KOMPAS.com — Sekitar 60 persen kejahatan perbankan melibatkan orang dalam. Bisa dilakukan oleh pegawai bank saja atau oleh orang lain yang bekerja sama dengan pegawai bank.
Kasus beberapa waktu lalu, pembobolan dana nasabah Citibank oleh pegawainya sendiri, Malinda Dee. Atau bobolnya dana milik PT Elnusa Tbk dan Pemerintah Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara, di Bank Mega yang salah seorang tersangkanya adalah Kepala Cabang Bank Mega Jababeka.
Bank bukannya tak sadar kemungkinan pembobolan yang melibatkan pegawainya sendiri. Regulator juga sudah mengatur upaya memitigasi pembobolan bank. Cukup sulit karena saat ini saja ada sekitar 15 juta transaksi perbankan per hari.
Caranya bermacam-macam. Pegawai secara berkala dirotasi. Pegawai yang terlalu lama di tempat tertentu dikhawatirkan memanfaatkan pengetahuannya tentang celah pengawasan yang ada. Atau senioritasnya itu membuat pegawai lain sungkan sehingga pengawasan longgar.
Bank juga mengharuskan pegawainya cuti pada kurun waktu tertentu. Tanda tanya besar jika ada karyawan yang menolak cuti. Seorang karyawan sebuah bank bercerita, ada rekannya menolak mati-matian perintah cuti. Setelah akhirnya dipaksa cuti, bank tersebut menempatkan pegawai lain di sana. Ternyata ada penghitungan keuangan yang tidak cocok. Rupanya upaya menolak cuti tadi karena tak ingin upayanya membobol dana bank terbongkar.
Bank juga harus semakin mengenal karyawannya. Kenali, bukan hanya nama, alamat, jabatan, dan sosoknya. Yang lebih penting soal profil pegawai. Bank harus curiga, saat ada karyawan yang biasanya punya mobil pribadi seharga Rp 200 juta tiba-tiba membeli mobil seharga Rp 750 juta.
Ada apa? Telusuri. Tanyakan langsung. Memang ada asas praduga tak bersalah sehingga karyawan tak buru-buru divonis menilap uang. Tapi, lebih baik curiga daripada bank bobol bukan?
Kini muncul juga saran untuk menerapkan semacam whistle blower di dunia perbankan. Antarkaryawan saling mengawasi. Jika ada hal yang mencurigakan, yang diduga sebagai tindak pidana perbankan, rekannya dapat melaporkan ke pihak tertentu yang telah ditunjuk di sana.
Namun, yang pasti, untuk whistle blower semacam ini harus ada perlindungan hukum bagi si pelapor. Jangan sampai si pelapor justru disebarluaskan namanya, lalu diincar pihak yang dilaporkan. Atau turut diseret sebagai pelaku kejahatan.
Di dunia hukum, upaya whistle blower sering bertemu jalan buntu. Whistle blower yang dimaknai sebagai peniup peluit, yakni pelaku kriminal atau pihak lain yang membongkar kejahatan, justru turut dijerumuskan sebagai tersangka perkara korupsi. Padahal, di sinilah peran whistle blower, mengungkap kejahatan yang lebih besar. Lagi-lagi, demi kebaikan bersama.
Di dunia perbankan, whistle blower dapat dimaknai sebagai pihak yang berperan mengantisipasi kejahatan. Peka terhadap sekeliling, dan bukan malah turut menikmati kejahatan itu.
Nah, siapkah whistle blower di dunia perbankan? Priiitttt...! (Dewi Indriastuti)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.