Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menunggu Hercules di Riau Airlines (1)

Kompas.com - 18/10/2010, 09:19 WIB

KOMPAS.com - Tidak banyak pemerintah daerah di negara ini memiliki keberanian luar biasa seperti Pemerintah Provinsi Riau. Meski dianggap daerah yang belakangan berkembang, pemerintahnya memiliki armada pesawat komersial yang sekarang ini boleh dikatakan satu-satunya penerbangan milik pemerintah sebuah provinsi.

Kisah itu diawali mimpi Saleh Djasit, Gubernur Riau yang dengan gagah berani mengajak sejumlah pemerintah daerah di Riau, untuk memulai bisnis atas angin itu pada tahun 2002. Tujuan awal berdirinya adalah untuk membuka cakrawala udara, membuka keterisoliran wilayah di Sumatra terutama Riau. Armada angkasa itu kemudian diberi nama Riau Airlines atau lebih dikenal dengan nama RAL.

Hikayat burung besi sebenarnya bukan hanya milik Riau. Masih di Pulau Sumatra, pada tahun 2002 juga, Pemprov Aceh memiliki armada komersial Seulawah NAD Air yang diresmikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Niatan Aceh tentunya mengulang kejayaan masa lalu, tatkala rakyat Aceh menyumbangkan d ana untuk membeli armada udara pertama Republik Indonesia, pesawat Seulawah. Namun tidak sampai setahun, pada tahun 2003, Seulawah sudah tidak mampu terbang dan meninggalkan utang besar.

Namun kegagalan Seulawah tidak membuat seisi Aceh, putus asa. Pada tahun 2008, Pemerintah Kabupaten Aceh Utara menyewa sebuah pesawat Fokker F28 berkapasitas 80 penumpang dengan nama armada North Aceh Air. Nasib penerbangan itu lebih tragis lagi, karena hanya sekali terbang lalu padam.

Pada pertengahan tahun 1990-an, Pemerintah Daerah Sumatera Selatan juga memiliki armada pesawat kecil jenis Cassa yang diberi nama Serunting Sakti. Perjalanan usaha itu juga tidak pernah jelas. Puncaknya pada tahun 2005-2006, pesawat itu direkomendasikan oleh DPRD Sumsel untuk dijual untuk menutupi utang operasionalnya.

Cerita RAL sedikit berbeda dengan Seulawah, NAA atau Serunting Sakti. Paling tidak, dalam kurun waktu delapan tahun, RAL mampu bertahan dengan berbagai drama yang tidak kalah seru dari tontonan sinetron di layar kaca televisi kita.

Mulanya RAL diimpikan dapat melayani penerbangan antar kota dalam provinsi di Riau semata. Maklum, beberapa daerah di Riau seperti Tembilahan, harus di tempuh selama delapan jam perjalanan darat. Kota lain seperti Pasir Pengaraian dan Dumai, ditempuh dengan waktu lima jam.

Namun, kalau hanya melayani rute-rute AKAP, tentunya RAL akan lebih cepat mati. Pasar dalam wilayah Riau saja, tidak mampu menghidupi RAL. Maklum, kala itu, rakyat Riau yang miskin mendekati angka 40 persen.

RAL akhirnya melayani penerbangan Pekanbaru - Batam Natuna, Tanjungpinang, Malaka dan beberapa daerah lainnya selain rute tetap Pekanbaru - Dumai. Jurusan baru semakin melebar, semisal ke Medan, Palembang, Jambi dan daerah lain di Sumatra dan Kalimantan.

Belum satu tahun berdiri, pada tahun 2003, Direktur Utama RAL Yunus Bachri tersangkut kasus korupsi sebesar Rp 1 miliar. Dirut pertama RAL ini divonis satu tahun penjara dan denda Rp 50 juta dan mengembalikan kerugian negara Rp 577 juta.

Jabatan Dirut kemudian diserahkan kepada Heru Nurhayadi pada tahun 2004. Di permukaan, Heru relatif lebih tenang dalam menjalankan RAL. RAL kemudian menambah tiga pesawat jenis Fokker F50 seharga Rp 85 miliar.

