Analogi ini mencerminkan hubungan transisi demografi Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi pada masa depan. Belakangan ini begitu banyak studi yang menunjukkan Indonesia berpotensi menjadi pelaku ekonomi penting pada 2025. Studi Indonesia Forum, Goldman
Argumen utamanya: Indonesia akan memperoleh bonus demografinya pada tahun 2025,
Saya kira ada dasar untuk optimistis. Tahun 2025 Indonesia akan memiliki angka rasio
Dengan permintaan yang tinggi ini ekonomi akan bergerak karena porsi konsumsi mencapai 65 persen di Indonesia. Gejala ini mulai terlihat saat ini. Studi yang dilakukan Bank Dunia (2011) menunjukkan bahwa persentase penduduk dengan pengeluaran per kapita di atas 4 dollar AS per hari meningkat dari 5,7 persen (2003) menjadi 18,2 persen. Artinya, ada 30 juta kelas menengah baru. Ini adalah potensi yang luar biasa. Itu sebabnya, permintaan terhadap mobil, motor, telepon seluler, dan industri gaya hidup meningkat begitu tajam.
Modigliani dan Brumberg (1954) pernah menulis soal
Dalam periode produktif (15-65 tahun), orang berpotensi memiliki tabungan karena pendapatannya lebih besar dibandingkan dengan konsumsinya. Adapun pada kelompok usia lanjut (65 tahun ke atas) tingkat tabungan yang ada akan digunakan untuk masa pensiun. Karena itu, tingkat tabungan (swasta dan pemerintah) dan konsumsi akan dipengaruhi oleh transisi demografi.
Meningkatnya rasio ketergantungan akibat meningkatnya porsi usia lanjut (aging) akan berdampak negatif pada tabungan pemerintah. Penyebabnya, pengeluaran negara untuk pensiun meningkat, kesehatan dan jaminan kesehatan meningkat, sedangkan penerimaan negara mengalami penurunan. Rasio ketergantungan yang meningkat akan menurunkan produktivitas, yang pada gilirannya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Pertanyaan yang penting adalah bagaimana setelah 2025? Jika proyeksi demografi kita lanjutkan sampai 2050, gambar yang kita peroleh tidak terlalu cerah. Moertiningsih (2004) dari Universitas Indonesia serta Mason, Lee, dan Russo (2000) dari East West Centre mengungkapkan bahwa Indonesia akan menghadapi persoalan penduduk usia lanjut (aging population) pada 2050.
Moertiningsih (2004) bahkan menunjukkan bahwa Indonesia hanya punya waktu 10 tahun
Seperti dibahas di atas, defisit anggaran akan meningkat. Selain itu, tabungan menurun, investasi menurun, defisit transaksi berjalan meningkat, dan pertumbuhan ekonomi menurun. Kita akan punya persoalan yang mirip dengan masalah yang dihadapi negara-negara G-7 saat ini walau dalam skala yang lebih ringan. Akibatnya, economic support ratio (rasio penduduk produktif dibandingkan penduduk yang mengonsumsi) akan mengalami penurunan. Ini soal yang amat serius. Apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasinya?
Pertama, untuk mempertahankan proyeksi penduduk dengan tingkat kelahiran dan kematian yang rendah, program Keluarga Berencana harus diefektifkan. Kedua, manusia tak bisa menahan usianya untuk tetap muda, transisi demografi tak bisa dihindari. Seperti orang yang akan memasuki usia tuanya pada tahun 2050, Indonesia harus memiliki tabungan yang cukup. Untuk memiliki tabungan yang cukup, kita harus bekerja lebih keras, pertumbuhan pendapatan harus lebih tinggi.
Implikasinya, pertumbuhan ekonomi 6,0-6,5 persen jauh dari cukup. Tengok Korea Selatan ketika mereka menikmati keuntungan demografi dan modal: pertumbuhan ekonominya mencapai rata-rata 8,5 persen dalam periode 1981-1995. Rasio investasi/PDB-nya praktis berada di atas 30 persen dan bahkan mencapai lebih dari 40 persen dalam tahun 1991, begitu juga dengan rasio tabungan (mencapai 40 persen pada tahun 1988).
Sementara dalam kasus kita, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 6,5 persen dan sulit sekali mencapai 7 persen karena kendala infrastruktur. Untuk tumbuh di atas 8 persen, kita membutuhkan rasio investasi/PDB sekitar 40 persen. Adapun tabungan kita saat ini baru sekitar 33 persen. Ini tak cukup untuk membiayai investasi. Jika kita mengandalkan arus modal masuk, itu berarti defisit transaksi berjalan akan mencapai
Oleh karena itu, sumber pembiayaan harus datang dari dua sisi: domestik dan kemudian dilengkapi dengan pembiayaan dari luar. Tabungan domestik jelas harus ditingkatkan. Ini hanya bisa dilakukan jika pertumbuhan ekonomi tinggi dan alokasi yang tak produktif, seperti subsidi BBM, diubah menjadi subsidi kepada penduduk miskin dan alokasi untuk belanja modal dan infrastruktur. Kita juga harus sadar, tabungan domestik tak bisa tumbuh cukup cepat dalam jangka waktu pendek. Implikasinya, Indonesia juga harus menjadi negara terbuka.
Dengan skenario ini, kita
Jika ini luput, ibarat orang tua yang mulai sakit-sakitan—dan tak memiliki tabungan yang cukup—kita hanya akan meninggalkan kemiskinan dan pengangguran untuk anak cucu kita. Ada baiknya kita ingat, nasib anak cucu kita ditentukan oleh langkah kita hari ini.