Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jerat Kemiskinan di Jaring Kami...

Kompas.com - 04/05/2011, 16:53 WIB

BEKASI, KOMPAS.com — Jerat kemiskinan di Tanah Air seolah tak mau beranjak dari kehidupan warga pesisir. Begitu pula yang dialami masyarakat di hilir Sungai Citarum, Jawa Barat. Bagai di dalam jebakan, mereka tak bisa lepas dari kemiskinan struktural yang diakibatkan oleh buruknya kualitas lingkungan, rendahnya pendidikan, bobroknya infrastruktur dan minimnya perhatian pemerintah.

Sukandi (40), warga Kampung Muarajaya, Desa Pantai Mekar, Kecamatan Muaragembong, Kabupaten Bekasi, sejak 15 tahun lalu berupaya mengurai jerat kemiskinan itu dengan setia menata jaringnya setiap pagi. Dibantu dua anak perempuannya, ia menata jaring rajungan yang akan dibawanya melaut bersama adiknya Sukana (35).

“Tiga tahun terakhir ini rajungan sangat sulit didapat. Banyak rajungan yang mabuk karena terkena limbah. Dulu, saya bisa memperoleh 15-20 kilogram rajungan, sekarang bisa menjaring 1 kg rajungan sudah untung. Saya pernah hanya mendapatkan 4 ons dalam sehari,” tutur bapak tujuh anak itu.

Padahal, untuk sekali melaut ia memerlukan 8 liter solar. Harga per liternya Rp 6.500, sehingga biaya bahan bakar saja Rp 52.000. Dengan hanya memperoleh 1 kg rajungan yang dihargai Rp 23.000 oleh bandar ikan, Sukandi merugi. Ia dan adiknya terpaksa mengutang ke warung atau bandar untuk modal melaut esok hari.

“Utang baru tertutup kalau besok mendapatkan rajungan lebih banyak. Tetapi, sering kali enggak tertutup dan utang malah menumpuk,” ujarnya sambil terus mengurai jaring di tangannya. Jaring itu akan dipasangnya pada sore hari dan diambil besok paginya.

Untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, Sukandi dan  nelayan lainnya di Muarajaya menjadi pemulung plastik, botol air mineral dan barang bekas di tepian hutan bakau. Anak-anak nelayan di sana seusai pulang sekolah langsung mencari plastik. Mereka menyebut sampah plastik itu dengan “mainan”. Plastik itu kemudian dijual kepada pengepul keliling seharga Rp 1.700 per kg. Dalam sehari, anak-anak itu bisa mendapatkan 4 kg sampah.

Istri Sukandi, Inah (34), yang masih menyusui anak berusia dua tahun, juga membanting tulang dengan membuat ikan asin bersama ibunya. Satu ikan asin ukuran sedang dijualnya Rp 1.000. Dalam sehari bisa diperoleh Rp 5.000 dari menjual ikan asin. “Hasilnya lumayan untuk jajan anak-anak,” kata Inah.

Ali (68), nelayan lainnya, juga merasakan pendapatan ikan yang terus menurun. Setiap hari ia berangkat subuh dan pulang pukul satu siang. Ali yang menua hanya berani melaut hingga 500 meter dari mulut muara. Ia hanya mampu membawa pulang ikan belok atau kembung rata-rata 1-2 kg. Bahkan, lebih sering ia tak mendapat hasil apapun.

Pencemaran sungai dan terbatasnya alat tangkap membuat hasil tangkapan menurun dari tahun ke tahun. Belum lagi, kenaikan harga ikan tak sebanding dengan lonjakan harga beras, elpiji, dan bahan bakar. Betapa tidak, setelah dipotong biaya balok es dan pengiriman oleh pengepul, Ali mendapat Rp 25.000-Rp 30.000. Tapi itu belum dikurangi biaya solar empat liter seharga Rp 22.000 untuk bahan bakar perahu. Artinya, penghasilan bersihnya Rp 3.000 per hari!

Diterjang Abrasi

Beban hidup nelayan di hilir Citarum kian mencekik manakala abrasi menerjang perkampungan mereka. Jalan kampung sejauh 7 km di Muarajaya rusak parah akibat abrasi. Jalan beton pecah dan mengelupas, sehingga tidak bisa dilewati kendaraan bermotor. Rumah nelayan yang berhadapan dengan mulut muara Citarum pun hancur.

