Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Reformasi Birokrasi dan Pengangguran Terselubung

Kompas.com - 18/11/2010, 03:53 WIB

Menjelang akhir tahun biasanya menjadi waktu yang sangat dinantikan pencari kerja. Saat itulah mereka menunggu pengumuman seleksi calon pegawai negeri sipil. Pada triwulan terakhir tahun anggaran, pemerintah daerah mulai mendapatkan kepastian dari pemerintah pusat soal jumlah formasi calon pegawai negeri yang bisa mereka seleksi.

Namun, meski hampir menjadi rutinitas setiap tahun, seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) tak pernah menjawab seberapa ideal kebutuhan pegawai negeri di setiap instansi. Pertimbangan jumlah pelamar yang diterima dalam setiap seleksi CPNS selama ini hanya sebatas mengimbangi jumlah pegawai negeri yang keluar karena pensiun.

Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Sumatera Utara Suherman mengakui, pertimbangan utama dalam penerimaan CPNS adalah menambal jumlah pegawai yang berkurang karena pensiun. Menurut Suherman, hingga saat ini belum ada pertimbangan seberapa ideal sebenarnya jumlah pegawai negeri di sebuah instansi pemerintahan.

Bahkan, lanjutnya, pemerintah daerah tak pernah mendapatkan pedoman dari pemerintah pusat tentang seberapa ideal pegawai yang dibutuhkan meski keputusan soal jumlah formasi pegawai negeri sipil yang dibutuhkan pemerintah daerah selalu dari pemerintah pusat.

”Yang kami tahu, Kementerian Dalam Negeri sekarang sedang mengkaji berapa seharusnya jumlah PNS ideal dalam satu institusi pemerintahan. Sampai saat ini, dalam proses rekrutmen CPNS, belum ada rumusan standar berapa ketetapan dari pusat soal jumlah ideal,” kata Suherman.

Jika reformasi birokrasi secara sederhana diartikan sebagai pengurangan jumlah pegawai negeri sipil yang tak dibutuhkan, proses tersebut selama ini tak berjalan. Pemerintah sebenarnya memiliki satu pedoman untuk merestrukturisasi birokrasi di daerah, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007. Hanya saja PP No 41/2007 sebatas merestrukturisasi jabatan struktural, bukan fungsional. PP No 41/2007, misalnya, menghapuskan jabatan wakil kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD), baik dinas, badan, maupun biro.

Namun, PP No 41/2007 tetap tak bisa menjadi pedoman soal berapa jumlah ideal PNS di daerah. Menurut Suherman, BKD, dalam meminta formasi soal CPNS yang dibutuhkan kepada pemerintah pusat, hanya berpatokan pada permintaan SKPD. Sementara baik BKD maupun SKPD tak pernah mengevaluasi berapa jumlah ideal PNS di setiap instansi.

Akhirnya, seperti yang diakui Suherman, PNS hanya menjadi pengangguran terselubung, pekerja yang bekerja, tetapi tidak dengan kapasitas maksimal jam kerja. Masih sering dijumpai PNS yang tak jelas kerjanya.

”PNS yang hanya duduk karena tak punya meja. Mereka lebih sering bermain game komputer di kantor. Padahal birokrasi yang efektif dibutuhkan untuk pelayanan publik yang baik,” ujar Sekretaris Eksekutif Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Sumut Elfenda Ananda.

Padahal, lanjut Elfenda, porsi terbesar belanja tak langsung dalam APBD masih berupa belanja pegawai, seperti gaji. Persentase belanja pegawai di APBD Sumut, menurut Elfenda, mencapai 78 persen dari total belanja tak langsung sekitar Rp 2 triliun.

”Dulu, zaman Rizal Nurdin, sempat diakui hanya 70 persen PNS di Pemprov Sumut yang bisa dibilang pegawai efektif,” kata Elfenda.

Menurut dia, seharusnya Pemprov Sumut membuat kajian dan evaluasi terkait jumlah PNS yang ada sekarang ini.

Apalagi jika diakui, sebagian PNS yang ada tak lebih dari pengangguran terselubung. Gaji dan tunjangan mereka ditanggung oleh uang rakyat. Tentu sayang kan uang rakyat dihamburkan untuk membayar penganggur. (KHAERUDIN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com