Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sebelum Batasi BBM, Benahi Hal Mendasar

Kompas.com - 21/09/2010, 07:41 WIB
oleh Doty Damayanti

Kita kembali dipusingkan dengan rencana pembatasan penggunaan bahan bakar minyak bersubsidi yang dilontarkan pemerintah. Rencana yang hampir setiap tahun terdengar, tetapi belum pernah berhasil direalisasikan. Sempat terlontar opsi menjatah pemakaian BBM dengan kartu kendali.

Pembatasan tidak hanya berlaku bagi kendaraan roda empat, tetapi juga roda dua. Ada juga opsi membatasi penggunaan BBM subsidi hanya untuk kendaraan yang diproduksi sebelum tahun 2005.

Tidak cukup itu, pemerintah juga berwacana hanya menyediakan BBM nonsubsidi di pompa bensin yang berlokasi di sekitar permukiman mewah.

Rencana membatasi penggunaan BBM bersubsidi mulai terdengar pada pertengahan tahun. Alasan pemerintah, konsumsi BBM tahun ini bakal melebihi kuota yang dipatok dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2010.

Kuota BBM bersubsidi tahun 2010 ditetapkan sebesar 36,5 juta kiloliter (kl), terdiri atas premium 21,43 juta kl, solar 11,19 juta kl, dan minyak tanah 3,5 juta kl. Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mencatat, sampai Agustus 2010 konsumsi premium sebesar 14,95 juta kl atau sekitar 69 persen dari kuota dan solar sebesar 8,5 juta kl atau 76 persen dari kuota.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh memperkirakan, realisasi penggunaan BBM subsidi bisa 41 juta kl jika tidak dilakukan upaya-upaya pengendalian.

Dari sekian banyak rencana yang disiapkan, kemungkinan opsi membatasi penggunaan BBM untuk golongan kendaraan setelah produksi tahun 2005 yang akan diterapkan dalam waktu dekat. Namun, sangat disayangkan, upaya pengendalian konsumsi BBM tidak pernah dirancang secara matang dan serius. Pemerintah selalu kelabakan menjelang akhir tahun karena khawatir anggaran negara bakal dijebol subsidi.

Beban tambahan biaya

Badan Koordinasi Fiskal Kementerian Keuangan memperkirakan, setiap penambahan volume BBM 1 juta kl akan menambah subsidi BBM Rp 1,9 triliun. Artinya, jika konsumsi BBM mencapai 40 juta kl sebagaimana yang diprediksi Kementerian ESDM, subsidi BBM bertambah sekitar Rp 8 triliun.

Bagi pemerintah, ini mungkin sebuah beban tambahan biaya. Namun, jika kita bandingkan dengan sisa anggaran berlebih tahun 2009 yang tidak terserap sebesar Rp 38 triliun, tambahan subsidi BBM itu tidak seberapa.

Semula pemerintah menargetkan pembatasan BBM sudah bisa dilakukan bulan Oktober 2010. Namun, karena pelaksanaannya butuh persiapan, pembatasan BBM untuk kendaraan diperkirakan baru bisa dilakukan paling cepat awal tahun 2011.

Kepala BPH Migas Tubagus Haryono mengatakan, pemerintah perlu mengubah kategori pengguna BBM bersubsidi sebagaimana yang selama ini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 dan Perpres Nomor 9 Tahun 2006 tentang Harga Jual Eceran BBM di Dalam Negeri.

Sesuai perpres tersebut, yang termasuk kategori konsumen BBM subsidi adalah sektor transportasi tanpa terkecuali, usaha perikanan, usaha kecil, dan rumah tangga.

Perpres tersebut menjadi dasar bagi Menteri ESDM untuk menetapkan peruntukan BBM bersubsidi sekaligus penyesuaian harga BBM. Sejak akhir 2008, penyesuaian harga BBM menjadi kewenangan Menteri ESDM. Evaluasi harga dilakukan tanggal 15 setiap bulan dengan mengacu pada harga jual produk BBM di pasar internasional, asumsi makro APBN, dan stabilitas ekonomi. Asumsi yang dipakai sebagai pembanding, antara lain, asumsi harga minyak dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.

