Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ekspor Tuna Merosot

Kompas.com - 13/06/2011, 03:02 WIB

MAKASSAR, KOMPAS - Ekspor ikan tuna Sulawesi Selatan anjlok hingga di bawah 1 persen dari total produksi selama dua tahun terakhir, yaitu hanya 0,2 persen pada 2010 dan 0,5 persen pada 2009. Padahal, pada 2008 ekspor ikan tuna Sulsel mencapai 5,3 persen dari total produksi.

Kepala Seksi Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Sulsel Chairil, Minggu (12/6), mengatakan, ekspor tuna pada 2010 hanya 70 ton dari total produksi 32.200 ton. Angka ini turun dari tahun 2009 sebesar 0,5 persen dari total produksi 31.600 ton. Ekspor tuna pada 2008 mencapai 1.650 ton dari total produksi 30.600 ton. Tujuan ekspor tuna terutama Jepang dan Amerika Serikat.

Ekspor tuna yang terus turun tersebut disebabkan kualitas tuna rendah karena belum ada standar pengolahan pasca-penangkapan. Selama ini nelayan cenderung mengabaikan kebersihan hasil tangkapan mereka sebelum dijual.

”Saat bersandar, nelayan hanya meletakkan ikan tuna di tanah sehingga rentan tercemar kotoran di kawasan pelabuhan. Apalagi, nelayan pun masih gemar mencuci ikan dengan air kotor,” kata Chairil.

Nelayan juga cenderung memukuli tuna dengan pentungan hingga mati. Metode konservatif ini dapat merusak daging ikan. ”Ikan tuna yang sudah didaratkan juga biasanya terlambat masuk ruang pendinginan sehingga kualitasnya makin jelek,” ujar Chairil.

Ketua Asosiasi Eksportir Hasil Perikanan Indonesia Sulsel Sain Muin berharap, pemerintah perlu mengadakan pelatihan bagi nelayan yang umumnya belum memahami cara mempertahankan kualitas tuna. Dia juga berharap pemerintah memverifikasi kembali kelayakan 30 perusahaan ekspor ikan di Sulsel.

Budidaya kepiting

Lain lagi yang dihadapi pembudidaya kepiting di Ciamis, Jawa Barat. Petambak kepiting bakau (Scylla serrata) di Kampung Bojongsalawe, Desa Karangjaladri, Kecamatan Parigi, Kabupaten Ciamis, terkendala modal usaha. Akibatnya, mereka kesulitan mengembangkan budidaya kepiting dan tidak bisa memenuhi tingginya permintaan pasar.

Sunarya (46), Ketua Kelompok Budidaya Kepiting Karya Mandiri, mengatakan, dia membutuhkan modal awal Rp 10 juta untuk membeli bibit, pakan, pengolahan tambak, dan sewa tambak. Dalam setahun, kepiting bisa dipanen sebanyak tiga kali.

”Banyak yang beralih profesi menjadi nelayan akibat tidak punya modal. Dari 40 orang (petambak kepiting) pada 2006, kini tinggal 10 orang,” katanya.

Wayan Latra (43), petambak kepiting lain, mengatakan, permintaan kepiting dari Pangandaran, Jakarta, dan Bogor mencapai 75 kilogram per pembudidaya per minggu. Namun, akibat keterbatasan modal, pembudidaya hanya bisa memenuhi 5 kg per minggu. Dia berharap pemerintah daerah membantu petambak kepiting. (RIZ/che/ire)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com