Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Emak Ingin Naik Haji: Sekeping Cermin Cinta Tempat Kita Berkaca

Kompas.com - 27/12/2009, 00:48 WIB

Oleh Meicky Shoreamanis Panggabean*

Dunia  adalah sebuah universitas megah tempat manusia bisa belajar mengenai hidup dari semua  hal yang ada di dalamnya.
Kita bisa belajar tentang  ketekunan dari semut…
Keset kaki bisa memberi kita imaji keji sebuah penindasan…
Debu di kolong tempat tidur bisa  bicara banyak tentang kefanaan hidup…
Sangkar burung bisa melayangkan pikiran kita kepada ide tentang kebebasan…
Pohon…Ibu…Tetangga…Kipas angin…Beruang…Gantungan kunci…Apapun itu…

 
Berangkat dari  pemahaman  bahwa segala hal di dunia menawarkan kesempatan tanpa  batas untuk belajar,  saya percaya bahwa pemeluk   agama apapun pasti pulang dengan batin yang lebih kaya seusai menonton  Emak Ingin Naik Haji. Film  besutan sutradara Aditya Gumai  ini diakhiri terburu-buru dengan sebuah adegan  bernuansa  Hollywood:Kejutan yang bisa ditebak bahkan  sejak film baru saja menggelinding. Bagaimanapun, hal ini  tak mampu menyurutkan apresiasi saya yang tertuang  dalam secarik tulisan berikut.  
***
Film yang diangkat dari cerpen Asma Nadia  ini tak pelak lagi adalah sebuah karya yang memiliki cita rasa spiritualitas teramat lezat. Emak (dimainkan dengan cemerlang oleh Ati Kanser) yang miskin, jujur dan saleh menyimpan kerinduan teramat sangat untuk menyambangi Mekah. Impiannya kian membuncah setelah melihat majalah berisi gambar-gambar Ka’abah di rumah Haji Sa’un (Didi Petet), saudagar kapal tetangganya yang telah berumroh hingga enam kali. Bagaimanapun, kerinduan Emak yang begitu besar berbanding terbalik dengan penghasilannnya yang demikian  kecil: Biaya naik haji yang mencapai tujuh digit tak pernah bisa digapai oleh tangan keriputnya yang hanya mampu  membuat kue apem untuk memenuhi  order kecil-kecilan dari para  tetangga.

Dari rumah Emak yang kumuh dan bobrok inilah cerita  mengalir lalu menguap dan menghasilkan tetes-tetes kebijaksanaan yang kejernihannya melintasi agama apapun. Dengan air mata di pipi dan kerongkongan tercekat, saya hampir semaput di kursi penonton saat Emak dengan pasrah  dan lirih bertutur pada Zein (terima kasih kepada Reza Rahardian atas totalitasnya dalam berperan), putra terkasih yang sama miskinnya dengan dirinya,”Kalaupun Emak keburu meninggal sebelum sampai di Ka’abah, Emak ikhlas Zein…Tuhan tahu kok, hati Emak sudah lama ada di situ…”.  

Kerinduan Emak yang tulus akan Ka’abah terlihat makin dalam karena dikontradiksikan  secara ironis dengan keluarga Haji Sa’un yang pergi ke sana hanya karena rutinitas dan kelebihan uang. Adapun kemurnian hati  Emak dalam beribadah ditampilkan bergantian dengan keculasan Pak Agus (Adenin Adlan), pengusaha besar  yang mengincar   gelar haji hanya untuk  memuluskan jalannya menuju kursi wali kota.

Dalam tempo cepat, film ini  menguliti motivasi  naik haji yang berbeda dari tiap karakter. Namun sesungguhnyalah  cerita yang berdurasi hampir 100 menit  ini tidak hanya  berkisah mengenai ibadah Islami semata-mata.  Emak Ingin Naik Haji tak hanya bicara soal Mekah atau Masjidil Haram.  Emak Ingin Naik Haji juga bicara tentang cinta…

Cintalah yang membuat Emak berjerih payah menyimpan uang seperak demi seperak demi membayar ongkos naik haji yang ketika itu  biayanya mencapai  6 kali lipat dari jumlah tabungannya selama lima tahun.

Cintalah  yang  membuat  Emak merelakan 5  juta rupiah, uang  simpanannya untuk kelak pergi haji,  digunakan untuk pengobatan si cucu. Cinta jugalah yang membuat perempuan renta ini rela memaafkan mantan menantunya yang materialistis di  lobby rumah sakit, di bawah tatapan  anak kesayangannya yang penuh dengan kebencian.

Cintalah yang membuat mata Zein  kerap berkaca-kaca karena  tak pernah bisa mewujudkan impian  Emak terkasih. Cinta jugalah yang yang membuat  Zein  nekad merampok, dan cinta jugalah yang akhirnya membatalkan niatnya kendati ratusan lembar uang bernominal besar  sudah di tangan.

Dengan indah, film ini mengupas keagungan  cinta dalam berbagai dimensi:Cinta kepada Tuhan, ibu, anak,  tetangga dan bahkan kepada mereka yang tidak begitu kita  kenal. Dengan ramah, melalui film ini Islam menyodorkan cermin bagi  pemeluk semua  agama untuk   berkaca.

Apakah kita  merindukan Tuhan bagaikan  orang yang hampir tenggelam menginginkan oksigen, seperti halnya Emak?
Apakah  kita mencintai  kebenaran, bagai seorang  perempuan mengasihi pria belahan jiwanya, seperti Zein yang akhirnya membatalkan niat untuk merampok setelah matanya nanar memandangi Al Quran?  
Apakah kita beribadah untuk menyenangkan hati Tuhan atau  untuk memuaskan keinginan diri sendiri seperti halnya Pak Agus ?
Apakah kita pergi ke mesjid, wihara, gereja atau apapunlah namanya, hanya karena rutinitas seperti yang dilakukan keluarga Haji Sa’un ?

Resapi kemegahan rumah Haji Sa’un dan layangkan mata kita  pada gubuk Emak.  Apakah kita sibuk mempermegah gedung ibadah  hingga kurang waktu untuk memperindah batin ? Lupa bahwa  di belakan gedung ada lusinan warga yang tidak sanggup makan  dan putus sekolah ? 

Saya tak habis pikir mengapa  film ini, yang isinya demikian bijak dan bernilai edukasi tinggi,  tak mampu mengalihkan mata MUI dari ‘karya-maha-prahara-mala-petaka-penuh-kebetulan-program-buang-buang-uang-nan-tak-masuk-akal’ seperti 2012. Mungkin kita semua  harus coba untuk mempelajari ketidaklogisan   pemahaman MUI juga dengan cinta. Entahlah. (*Guru Sekolah Pelita Harapan, Lippo-Cikarang)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com