Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pelat Hitam Tidak Hanya untuk Pribadi

Kompas.com - 15/12/2010, 08:56 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah dan DPR sepakat per akhir Maret 2011 akan menerapkan pengaturan konsumsi BBM bersubsidi di kawasan Jabodetabek. Kendaraan pribadi roda empat dilarang mengonsumsi BBM bersubsidi. Namun, pengaturan itu dinilai kalangan pengamat berpotensi menimbulkan distorsi dalam pelaksanaannya.

Dalam Rapat Kerja Komisi VII DPR dengan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh, Menteri Keuangan Agus Martowardojo, serta Direktur Utama PT Pertamina Karen Agustiawan di Jakarta, Selasa (14/12/2010) dini hari, disepakati penerapan pengaturan konsumsi BBM subsidi secara bertahap, dimulai dari jenis premium di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) yang dilakukan mulai akhir Maret 2011. Sedianya pengaturan itu akan diterapkan per 1 Januari 2011.

Namun, Komisi VII DPR meminta pemerintah melakukan kajian komprehensif, termasuk dampak sosial ekonomi terkait rencana pembatasan itu. Kajian itu harus disetujui Komisi VII terlebih dahulu pada masa sidang berikutnya, yakni Januari 2011, sebelum memulai pelaksanaannya.

Pengamat minyak dan gas Pri Agung Rakhmanto mengemukakan, pembatasan subsidi BBM untuk kendaraan roda empat di Jabodetabek berpotensi menimbulkan persoalan baru dan distorsi dalam pelaksanaannya.

Menurut Pri Agung, pembatasan subsidi BBM di Jabodetabek hanya akan mengurangi volume pemakaian BBM subsidi. Nilai penghematan yang diperoleh berkisar Rp 1,5 triliun.

Namun, ujar Pri Agung, tak ada jaminan bahwa pengendara kendaraan pribadi roda empat tidak akan beralih ke sepeda motor. Sejumlah potensi penyimpangan juga berpeluang muncul, di antaranya kendaraan umum memanfaatkan pembelian BBM subsidi untuk dijual lagi. Kendaraan roda empat di wilayah perbatasan Jabodetabek berpotensi membeli BBM subsidi di luar Jabodetabek.

”Tidak ada mekanisme yang sanggup mengontrol dan mencegah munculnya penyimpangan dalam pelaksanaan,” ujarnya. Kebijakan pembatasan BBM subsidi juga dinilai tidak antisipatif terhadap kemungkinan naiknya harga minyak dunia tahun 2011.

Pri Agung meminta pemerintah mengkaji kembali kebijakan pembatasan BBM subsidi dengan mempertimbangkan opsi lain. Di antaranya, revisi Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2006 dengan mengurangi alokasi subsidi BBM untuk kapal ikan besar dan kendaraan penunjang industri.

Selain itu, juga mempertimbangkan opsi menaikkan harga BBM premium secara bertahap Rp 200-Rp 300 per liter. Peningkatan itu akan mampu menghemat subsidi Rp 7 triliun-Rp 11 triliun.

Hal senada diungkapkan pengamat ekonomi Faisal Basri. Kebijakan itu akan menimbulkan banyak persoalan baru akibat disparitas harga yang tinggi antara BBM bersubsidi Rp 4.500 dan Pertamax Rp 6.900 per liter.

Menurut Faisal, akan terjadi perpindahan besar-besaran masyarakat di wilayah perbatasan Jabodetabek ke luar wilayah untuk mencari BBM subsidi. ”Dampaknya, terjadi kelangkaan di daerah sekitar Jabodetabek yang memasok BBM subsidi,” ujarnya

Ia mengatakan, lebih baik pemerintah mengkaji opsi menaikkan harga BBM secara bertahap dan merata. Dengan kenaikan secara bertahap, pemerintah bisa fokus untuk mengalihkan subsidi dari komoditas menjadi subsidi untuk sistem jaminan sosial nasional bagi masyarakat miskin.

Pengamat ekonomi Hendri Saparini mengemukakan, pemerintah dan DPR tidak memperhitungkan bahwa kendaraan pelat hitam tidak hanya digunakan untuk keperluan pribadi, tetapi juga komersial.

”Apa betul 53 persen dari kendaraan pelat hitam seperti yang disebut pemerintah itu kendaraan pribadi semua. Banyak kegiatan usaha, termasuk usaha kecil menengah, yang menggunakan pelat hitam untuk kegiatan mereka. Dampaknya akan luar biasa,” kata Hendri.

Dengan peralihan dari premium seharga Rp 4.500 ke Pertamax Rp 6.900 per liter, berarti ada kenaikan Rp 2.400 per liter yang harus ditanggung konsumen. Kenaikan biaya transportasi ini otomatis akan mendorong kenaikan biaya produksi.

Hendri mengatakan, dampak kenaikan biaya ini akan memunculkan efek bergulir luar biasa yang mengakibatkan daya beli masyarakat turun dan daya saing produk Indonesia melemah. ”Pemerintah harus ingat, tahun 2011 tahun tekanan tinggi terhadap inflasi. Dampaknya tidak sebanding dengan penghematan subsidi hanya Rp 3,8 triliun,” ujar Hendri.

Penjualan ilegal BBM

Kepala Badan Pengatur Kegiatan Hilir Migas Tubagus Haryono mengakui, bakal banyak celah praktik untuk mengakali mendapatkan BBM subsidi, penimbunan, atau penjualan BBM secara ilegal.

”Kami sudah memperkirakan, warga yang tinggal di wilayah perbatasan Jabodetabek, terutama Tangerang, bisa berupaya mendapatkan BBM bersubsidi di luar wilayah. Ini akan sulit dikontrol karena memang tidak ada aturan pembeli BBM harus sesuai domisili,” kata Tubagus.

Praktik penimbunan BBM bersubsidi untuk dijual lagi oleh pengemudi kendaraan umum juga berpotensi sangat besar. ”Apalagi kalau tidak ada pembatasan pemakaian, bisa-bisa angkot itu bolak-balik puluhan kali hanya untuk menimbun BBM. Ini yang sedang kami siapkan antisipasinya dengan menggunakan kartu kendali, pemakaian BBM kendaraan umum perlu dibatasi,” ujarnya.

Menurut Tubagus, dibutuhkan koordinasi antara BPH Migas, Gaikindo, Kementerian Perhubungan, dan Polri terkait pendataan kendaraan angkutan umum dan pengawasan penggunaan BBM bersubsidi.

Diakui Tubagus, waktu tiga bulan sebelum kebijakan diterapkan pada Maret 2011, rawan terjadi penimbunan dan praktik penjualan BBM subsidi antarwilayah. ”Ini masalah-masalah yang harus kita antisipasi mengingat disparitas harga premium dan Pertamax yang besar sekali,” ujarnya. (dot/lkt/eki/ryo/oin)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com