitar empat tahun, akhirnya harus dipecat tahun 1994 karena dianggap tak mampu membawa hotel milik keluarga itu mencapai puncak kemajuan.

”Hotel itu merupakan perusahaan keluarga milik orangtua. Karena saat itu ada konflik keluarga, saya akhirnya harus menerima pemecatan sebagai direktur,” kata Albert.

Anak bungsu dari delapan bersaudara pasangan C Porsiana dan Ny C Chamberlain itu terpaksa merintis lagi kariernya dari nol. Beruntung, pada masa awal yang amat sulit Albert didampingi istri tercinta sebagai pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Provinsi NTT. Dengan demikian, keuangan rumah tangganya masih dapat tertolong.

Albert juga tidak putus asa. Dia bersyukur atas jiwa kewirausahaan yang ditanamkan dalam keluarga besarnya sehingga semangatnya tidak surut untuk mencari terobosan bisnis. Dia lalu melakukan survei terhadap dua bidang usaha yang dinilainya prospektif, yakni bambu untuk pembuatan tusuk gigi dan daging sapi. Di kawasan NTT ketika itu bambu tumbuh subur dan seperti di daratan Timor lainnya, tiap tahun tanaman bambu banyak yang dibakar. Ini tentu sangat disayangkan, tetapi bisnis pembuatan tusuk gigi membutuhkan investasi besar.

”Bagi saya, untuk menggeluti satu usaha harus dikuasai dulu ilmunya, baru bisa diterapkan. Saya mulai mendalami usaha bambu ataupun daging sapi lewat buku-buku. Ternyata, untuk bisnis daging sapi, modalnya tidak terlalu besar. Dari satu sapi mulai dari daging, kulit, tulang, lemak, dan isi perutnya bisa menjadi uang. Akhirnya saya memilih bisnis daging sapi,” kata bapak tiga anak itu.

Albert telah menghitung secara cermat modal awal untuk bisnis daging sapi dan berniat meminjam modal dari bank. Namun, ketika dia merintis usaha tersebut tahun 1995, tidak ada satu bank pun yang bersedia memberikan pinjaman modal.

Beruntung salah seorang temannya memberikan kiat, yakni dengan cara meminjam dana bank seolah untuk perbaikan rumah. Albert kemudian mengajukan permohonan ke Bank Tabungan Negara (BTN). Sebagai jaminan, dia menyerahkan sertifikat rumah milik ibunya. Dia berhasil memperoleh modal pinjaman Rp 35 juta.

Pada tahap awal usaha setiap minggu Albert membeli dua ekor sapi yang kemudian diolah dengan produk utama daging se’i (daging sapi hasil panggangan khusus). Ia membeli dalam bentuk karkas, daging dan tulang sapi setelah dipisahkan dari kepala, kulit, kaki bagian bawah, isi perut, dan ekor.

Albert membuka usaha agroindustri peternakan itu dengan bendera CV Aldia. Sebutan Aldia merupakan singkatan dari namanya sendiri, istri, dan anak-anaknya.

Daging se’i Aldia kini begitu terkenal dan menjadi oleh-oleh khas dari Kupang. Di luar NTT, daging se’i Aldia paling banyak diminati di Pulau Jawa.

Menanjak

Dengan telaten Albert menekuni bisnis barunya itu hingga secara perlahan tetapi pasti sejak tahun 1997 usahanya terus menanjak. Sejumlah bank pun mulai menaruh perhatian dan menawarkan pinjaman menggiurkan. Salah satunya adalah Bank Bumi Daya yang mengucurkan kredit Rp 40 juta pada 1997.

Tahun 1997-1999 Albert mulai membeli sapi hidup meski pembelian itu dilakukan oleh orang lain yang memahami betul seluk-beluk tentang sapi. Tahun 2000-an ia turun langsung dalam pembelian sapi, meski tetap didampingi pemandu. Pemandu itu diberi upah antara Rp 25.000 dan Rp 50.000 per ekor sapi.

”Pemandu itu dapat memperkirakan dengan baik berat badan sapi tanpa harus ditimbang. Membeli sapi di pasar hewan memang tidak mudah sebab penuh dengan mafia. Ibaratnya, pasar ternak sapi itu sarang penyamun. Jadi, untuk masuk ke sana harus menjadi penyamun juga,” kata Albert.

Perusahaannya, Aldia, menjual produk sapi dalam dua bentuk, yakni daging olahan dalam kemasan dan daging segar. Di Kupang, produk-produknya saat ini dipasarkan di tiga tempat, yakni di Bandar Udara Eltari, Hotel Marina, dan di kawasan Oepura. Omzet di tiap tokonya per hari berkisar Rp 10 juta.

Kini tiap bulan Albert membutuhkan sekitar 160 sapi atau rata-rata 5-7 sapi setiap hari. Dia menjual daging olahan berupa daging se’i dan untuk bakso. Adapun tulang, lemak, dan daging segar banyak dipesan oleh pengusaha rumah makan yang menyediakan stik, rumah makan padang, restoran, penjual martabak, ataupun penjual bakso setempat. Adapun kulit sapi dijual ke perajin kulit di Jawa.

Dari kesuksesannya, semua pinjaman bank sudah dapat dilunasinya. Bahkan, tanah milik ibu yang dipinjam untuk usaha seluas 3.000 meter persegi di Oesapa juga bisa dibeli Albert seharga Rp 30 juta tahun 2000.

Selain Albert, sebenarnya ada sejumlah pelaku agroindustri peternakan, khususnya sapi di daratan Timor. Namun, umumnya mereka tidak bertahan lama dan kemudian gulung tikar.

Arbert mengusulkan agar dinas terkait di bidang pertanian, peternakan, dan industri dapat bersinergi sehingga ternak sapi dari NTT tidak hanya dijual antarpulau dalam bentuk sapi hidup, tetapi juga dalam bentuk daging olahan dengan nilai jual yang lebih tinggi.

Dia mencontohkan, produksi jagung dari daerah itu tidak hanya diproyeksikan untuk ekspor sebagai biji jagung untuk pakan ternak ataupun sektor pangan lainnya, tetapi ditujukan pula untuk produk olahan, seperti baby corn, hingga batang dan daun jagung yang masih muda untuk pakan ternak bergizi tinggi.

”Tanaman jagung untuk baby corn umurnya hanya 45 hari, setelah itu batang dan daunnya dapat dijadikan makanan yang sangat bergizi bagi sapi. Selain industri akan berkembang, sektor pertanian dan peternakan pun untung,” katanya.

Ia optimistis, usaha agroindustri sapi di NTT sangat prospektif. ”Ke depan saya pun tidak ada niat untuk ekspansi usaha ke bidang lain. Namun, perlu revolusi atau lompatan besar sistem pengelolaan dan pengembangan peternakan di NTT. Jika langkah strategis tidak dilakukan mulai sekarang, dalam kurun waktu 10 tahun-15 tahun lagi bukan tidak mungkin ternak di NTT akan habis,” tuturnya. (KOR/ANS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com