Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melepas Anak-Anak Jadi Warga Belanda

Kompas.com - 10/08/2011, 14:17 WIB

(Berikut ini adalah tulisan Agrar Sudrajat tentang kisahnya sendiri yang diambil dari Radio Nederland)

SUDAH hampir dua dasawarsa saya dan keluarga -istri dan tiga anak- tinggal di Belanda. Sampai saat ini, saya dan istri masih ragu untuk pindah warga negara. Tapi, dua anak saya malah sudah duluan menjadi warga negara Belanda. Untuk alasan praktis, supaya mudah bepergian. Kakek anak-anak yang dulu sangat menentang penjajah Belanda, karena perjalanan hidup, setelah masa tua juga beralih menjadi warga Belanda.

Perjalanan hidup manusia kadang sama sekali di luar rencana dan bayangan semula. Saya datang ke Belanda pada tahun 1979 dengan tujuan studi. Ketika itu saya memilih studi sosiologi, di Vrije Universiteit di Amsterdam. Pergi ke Belanda tanpa membawa istri dan anak. Setelah lulus, pada tahun 1987, saya sempat kembali ke Indonesia dan bekerja di sana.

Pada tahun 1993, saya kembali ke Amsterdam untuk mengikuti program S3. Kali ini, istri dan anak-anak saya bawa. Sejak bulan-bulan pertama tinggal di Amsterdam istri saya sudah mulai mengemukakan gagasan untuk menetap di Belanda saja. Dan begitulah, berbeda dengan rencana pada saat berangkat dulu, sampai kini, kami masih tinggal di Amsterdam.

Pilihan Dua Anak Pria

Saya punya tiga orang putra. Yusuf lahir pada 1980, Yunus 1988 dan Yuris 1990. Belum lama ini Yuris memutuskan akan mengambil kewarganegaraan Belanda, sama seperti kakaknya, Yunus. Dorongan untuk pindah warga negara bagi dua anak ini sama, dengan paspor Belanda mereka gampang bepergian ke luar negeri.

Ketika duduk di kelas terakhir sekolah menengah, VWO, pada tahun 2006, Yunus bersama tiga orang teman sekolahnya sepakat usai ujian akan jalan-jalan ke Amerika Serikat. Agar dapat tiket murah, teman-teman anak kami sejak jauh-jauh hari sudah pesan tiket. Anak saya sendiri, saya nasehatkan jangan dulu booking karena ia harus mengurus visa dulu. Dan semua itu harus ia urus sendiri.

Kebetulan pengurusan visa ke USA dipusatkan di Konsulat Amerika di Amsterdam. Jadi, sebenarnya, dari segi jarak tidak begitu merepotkan. Namun akibatnya, kami harus membeli tiket yang harganya jauh lebih mahal. Dan anak saya tidak bisa berangkat dengan penerbangan yang sama bersama teman-temannya.

Pulang dari Amerika, anak ini mulai menjajaki pendapat kami bagaimana jika ia memutuskan akan mengambil kewarganegaraan Belanda. Kami hanya mengingatkan agar ia mempertimbangkan berbagai dampak pilihan tersebut. Dan bahwa soal kewarganegaraan bukan hanya soal status untuk dokumen resmi saja. Sementara anak nomor dua ini menyatakan, sejauh ini ia dibesarkan di Belanda dan tampaknya juga akan tetap tinggal di Belanda. Dari berbagai pertimbangan praktis, ia menganggap lebih baik menjadi warga negara Belanda.

Belum lama ini, Yuris mengalami hal yang hampir sama. Kami ingin mengunjungi seorang keponakan yang sedang studi di Inggris. Pada mulanya, pengurusan visa untuk itu dilayani oleh Konsulat Inggris di Amsterdam. Sayang sejak Februari lalu, pelayanan dipindahkan ke kota Dusseldorf di Jerman. Itu berarti untuk visa kami harus berhubungan dengan kantor pelayanan visa di Jerman. Anak nomor tiga memperhitungkan, baik dari segi biaya, mau pun kerepotan, lebih mudah mengurus proses naturalisasi. Dengan paspor Belanda, ia tidak usah meminta visa, dan dengan demikian juga tidak usah membayar apa pun.

Keputusan anak-anak ini mengingatkan saya pada kisah hidup kakek mereka, ayah saya. Ketika berangkat pada tahun 1979, selain untuk tujuan studi, saya sebenarnya juga ingin menemani almarhum ayah yang dulu tinggal di Amsterdam. Nama ayah saya Suparna Sastradiredja. Saya tidak pernah berjumpa dengannya sejak akhir September 1965, saat ia meninggalkan Indonesia. Ketika itu, ia ikut rombongan delegasi MPRS menghadiri perayaan 1 Oktober 1965 di Peking. Pecahnya Peristiwa G30S dengan dampak gelombang penumpasan orang kiri, membuatnya sulit untuk pulang kembali ke Indonesia.

