Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penguatan PPATK yang Terhambat

Kompas.com - 26/07/2010, 03:00 WIB

Sejumlah laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan tidak ditindaklanjuti aparat penegak hukum, baik Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Itu artinya, kecepatan PPATK mengusut rekening yang mencurigakan tak ”secepat” rekening itu meluncur dari bank ke bank. PPATK sulit mengusut harta kekayaan berasal dari kejahatan pencucian uang.

Itulah salah satu alasan mengapa Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ingin diperkuat. Namun, upaya menguatkan kewenangan PPATK itu terganjal. Beberapa kewenangan ekstra PPATK dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU) dipersoalkan anggota Panitia Kerja (Panja) RUU PPTPPU.

Seandainya pun kewenangan yang lebih kuat diberikan, sejauh mana PPATK nanti dapat mengimplementasikan kewenangan yang ada untuk mengusut tindak pidana pencucian uang? Selain masalah kewenangan, pengaruh dan tekanan politis juga ikut menentukan sepak terjang institusi yang mengusut kasus-kasus yang ”berbau” fulus.

Sebagai perbandingan, KPK dengan kewenangan yang besar pun ibarat ”berjalan di tempat” dalam mengusut kasus korupsi berskala besar dan bernuansa politis. Misalnya, kasus suap Deputi Gubernur Bank Indonesia Miranda Goeltom, Bank Century, kasus perpajakan, atau rekening mencurigakan pejabat tinggi Polri.

Meskipun demikian, pemberian kewenangan yang lebih kuat kepada PPATK sebenarnya merupakan langkah penting untuk memerangi kejahatan pencucian uang. Dengan kewenangan penyelidikan yang projustitia, misalnya, PPATK dapat menemukan alat bukti untuk proses penyidikan oleh penyidik.

PPATK membutuhkan kewenangan lebih kuat karena kejahatan pencucian uang yang menjadi ”medan” tugas PPATK memang sangat kompleks dan canggih. Tindak pidana pencucian uang yang terkait kejahatan lain seperti korupsi, narkotika, terorisme, dan mafia bisnis.

Dalam RUU PPTPPU, ada beberapa tugas dan kewenangan penting yang diberikan kepada PPATK, seperti tugas menyelidiki dugaan tindak pidana pencucian uang (Pasal 39 Huruf e) dan kewenangan memblokir (Pasal 44 Huruf g). Namun, kewenangan penyidikan tetap diserahkan kepada institusi penegak hukum (Pasal 79).

Hak istimewa

Selain itu, dalam RUU itu, PPATK diberikan hak ”istimewa”, seperti impunitas dari tuntutan perdata dan pidana (Pasal 78 Ayat 4), serta hak impunitas dari pelanggaran kode etik kerahasiaan (Pasal 45).

Tanpa kewenangan kuat, seperti penyelidikan dan pemblokiran, sepak terjang PPATK menjadi kurang efektif. Laporan dan analisis PPATK mengenai rekening atau harta kekayaan yang mencurigakan hanya menjadi laporan di atas kertas, tanpa tindak lanjut penanganan oleh institusi penegak hukum, baik Polri, Kejaksaan Agung, maupun KPK.

Hal itu juga diungkapkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar. Menurut Patrialis, banyak laporan PPATK yang tidak ditindaklanjuti aparat penegak hukum, baik KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung. Namun, ia belum dapat menjelaskan mengapa laporan PPATK tidak ditindaklanjuti aparat penegak hukum.

Sebagai contoh, laporan mengenai rekening mencurigakan yang diduga dimiliki pejabat tinggi Polri. Polri dan KPK sendiri kurang giat mengusut dugaan rekening yang mencurigakan itu. Laporan rekening mencurigakan kandas dengan pernyataan-pernyataan bantahan, tanpa upaya penyelidikan yang serius dan akurat.

Koordinator Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch Febri Diansyah mengungkapkan, jika PPATK mendapat kewenangan penyelidikan, kasus dugaan rekening mencurigakan dapat ditangani lebih jelas. Jika ada kewenangan menyelidik, PPATK lebih mampu mengusut apakah rekening itu berasal dari korupsi, suap, atau tindak pidana lain. Menurut dia, korupsi merupakan salah satu tindak pidana asal yang cukup dominan dari kejahatan pencucian uang. Dari data PPATK, juga terlihat tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana asal paling tinggi dalam kasus tindak pidana pencucian uang.

Uang hasil korupsi sering kali menggunakan sarana perbankan yang berbelit-belit sehingga sulit dirampas negara. Akibatnya, tujuan penyelamatan keuangan negara tak akan efektif jika uang hasil korupsi yang beredar di sektor perbankan tidak bisa dihentikan atau dibekukan segera.

Pengembalian kerugian keuangan negara menjadi sangat minim. Padahal, korupsi di sektor kejahatan ekonomi sangat merugikan keuangan negara. Sering kali, KPK tidak bisa menangani pencucian uang meskipun terkait dengan korupsi.

Upaya memperkuat PPATK saat ini pun terganjal. Anggota Komisi III DPR, Bambang Soesatyo, mengatakan, Panja RUU PPTPPU memang menyepakati memperkuat PPATK. Namun, ada beberapa persyaratan terkait dengan ketentuan RUU PPTPPU, misalnya, kewenangan penyelidikan didrop dan diganti dengan kewenangan pemeriksaan non-projustitia.

Selain itu, kewenangan pemblokiran juga dianulir dan diganti dengan permintaan untuk memblokir kepada otoritas keuangan.

Dengan pemeriksaan non-projustitia dan tanpa kewenangan memblokir, itu berarti kemampuan PPATK untuk mengusut tindak pidana pencucian yang teramputasi. Akibatnya, kinerja PPATK tidak akan jauh berbeda dengan kondisi PPATK saat ini, yaitu hasil analisis PPATK hanya bersifat laporan dan tidak ditindaklanjuti aparat penegak hukum.

Independen

Seandainya kewenangan yang besar mau diberikan, masalah independensi PPATK menjadi sangat penting. Jika tidak, kewenangan PPATK tentu dikhawatirkan disalahgunakan penguasa untuk membungkam lawan politik dengan memeriksa rekening seseorang.

Atau, kewenangan yang kuat pada akhirnya mandul karena PPATK mendapat intervensi penguasa dan politik. Apalagi, sesuai Pasal 53 RUU PPTPPU, ketua dan wakil ketua PPATK diangkat dan diberhentikan Presiden setelah mendapat persetujuan atau usulan dari Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia.

Persoalannya, apakah pemerintah siap dan menginginkan PPATK menjadi lembaga independen. Terkait masalah independensi itu, pengaruh pihak asing juga perlu dicermati. Sering kali kepentingan pihak asing cenderung tersusupi dalam substansi UU. Jika hal itu terjadi, orang, khususnya pengusaha, enggan menyimpan uang di bank-bank nasional.

Pengusaha akan berbondong-bondong memindahkan uang ke bank asing atau ke negara lain. Kondisi itu menguntungkan pihak asing dan mengancam stabilitas di bidang ekonomi di dalam negeri.

(Ferry Santoso)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com