Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wartawan dan Saham

Kompas.com - 04/12/2010, 03:07 WIB

H Witdarmono

Menjelang setiap akhir tahun, koran The Wall Street Journal selalu mengadakan sebuah ritual khusus.

Manajemen koran itu mengirimkan salinan kode etik The Wall Street Journal (WSJ) ke rumah setiap staf, wartawan, dan siapa saja dalam lingkup WSJ yang secara langsung punya pengaruh terhadap isi dan reputasi koran ekonomi tersebut. Penerima diminta membaca ulang, merenungkannya lagi, kemudian menandatangani serta mengembalikannya. Bersamaan dengan itu, beberapa kuesioner harus dijawab secara tertulis. Isinya berkisar pada sebuah pertanyaan dasar: ”Apakah dalam enam bulan terakhir Anda terlibat dalam perdagangan saham jangka pendek (short-term trading)?”

Manajemen WSJ mengatakan, ritual diadakan untuk membuat kode etik tetap ’hidup’ dalam budaya WSJ. Hanya lewat penerapan, pembicaraan, diskusi dan bahkan perdebatan, kode etik bisa tetap jadi bagian dalam kehidupan budaya dan tradisi organisasi. Seperti sebuah nurani, kode etik itu harus secara teratur terus-menerus diolah, ditempa, diasah, dan digunakan. Dengan cara berbeda, ritual anamnesis (peringatan) kode etik jurnalistik juga dilakukan beberapa koran besar AS, seperti The New York Times, The Los Angeles Times, atau The Boston Globe.

Jika punya kemampuan, tiap orang berhak menulis apa saja yang dirasakan, dialami, didengar dan dilihatnya. Menulis bisa untuk diri sendiri, tetapi juga bisa untuk orang lain. Dalam keduanya, ukurannya sama: tanggung jawab, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain dan lingkungan di sekitarnya (Luwi Ishwara, 2008). Adanya unsur panggilan, way of life, dan tanggung jawab menjadikan kegiatan menulis bukanlah sebuah job yang perlu sertifikasi atau izin seperti dokter atau pengacara. Yang ’mengatur’ kegiatan menulis adalah kode etik yang diolah, disusun, ditentukan, diperbaiki, dan diubah dalam iklim kebebasan oleh konvensi bersama sekumpulan penulis.

Kode etik jurnalistik

Kode etik adalah seperangkat panduan yang dirancang untuk menuntun langkah dan perilaku anggota sebuah kelompok tertentu atau khusus, sebuah asosiasi, atau sebuah kelompok profesi. Unsur kelompok dan kekhususan membuat sebuah kode etik selalu punya kerangka kesepakatan bersama yang situasional. Sebaliknya, unsur cita-cita untuk sebuah panduan bersama, dan kerangka ranah publik melalui profesi menjadikan sebuah kode etik selalu mengarah ke sesuatu yang bersifat universal.

Dua tegangan inilah yang membuat sebuah kode etik selalu diperdebatkan. Namun, dalam perdebatan ini, independensi tetap payung utama. Karena itu, kode etik tak pernah jadi sebuah Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga. Terminologi yang sering dipakai untuk memberi label kode etik adalah policy. Itulah dipakai The Boston Globe (Journalism Ethics Policy) dan The New York Times (Company Policy on Ethics in Journalism).

Sebagai sebuah panggilan hidup yang menyangkut kehidupan orang banyak di ranah publik, kode etik jurnalistik selalu mengandung sekurang-kurangnya empat elemen. Pertama, keyakinan bahwa pencerahan masyarakat umum merupakan perintis menuju keadilan dan dasar pijakan demokrasi. Kedua, untuk mewujudkan keyakinan itu, tugas wartawan adalah selalu mencari kebenaran dan memberitakan berbagai peristiwa dan isu secara fair dan komprehensif.