Hingga pertengahan tahun 1970-an ia tinggal di China. Walaupun semua kebutuhan hidup ditanggung pemerintah China, namun, sebagai tamu, ruang gerak orang-orang yang tertahan pulang ini sangat terbatas. Akhirnya, almarhum ayah memutuskan untuk pergi ke Belanda. Sejak ia tinggal di Belanda, baru ia bisa mulai mencari kontak, melalui surat, dengan keluarga di Indonesia. Salah satu surat yang ia kirim akhirnya sampai juga ke tangan kami.

Ayah datang ke Belanda sebagai pencari suaka. Ketika itu, permintaan suakanya ditolak. Tapi, ia boleh tinggal menetap di Belanda atas dasar kemanusiaan. Sebagai orang yang pernah aktif di bidang politik ayah selalu mengikuti perkembangan politik.  Apalagi yang melibatkan nasib para terpidana kasus urusan politik, tapol dan korban pelanggaran hak azasi manusia di Indonesia. Dan untuk berbagai aksi yang menyangkut urusan itu, ia kadang harus pergi ke luar Belanda, seperti misalnya ke Paris atau Bonn.

Karena tidak punya paspor RI, ketika itu ia mendapat paspor khusus bagi orang asing yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda. Dan bagi pemegang jenis paspor seperti ini, ketika itu belum ada Kesepakatan Schengen, untuk ke Paris pun orang harus minta visa masuk. Soal pengurusan visa ini, jelas bagi banyak orang bukan suatu kegiatan yang menyenangkan. Termasuk buat ayah. Akhirnya, sekitar awal tahun 1980an, ia memutuskan untuk mengajukan permohonan naturalisasi. Dan beberapa waktu kemudian, ia sudah jadi pemegang paspor Belanda.

Ternyata perjalanan hidup ayah mengalami saat-saat yang tampaknya tidak pernah ia bayangkan pada masa mudanya dulu. Karena, pada pertengahan tahun 1930-an, sebagai pemimpin redaksi majalah Indonesia Muda, ia pernah mendapat vonis hukuman penjara, dari pengadilan kolonial Belanda. Atas tuduhan memuat tulisan yang menyebarkan kebencian pada penguasa Belanda! Selanjutnya, pada masa Perang Kemerdekaan, antara tahun 1945 - 1949, ia aktif ikut menentang kembalinya penguasa kolonial Belanda ke Indonesia. Ia akhirnya malah menjadi warga Belanda.

Upacara Naturalisasi

 

Pada masa lalu, kalau permintaan naturalisasi disetujui, paspor baru tinggal diambil di loket Dinas Kependudukan di balaikota. Sejak beberapa tahun ini, mengikuti kebiasaan di Amerika, penyerahan dokumen dilakukan dalam suatu upacara resmi di balaikota.

Beberapa hari lalu, saya menghadiri upacara naturalisasi anak bungsu di balaikota Amsterdam. Bila memungkinkan penyerahan dilakukan oleh walikota. Tapi, biasanya cukup diwakilkan pada pejabat setingkat camat atau pejabat lain dari balaikota.

Pada dasarnya, inti upacara adalah pengucapan sumpah atau janji untuk menghormati konstitusi dan bersedia melaksanakan kewajiban sebagai warga negara. Teks lengkap sumpah atau janji dibacakan oleh pejabat balaikota, calon warga negara tinggal mengucapkan akhir pernyataan: '... zo waarlijk helpe mij God almachtig', atau atas nama Tuhan Yang Maha Kuasa  atau mengucapkan janji: '... dat verklaar en beloof ik' saya menyatakan dan menjanjikan itu.

Konon, permintaan visa masuk ke Belanda, apalagi naturalisasi, sulitnya setengah mati. Anehnya, banyak juga calon yang tampak sangat kesulitan membaca salah satu dari dua kalimat singkat tersebut. Seorang calon asal Turki terpaksa harus dibimbing kata demi kata oleh sang pejabat karena sama sekali tidak mengerti Bahasa Belanda.

Saya, istri dan anak sulung sejauh ini belum memutuskan akan menanggalkan kewarganegaraan Indonesia kami. Walaupun sang anak sulung sudah mulai mempertimbangkan juga akan melakukan hal itu. "Paling tidak mengingat masa depan anak," katanya. Dari partnernya, seorang warga Belanda, ia sekarang sudah mempunyai seorang putri. Tapi, ia masih ragu.

Saya dan istri sebenarnya sepakat, mungkin akan lebih baik jika salah seorang di antara kami mengambil kewarganegaraan Belanda. Namun, sampai sekarang, kami belum sepakat siapa yang harus mengambil langkah tersebut. Kami masih saling dorong, masing-masing masih tetap ingin mempertahankan kewarganegaraan RI.

Saya dan istri sudah tidak punya ambisi besar untuk pergi ke berbagai negeri lain. Jadi, tidak lagi terlalu memikirkan urusan visa. Kami masih lebih senang berliburan ke Indonesia. Entah bagaimana, kalau nanti anak-anak kami yang lain juga sudah punya pasangan hidup dan cucu kami makin banyak dan semuanya tinggal di Belanda. Siapa tahu!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com