Abrasi di pesisir Muarajaya memang dashyat. Sekitar 10 tahun lalu, menurut Ali, jarak laut lepas dengan rumahnya masih mencapai 100 meter. Namun kini tinggal lima meter. Saat memasuki rumah Ali, lantainya gelap dan kotor karena endapan lumpur. Tak ada perkakas berharga selain TV 14 inchi. Selain rumah Ali, tiga rumah lainnya juga roboh.

Ancaman abrasi juga membuat keluarga Sukandi was-was. Saat malam hari, desir angin kencang membuat seisi rumah tak bisa tidur. Mereka khawatir rumah semipermanen berlantai tanah yang mereka tinggali itu roboh diterjang rob. “Suara kayu yang berderit sangat menakutkan. Saat angin kencang kami keluar rumah, berjaga-jaga sampai pagi,” tutur Inah yang asli Indramayu itu.

Kerusakan infrastruktur akibat abrasi lambat ditangani pemerintah. Selama empat bulan, jalan kampung yang rusak berat itu tidak diperbaiki. Sebelum abrasi, jalan kampung itu pun sudah tidak layak dilewati. “Anak saya sulit sekolah karena jalan rusak. Tidak ada ojek mau masuk kampung, sehingga ia harus berjalan kaki ke luar kampung sejauh 7 km,” ungkap Sukandi.

SMP terdekat dengan Muarajaya berjarak sekitar 15 km, sedangkan SD terdekat jaraknya 6 km. Puskesmas jaraknya sekitar 5 km. Ketiadaan jalan darat yang baik membuat warga kesulitan bersekolah dan mendapatkan pelayanan kesehatan. Selain jalan kaki, moda transportasi yang mungkin dipakai ialah perahu. Namun, perahu angkutan tidak selalu ada sebab jumlahnya terbatas.

Tergiur Bekerja

Pendidikan warga di hilir Citarum pun umumnya masih rendah. Dari tujuh anak Sukandi, misalnya, tak satupun yang lulus SD. Selain karena buruknya infrastruktur, anak-anak nelayan itu tergiur bekerja untuk membantu orangtua.

Parja (72), warga Kampung Muara Bendera, Desa Pantai Bahagia, Kecamatan Muara Gembong, mencontohkan anak kelimanya, Rokhman (20), yang berhenti sekolah menjelang ujian akhir kelas VI. Rokhman kini menjadi pengemudi perahu antar jemput siswa dengan upah Rp 20.000-Rp 30.000 per hari.

Anak-anak usia belasan tahun lainnya ikut mencari ikan ke tengah laut bersama orang tua atau saudaranya yang nelayan.

Sementara sebagian remaja putri merantau ke luar kota atau ke luar negeri. Mereka umumnya bekerja di sektor informal, seperti Mariah (28) dan Karmi (26), putra ketiga dan keempat Parja, yang menjadi pembantu rumah tangga di Arab Saudi.

Keberadaan tempat pariwisata juga tak mampu mendongkrak perbaikan hidup warga di hilir Citarum. Hal itu seperti ditemui di Pantai Tanjungpakis, Karawang. Pantai yang berjarak sekitar 100 km dari pusat kota itu hanya ramai di akhir pekan, libur sekolah dan Hari Raya.

"Laut menjadi pilihan terakhir saat pendapatan tidak ada. Ingin bekerja sebagai nelayan tapi tidak cukup modalnya. Ya sudah jadi pencari rebon di pingggir pantai," kata Asmat (33) yang pembuat terasi itu.

Diklaim sebagi tempat wisata unggulan Karawang, Pantai Tanjungpakis justru jauh dari keindahan. Kondisi pantai kotor dan jalan menuju pantai utama rusak berat sekitar 15 km. Neti (28), pemilik warung dan penangkap rebon, meminta pemerintah daerah turut mengembangkan usaha Pariwisata di Tanjungpakis.

Masyarakat di hilir Citarum sudah lama mendambakan kualitas hidup yang lebih baik. Peran pembuat kebijakan amat krusial dalam hal ini. Namun, sampai kapankah kemiskinan mereka didiamkan?(Rini Kustiasih/Gregorius M Finesso/Cornelius Helmy/Mukhamad Kurniawan)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com