Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ikan Aceh Terus Dicuri

Kompas.com - 18/02/2011, 04:42 WIB

Banda Aceh, Kompas - Setiap tahun, kerugian sektor perikanan di Provinsi Aceh akibat pencurian ikan besar-besaran oleh nelayan asing mencapai Rp 4 triliun. Untuk itu, Pemerintah Provinsi Aceh ingin membangun industri pengolahan ikan di daerah ini.

Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar, Kamis (17/2) di Banda Aceh, mengatakan, industri perikanan mulai dibangun 2011 ini; meliputi industri perikanan utama, dibangun di Pelabuhan Perikanan Lampulo, Banda Aceh. Industri ini akan ditunjang dua industri perikanan penyangga, yaitu di Pidie (Aceh bagian timur) dan Aceh Selatan.

”Daripada ikan-ikan kita terus dicuri besar-besaran, lebih baik kita berdayakan nelayan. Selain itu, kami juga sudah menyiapkan pelatihan dan pembinaan untuk nelayan bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan,” kata Nazar.

Realisasi pembangunan industri itu, Pemprov Aceh menggandeng Bank Pembangunan Asia (ADB). Desain industri sudah disiapkan dan direncanakan menjadi yang terbesar di Sumatera.

Dikatakan, perairan di Aceh sangat kaya akan ikan, terutama tuna dan cakalang. Di sini menjadi tempat bertelur ikan-ikan di Samudra Hindia. Namun, potensi ikan yang besar itu justru banyak yang dicuri nelayan Thailand. Kerugian akibat pencurian sekitar Rp 4 triliun per tahun.

Kapal-kapal nelayan asing itu sangat sulit ditangkap karena keterbatasan sumber daya dan peralatan yang dimiliki TNI dan polisi di laut. Apalagi, kapal nelayan asing itu umumnya bermesin modern dengan daya jangkau jauh dan berkecepatan tinggi.

Merusak rumpon

Penangkapan ikan ilegal membuat jaring atau rumpon nelayan lokal rusak karena tersangkut rawai (semacam pancing raksasa) yang ditanam nelayan Thailand di perairan zona ekonomi eksklusif. ”Harga rumpon mencapai Rp 35 juta per unit. Kerusakan karena tersangkut rawai nelayan asing ini tak sekali dua kali, tapi sering terjadi,” ujar Zainal Abidin (50), nelayan dari Lampulo.

Nelayan Thailand juga sering kali menggunakan pukat harimau untuk menangkap ikan tuna. Pukat itu merusak terumbu karang. Akibatnya, nelayan lokal sulit mendapatkan ikan.

Sebenarnya, lanjut Nazar, jika potensi perikanan yang ada di perairan wilayah ini dapat dimanfaatkan nelayan lokal, Aceh tak perlu tergantung kepada sektor pertambangan, terutama gas dan batu bara. Sayangnya, hal itu belum bisa dilakukan karena keterbatasan peralatan dan ketiadaan industri yang mendukung kegiatan perikanan.

Sektor pertambangan, meskipun memiliki potensi besar, kenyataannya tak banyak menyerap tenaga kerja dan tak dapat secara langsung menyejahterakan masyarakat. Hal ini karena sektor ini mengandalkan teknologi tinggi yang tak memungkinan warga ikut andil.

”Nelayan Aceh selama ini justru lebih banyak yang pergi ke daerah lain, seperti Sumatera Utara dan Bengkulu. Itu terjadi karena di sana ada industri pengolahan ikan,” katanya. (HAN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com