Baru pada tahun 2008, atau setelah hampir empat tahun Heru menjabat, permasalahan RAL muncul ke luar. Heru di demo oleh anggotanya sendiri, bahkan pilot dan pramugari ikut serta. Namun Heru belum mau menyerah.

Mundurnya Kepala Pilot Feri Novara dan Manager Operasi Maman Syaifurrahman yang merupakan pemegang posisi kunci keselamatan Civil Aviation Safety Regulation (CASR) RAL, membuat kondisi jadi berbalik. Pada 24 Juli 2008, Direktur Jenderal Perhubungan Udara Budi Muliawan Suyitno menyatakan RAL tidak memenuhi syarat teknis untuk dinyatakan layak terbang lewat surat bermomor : AU/4348/DSKU/2421/2008.

Pada 6 November 2008, Heru diberhentikan dan digantikan oleh Samudra Sukardi, kakak kandung mantan Menteri BUMN era Presiden Megawati, Laksamana Sukardi. Dimasa Samudra, RAL menambah armada dengan pesawat jet berbadan kecil jenis BAE RJ 100 dengan jumlah 108 penumpang .

Samudra bahkan berani bersaing dengan perusahaan penerbangan yang sudah lebih dulu eksis di Tanah Air dengan membuka jalur paling padat Pekanbaru-Jakarta. Samudra bahkan sempat berpikiran membuka jalur Pekanbaru-Jedah, Arab Saudi. Namun pilihan bersaing di jalur gemuk itu ternyata salah, dengan pesawat yang tidak didesain untuk perjalanan panjang, RAL terseok-seok dan tidak mampu bersaing dengan armada LION, Batavia, Sriwijaya, Mandala atau Garuda yang memakai pesawat jet berbadan lebih besar dan nyaman.

Terbukti, pada awal April 2010, Dirut RAL yang sudah dipegang oleh Teguh Triyanto mengembalikan BAE Avro RJ 100 kepada pemiliknya. Beban sewa dua pesawat itu sebesar Rp 3 miliar setiap bulan, menggerogoti keuangan RAL.

Teguh mengambil jalan berbeda dibandingkan pendahulunya. Jalur-jalur yang kurus ditinggalkan dan lebih banyak mencari penerbangan kontrak dengan pemerintah daerah atau penerbangan carter. Teguh juga mengupayakan penambahan armada dengan menyewa pesawat Boeing untuk bersaing di jalur gemuk. Kedatangan pesawat berbadan lebar itu dis ebut-sebut sudah akan tiba di Pekanbaru pada bulan Agustus, namun sampai Oktober ini, pesawat itu belum juga terwujud, karena pemilik belum juga menyetorkan dana.

Pada Mei 2010, Rapat Umum Pemegang Saham PT RAL yang berjumlah 18 pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di Sumatra menyepakati penambahan modal Rp 55,4 miliar. RUPS juga menyetujui langkah kerjasama operasi dengan salah satu perusahaan di Eropa untuk pengoperasi 20 pesawat jenis Embraer dan penambahan modal segar Rp 250 miliar.

"Uang yang dijanjikan dari RUPS memang belum diberikan. Kami berharap, dapat disetorkan segera untuk mengoperasikan RAL lagi. KSO itu juga belum jelas," ujar Teguh Triyanto dalam pembicaraan dengan Kompas pekan lalu.

Juni 2010, muncul cerita baru. Tiga dari empat Direksi PT RAL, tanpa Teguh Triyanto, menandatangani kesepakatan kerjasama dengan PT Cokro Suryanusa Sentosa (Cossen). Tidak tanggung-tanggung, Cossen dikabarkan siap menyuntikan modal sebesar Rp1 triliun. Dalam keuntungan kerjasama operasi itu, Cossen akan mendapat bagian 40 persen, adapun RAL 60 persen.