Ketiga, perjuangan wartawan terus-menerus adalah mengabdi kepentingan masyarakat dengan tuntas dan jujur. Keempat, integritas profesional adalah batu sendi kredibilitas jurnalistik.

Empat elemen itu berfungsi menjaga martabat dan kehormatan (dignitas) profesi kewartawanan. Dalam sejarah media, dignitas sangat berharga karena menentukan tingkat kepercayaan atau trust sebuah media. Bagi sebuah media, trust adalah identitas yang menentukan segmen audiences, tiras, dan frekuensi jadi referensi. Begitu publik kehilangan trust pada sebuah media, habislah dia!

Saham

Saham berkarakter selalu berubah dan peka pada informasi, khususnya tulisan, di media cetak maupun on line. Oktober 2008, ireport.cnn.com milik CNN, yang sangat menganjurkan jurnalisme warga, memuat posting seseorang yang menamakan diri ”johntw”. Isinya, laporan bahwa Steve Jobs, CEO dan salah satu pendiri Apple Inc, terkena ”serangan jantung berat”. Saham Apple turun drastis ke rekor terendah dalam 18 bulan terakhir. Ini berlangsung 12 menit, sampai ada blogger lain menelepon Apple, menemukan Jobs sehat walafiat, dan kemudian membantah dan menghapus posting itu.

Peristiwa ini menunjukkan, betapa berpengaruhnya sebuah tulisan, entah itu benar atau salah, dalam menentukan nilai sebuah saham. Dari sisi ini, layak sekali wartawan sebuah media ’resmi’, apalagi yang bergerak meliput pasar modal, harus sangat berhati-hati ketika menulis soal perusahaan yang terdaftar di pasar modal atau pergerakan sebuah saham. Informasi awal serta pengetahuan yang dimiliki sang wartawan dan pengaruh pena yang dipegangnya membuat ia jadi sangat dekat dengan batas untung-rugi, mati-hidup, jatuh- bangun institusi publik.

Pena wartawan itu sangat ampuh, begitu prediksi Napoleon Bonaparte (1769-1821). ”Le canon a tué la féodalité; l'encre tuera la société moderne (meriam telah membunuh feodalisme; tapi tintalah (baca: tulisan) yang akan menghancurkan masyarakat modern)”. Keampuhan pena membuat wartawan mudah terjerumus dalam kekuasaan yang menafikan kode etik jurnalistik, khususnya elemen pencerahan masyarakat umum sebagai perintis menuju keadilan dan dasar pijakan demokrasi, di mana pengabdian kepentingan publik dan integritas pribadi merupakan sendi-sendi kredibilitasnya.

Karena itu, di The New York Times Company Policy on Ethics in Journalism (2005) dan Newsroom Ethics Policy dari The Boston Globe (2008) secara tegas dinyatakan ”No staff member may own stock or have any other financial interest; This restriction extends beyond the business beat (tak satu pun anggota staf diperbolehkan memiliki saham atau mempunyai sebuah jabatan berpenghasilan (di luar koran); Larangan ini memiliki jangkauan di luar batas mereka yang berada di beat bisnis)”.

Untuk wartawan, ketentuan yang dibuat kedua media sangat eksplisit: ”Journalists who regularly cover business and financial news may not play the market (wartawan yang secara tetap meliput berita bisnis dan keuangan tak boleh bermain di pasar saham)”. Tulisan ini menyangkut sebuah kode etik, yang penerapannya terkait dignitas dan hati nurani. Hati nurani media mengabdi kepentingan publik dengan integritas tinggi. Mengabdi dan cari keuntungan pribadi dengan mengabaikan tanggung jawab— bahkan cukup hanya terindikasi ada konflik kepentingan—sudah melanggar kode etik. Martabat/ dignitas media, sebagai sumber trust publik, jadi penentu wartawan boleh main saham atau tidak. Itu saja. ”We Report, You Decide”, begitu slogan jaringan televisi Fox News Channel.

H Witdarmono Wartawan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com