Oleh M SAID SUTOMO
Industri pergulaan nasional menghangat akhir- akhir ini. Tulisan Adig Suwandi dengan judul Amalgamasi Pabrik Gula, Mengapa Dipersoalkan? (Kompas Jatim, 15/10/2010) lebih bersifat apologis dan berkeluh kesah tentang kondisi pabrik gula yang telah lama menjadi spesialisasi atensinya.
Pertanyaan mendasar bagi publik adalah mengapa bangsa kita ini hanya mengelola dan mengembangkan warisan penjajah Belanda seperti pabrik gula (PG) yang pada awal kemerdekaan RI menjadi perusahaan terbesar di Asia Tenggara, tapi kini menjadi terpuruk? Di mana letak kesalahan pengelolaannya?
Industri pergulaan nasional kini telah kehilangan kepercayaan dari petani, pemegang saham (pemerintah), dan konsumen. Celakanya konsumen tradisional lebih mengenal gula jawa, sedangkan konsumen modern lebih mengenal gula impor dibanding gula produk PG.
Bagaimana caranya membangun lagi kepercayaan-kepercayaan yang telah lenyap itu? Sayangnya, tulisan Adig Suwandi tak mengulasnya. Bahkan, menyimpulkan bahwa PG mengalami kesulitan struktural. Argumen ini ini sering kita dengar dari manajemen BUMN dan BUMD. Kesulitan struktural itu seharusnya dijadikan tantangan bukan-
Pertimbangan pilihan antara petani tebu dan konsumen, baik konsumen akhir maupun konsumen antara atau pe-
Apakah industri pergulaan nasional kita telah memberikan output kepada para petani tebu seperti yang diharapkan sehingga para petani berlomba-lomba menanam tebu sebagai tanaman primadonanya? Dan apakah industri pergulaan nasional kita telah memberikan input kepada konsumen pada umumnya seperti yang diharapkan?
Jika tidak, tak perlu ditangisi mengapa sejak tahun 1997 para petani tebu petani tidak mau menanam tebu. Mereka beralasan takut terhadap penjarahan dan pembakaran tanaman tebu karena adanya huru-hara politik dan sosial yang terjadi saat itu. Mulai kurun waktu itu sebagian besar PG, terutama milik BUMN/PTPN, tidak mempunyai lahan sendiri selain memperolehnya dari petani dengan cara bagi hasil atau menyewa.
Awal tahun 2000-an semua BUMN dan BUMD mulai membuka diri mempelajari prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) berikut model-
Beberapa penelitian menunjukkan, keengganan para petani menanam tebu bukan hanya karena petani tidak tahu pasti tingkat rendemen tebu yang sebenarnya (meskipun secara formal disebutkan bahwa petani melalui wakilnya dapat memeriksa tingkat rendemen). Namun, para petani mengetahui adanya ”permainan” tingkat rendemen , terutama bila PG berhadapan dengan pengusaha tebu bebas (cukong).
Ada kesan PG memberi tingkat rendemen yang wajar, bahkan lebih tinggi kepada cukong. Sebaliknya, memberi tingkat rendemen rendah untuk tebu petani. Jadi, krisis kepercayaan para petani kepada pabrik gula telah berlangsung lama.
Paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan inefisiensi industri pergulaan nasional terutama di lingkungan PG. Pertama, rendahnya keandalan (profesionality) sumber daya manusia pengelola PG. Kedua, menuanya infrastruksur pabrikasi PG. Ketiga, kurangnya jaringan komuni-
Pertanyannya, dari mana kita harus memulainya? Tentunya bukan dengan cara proteksi pasar atau dengan proteksi kewajiban petani menanam tebu dengan menggunakan kekuasaan. Cara-cara seperti ini tak akan pernah dapat mendewasakan industri pergulaan nasional.
PT Telkom bisa dijadikan contoh. Dulu kebesaran PT Telkom diramalkan tinggal kenangan, tapi setelah pasar dibuka ternyata mampu bersaing di pasar global.
Inefi
Maka, kesulitan struktural jangan dijadikan kambing hitam dan nama BUMN jangan jadi beban. Konsumen dan para petani punya pilihan, tentunya pengelola PG juga punya pilihan: tetap bertahan di PG atau tidak? Jangan sampai peribahasa ”ada gula ada semut” dipelesetkan orang menjadi ”ada gula banyak tikus”.
M SAID SUTOMO Ketua Yayasan LembagaPerlindungan Konsumen (YLPK) Jatim