Janjinya, tiga hari setelah penandatanganan kesepakatan tanggal 25 Juni itu, Cossen akan mencairkan dana operasi RAL. Tidak jelas bagaimana kelanjutan kesepakatan dengan Cossen. Yang pasti sampai sekarang ini, Cossen belum mencairkan dananya sesuai kesepakatan.

Pada awal Oktober ini, muncul berita baru lagi. Aerocentury, perusahaan yang menyewakan dua pesawat Fokker F 50 kepada RAL menagih utang senilai Rp 17 miliar yang belum juga dibayar sejak Agustus 2009. Dua pesawat itu akhirnya ditarik Aerocentury awal Oktober ini.

Sebenarnya, RAL masih memiliki tiga pesawat lagi, yakni yang dibeli semasa Heru. Ternyata dua dari tiga pesawat itu tidak dapat terbang karena rusak. Terakhir, pertengahan Oktober ini, satu-satunya pesawat RAL yang masih terbang selama krisis berlangsung terpaksa dikandangkan lagi. Praktis tidak ada lagi pesawat RAL yang lalu lalang di angkasa Tanah Air. Pekan ini, RAL telah mati suri.   

 

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Work Smart
Viral Mainan 'Influencer' Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Viral Mainan "Influencer" Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Whats New
Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Minggu 28 April 2024

Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Minggu 28 April 2024

Spend Smart
Harga Emas Terbaru 28 April 2024 di Pegadaian

Harga Emas Terbaru 28 April 2024 di Pegadaian

Spend Smart
Investasi Aman, Apa Perbedaan SBSN dan SUN?

Investasi Aman, Apa Perbedaan SBSN dan SUN?

Work Smart
Harga Bahan Pokok Minggu 28 April 2024, Harga Daging Ayam Ras Naik

Harga Bahan Pokok Minggu 28 April 2024, Harga Daging Ayam Ras Naik

Whats New
SILO Layani Lebih dari 1 Juta Pasien pada Kuartal I 2024

SILO Layani Lebih dari 1 Juta Pasien pada Kuartal I 2024

Whats New
Bulog Diminta Lebih Optimal dalam Menyerap Gabah Petani

Bulog Diminta Lebih Optimal dalam Menyerap Gabah Petani

Whats New
Empat Emiten Bank Ini Bayar Dividen pada Pekan Depan

Empat Emiten Bank Ini Bayar Dividen pada Pekan Depan

Whats New
[POPULER MONEY] Sri Mulyani 'Ramal' Ekonomi RI Masih Positif | Genset Mati, Penumpang Argo Lawu Dapat Kompensasi 50 Persen Harga Tiket

[POPULER MONEY] Sri Mulyani "Ramal" Ekonomi RI Masih Positif | Genset Mati, Penumpang Argo Lawu Dapat Kompensasi 50 Persen Harga Tiket

Whats New
Ketahui, Pentingnya Memiliki Asuransi Kendaraan di Tengah Risiko Kecelakaan

Ketahui, Pentingnya Memiliki Asuransi Kendaraan di Tengah Risiko Kecelakaan

Spend Smart
Perlunya Mitigasi Saat Rupiah 'Undervalued'

Perlunya Mitigasi Saat Rupiah "Undervalued"

Whats New
Ramai Alat Belajar Siswa Tunanetra dari Luar Negeri Tertahan, Bea Cukai Beri Tanggapan

Ramai Alat Belajar Siswa Tunanetra dari Luar Negeri Tertahan, Bea Cukai Beri Tanggapan

Whats New
Sri Mulyani Jawab Viral Kasus Beli Sepatu Rp 10 Juta Kena Bea Masuk Rp 31 Juta

Sri Mulyani Jawab Viral Kasus Beli Sepatu Rp 10 Juta Kena Bea Masuk Rp 31 Juta

Whats New
Sri Mulyani Jelaskan Duduk Perkara Alat Belajar Tunanetra Milik SLB yang Ditahan Bea Cukai

Sri Mulyani Jelaskan Duduk Perkara Alat Belajar Tunanetra Milik SLB yang Ditahan Bea Cukai

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com