Harga minyak mentah Indonesia sampai Agustus 2010 rata-rata 77 dollar AS per barrel. Harga ini berada di kisaran asumsi APBN 2010.

Harga produk BBM di pasar minyak Singapura, yang menjadi patokan pasar internasional yang terdekat dengan Indonesia, bahkan sempat lebih murah daripada harga minyak mentah. Artinya, dari sisi harga, pemerintah tidak punya alasan untuk menaikkan harga BBM subsidi.

Oleh karena itu, ribut-ribut tentang konsumsi BBM bersubsidi sebenarnya bersumber pada masalah alokasi alias kuota bahan bakar. Setiap tahun, pemerintah bersama-sama DPR, menetapkan kuota BBM bersubsidi.

Hampir setiap tahun, pemerintah selalu mengajukan kuota BBM bersubsidi yang mengacu pada kuota tahun sebelumnya.

Tahun 2010, pemerintah mengajukan angka 36,5 juta kl. Angka tersebut tidak beda jauh dengan kuota tahun 2009 yang sebesar 36,8 juta kl. Yang menarik, pemerintah selalu mengajukan kuota BBM bersubsidi yang lebih rendah daripada realisasi konsumsi BBM bersubsidi tahun sebelumnya.

Realisasi konsumsi BBM bersubsidi tahun lalu mencapai 37,8 juta KL, konsumsi tahun ini setidaknya harus lebih tinggi daripada realisasi tahun lalu karena belum memasukkan faktor pertumbuhan kendaraan yang mencapai 5 persen setahun.

Artinya, volume BBM bersubsidi yang dipatok dalam APBN untuk sektor transportasi memang akan selalu meleset jika tidak disertai pengendalian konsumsi yang serius sejak awal tahun. Dalam hal penetapan kuota BBM ini, ada ketidakjelasan data penggunaan BBM untuk beberapa konsumen. Sebagai contoh, alokasi solar subsidi untuk nelayan yang jumlahnya mencapai 2 juta kl.

Dalam survei yang dilakukan BPH Migas, terlihat indikasi ketidakwajaran penggunaan BBM bersubsidi oleh nelayan di sejumlah daerah.

Penggunaan BBM itu jumlahnya sangat tinggi dan berlangsung sepanjang tahun. Sementara normalnya, penggunaan BBM oleh nelayan kecil akan selalu mengikuti musim. Hal ini merupakan salah satu indikasi masih ada penyalahgunaan BBM. Indikasi penyalahgunaan BBM subsidi juga terlihat pada tingginya konsumsi solar di daerah pertambangan, seperti Bangka Belitung, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.

Menengarai indikasi itu, jika kuota BBM tidak mencukupi, pemerintah telah memerintahkan PT Pertamina agar tidak melayani penjualan BBM subsidi untuk keperluan transportasi laut, seperti kapal pesiar, kapal angkutan barang di luar kebutuhan pokok, dan kapal penunjang bukan usaha kecil.

Larangan yang sama juga berlaku untuk kendaraan bermotor atau alat berat yang digunakan untuk kegiatan industri, pertambangan, pembangkit listrik, proyek konstruksi, peti kemas, kehutanan, dan perkebunan yang dapat dikategorikan sebagai bukan usaha kecil.

Selain itu, kereta api yang mengangkut hasil kegiatan industri, pertambangan, pembangkit listrik, proyek konstruksi, peti kemas, kehutanan, dan perkebunan yang dapat dikatagorikan sebagai bukan usaha kecil juga tidak mendapat BBM subsidi.

Sesuai amanat UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas, pemerintah wajib menjamin ketersediaan dan mengawasi pendistribusian bahan bakar yang berkualitas dan terjangkau masyarakat. Melihat fakta-faktanya, pemerintah tidak memiliki alasan kuat untuk secara terburu-buru membatasi penggunaan BBM bersubsidi sebelum hal-hal yang mendasar diperbaiki.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com