Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

DPR: Pemerintah Tak Transparan soal Pesawat Kepresidenan

Kompas.com - 26/01/2010, 22:18 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Badan Anggaran DPR menilai, pemerintah tidak transparan saat mengajukan persetujuan pengadaan pesawat khusus untuk kepresidenan. Waktu itu, pemerintah belum mengajukan harga total dari pesawat tersebut, tetapi sudah meminta persetujuan pembayaran uang muka untuk tanda jadi pembelian pesawat senilai Rp 200 miliar. Anggaran direncanakan diambil dari Anggaran 999.06 atau Pos Belanja Lain-lain di APBN 2010.

Pemerintah juga dinilai terkesan mendesak DPR. Sebaliknya, pada waktu itu, DPR tidak mau sampai dinilai menghambat pemerintah untuk memberikan persetujuan pengadaan pesawat tersebut. Ketua Badan Anggaran DPR Harry Azhar Aziz mengungkapkan hal itu kepada Kompas di Jakarta, Selasa (26/1/2010) malam.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati waktu itu menyatakan dua alasan saat meminta persetujuan DPR untuk pembayaran uang muka tersebut. "Selain adanya kebanggaan dan simbol jika kita memiliki pesawat kepresidenan sendiri, biaya pembelian juga lebih murah daripada menyewa terus-menerus dari Garuda Indonesia," ujar Harry.

Namun, Harry mengakui bahwa Menkeu tidak rinci membandingkan harga biaya satu pesawat kepresidenan yang akan dibeli dengan harga sewa pesawat yang selama ini digunakan. Waktu itu, pengajuannya mendesak dan pembahasannya umum sekali. Padahal seharusnya, DPR membahasnya lebih dulu sampai dengan Satuan 3 atau sampai langsung ke proyek-proyeknya. "Dulu, pengadaan pesawat itu pernah dibahas di Komisi II DPR, tetapi sekarang tidak dilanjutkan lagi," tambah Harry.

Manfaatkan DPR

Menurut Harry, pembahasan pengadaan pesawat kepresidenan waktu itu juga kurang tepat mengingat waktu itu 70 persen anggota DPR adalah wajah baru sehingga mereka belum memahami secara rinci proses dan mekanisme anggaran. Pembahasan dilakukan pada akhir 2009 ketika DPR baru terbentuk.

Anggota Badan Anggaran DPR Bambang Susatyo dan mantan Ketua Panitia Anggaran DPR (sekarang Badan Anggaran) Emir Moeis, yang kini menjadi Ketua Komisi XI DPR, juga membenarkan hal itu.

Surat Menkeu waktu itu dikirimkan ke DPR pada 13 Oktober 2009 atau 13 hari setelah DPR baru terbentuk dan tujuh hari sebelum berakhirnya pemerintahan. "Waktunya kurang tepat bagi DPR untuk membahasnya sehingga terkesan ingin memanfaatkan ketidaktahuan DPR," ucap Bambang.

Menurutnya, selain meminta persetujuan pembayaran uang muka pesawat kepresidenan, surat Menkeu juga meminta persetujuan DPR dalam penggunaan anggaran bagi renovasi pagar Istana Presiden dan Wapres senilai Rp 22,8 miliar dan penyediaan dana bagi pembayaran pajak kendaraan dinas sebesar Rp 62,8 miliar.

Menurut Emir Moeis, surat Menkeu juga tidak menyebutkan pesawat khusus untuk kepresidenan, tetapi pesawat untuk very very important person (VVIP). Ia juga menyoroti penggunaan Pos Belanja Lain-lain di APBN yang sebenarnya bisa digunakan leluasa oleh Menkeu.

Menanggapi rencana pengadaan pesawat kepresidenan, Ismed Hasan Putro, Ketua Masyarakat Profesional Madani, meminta agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membatalkan rencana tersebut mengingat kondisi yang tidak tepat saat ini, yaitu naiknya harga-harga kebutuhan pokok bagi rakyat.

"Presiden harusnya bersahaja dan beri tauladan serta menunjukkan kesederhanaan, bukan seakan tidak peduli dan boros, seperti membiarkan pembelian mobil mewah Rp 30 miliar, pembangunan pagar istana, sampai pembayaran pajak kendaraan dinas mobil menteri," kata Ismed.

Adapun Juru Bicara Kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, menolak berkomentar karena masalah itu sudah ditangani oleh Menteri Sekretaris Negara. Sementara itu, Menkeu hingga Selasa malam ini belum memberikan jawaban atas pertanyaan Kompas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com