Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

66 Tahun Ekonomi Indonesia

Kompas.com - 23/08/2011, 03:09 WIB

Oleh Siswono Yudo Husodo

Saat menyatakan merdeka pada 17-8-1945, bangsa kita terlilit kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan yang menyentuh perasaan akibat penjajahan. Saat itu tak semua hal dalam perekonomian dimulai dari nol, tetapi di titik itu dimulailah desain perekonomian yang dikelola sendiri oleh bangsa dan negara Indonesia.

Dalam Pembukaan UUD 1945, kemakmuran dijanjikan di seberang pintu gerbang kemerdekaan Indonesia. Untuk mencapainya, UUD 1945 yang diturunkan dari nilai Pancasila memberi ruang gerak cukup lapang bagi penyelenggara negara merumuskan kebijakan ekonomi yang terbaik bagi kepentingan nasional dari waktu ke waktu. Dalam 66 tahun ini, keleluasaan itu telah memunculkan berbagai variasi konsep dan praktik ekonomi.

Sangat logis bila di awal hingga pertengahan 1960-an perekonomian cenderung sosialistis. Tekanannya pada pemerataan, perencanaan pembangunan terpusat, dan semangat kemandirian menyala. Penyelenggara negara, yang banyak di antaranya pendiri negara, diwarnai sikap waspada akan kembalinya penjajahan melalui kapitalisme liberalisme yang merupakan induk neokolonialisme dan neoimperialisme.

Belajar dari Eropa Timur yang dicengkeram Uni Soviet (1960-an hingga akhir 1980-an), neokolonialisme dan neoimperialisme juga dilakukan negara yang menjadi motor sistem sosialisme-komunisme. Jadi, tiap bangsa yang lemah akan dikendalikan dan didikte kekuatan besar, apa pun ideologinya.

Perubahan politik setelah 1965 mengubah corak perekonomian nasional. Penyelenggara negara yang baru berkeyakinan bahwa peran modal asing dibutuhkan dalam pembangunan. Serangkaian program liberalisasi ekonomi dijalankan. Dibandingkan dengan era sebelumnya, perekonomian Orde Baru lebih liberal kapitalistis. Didukung stabilitas politik, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi (7 persen) selama 30 tahun. Kue ekonomi yang membesar meningkatkan kemampuan negara melindungi dan melayani rakyat. Ini tampak dari kebijakan proteksi terhadap petani, pembangunan sekolah, layanan kesehatan dasar sampai pelosok desa, serta aneka infrastruktur.

Minimnya transparansi dan pengelolaan bisnis besar pada kroni penguasa yang tak kompeten telah mengantar Orde Baru pada kejatuhannya (1998). Di era reformasi, tak banyak corak perekonomian yang berbeda dari Orde Baru. Yang terasa berbeda: suasana bisnis lebih transparan. Pertumbuhan ekonomi 5-6 persen di tahun-tahun terakhir. Namun, angka kemiskinan dan pengangguran masih tinggi.

Koefisien Gini tahun 2010 mendekati 0,4 dengan GDP per kapita sekitar 3.000 dollar AS. Ini menunjukkan kondisi ekonomi yang sudah tak berkeadilan. Di masa Orde Baru, koefisien Gini 0,3 dengan GDP per kapita 2.000 dollar AS. Di tengah kesenjangan yang tinggi dan situasi politik yang keras saat ini, opini publik lebih memberi angin pada membagi kue ekonomi yang kecil secara lebih merata dan kurang memberi dukungan pada gagasan memperbesar kue ekonomi nasional. Pandangan ini bisa menjebak kita tetap miskin.

Dalam 13 tahun era reformasi, utang luar negeri terus bertambah. Di akhir era Soeharto, utang luar negeri kita 54 miliar dollar AS. Posisi utang luar negeri sampai April 2011 sekitar 128,6 miliar dollar AS dengan sifat utang yang berbunga jauh lebih tinggi, 11 persen per tahun, berjangka lebih pendek (5-10 tahun) dan bersumber dari pasar modal.

Dana membangun infrastruktur amat sedikit: tahun 2011 di bawah Rp 200 triliun. Dana tersedot buat membayar cicilan utang luar negeri dan aneka subsidi serta membiayai birokrasi yang bertambah gemuk dengan munculnya daerah pemekaran. Di tengah angka kemiskinan yang masih tinggi, memang lebih populer membangun kemakmuran dengan utang besar, yang sebenarnya kemudian membenamkannya.

Saya mendukung gagasan mengurangi subsidi BBM agar negara dapat lebih banyak membangun infrastruktur yang lebih menjanjikan efek lipat ganda. Mengurangi subsidi akan memberi negara kesempatan memfasilitasi rakyat dengan cara lebih baik. Pilihan itu sekilas tampak liberal.

Sudah tepat

Tentu banyak yang perlu diperbaiki dan mestinya tiap wacana untuk memperbaiki keadaan disambut dengan baik. Sayangnya, belakangan ini berkembang debat kurang sehat dalam kita mencari format ideal pembangunan ekonomi di Tanah Air. Ada nomenklatur ”neo-lib” yang ditimpakan kepada seseorang tokoh ataupun pemerintahan. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada mereka yang tulus dan jujur berargumen bahwa pengaturan yang terlalu bebas membahayakan kehidupan rakyat, sebaiknya stigmatisasi dihindari.

Sudah tepat sikap para pendiri bangsa kita yang tak menetapkan doktrin ekonomi tertentu secara dogmatis. Hal itu menghindarkan negara mengalami ambiguitas seperti yang dialami China dan Vietnam: tetap mendaku negara komunis, tetapi ekonominya mempraktikkan liberalisme dan kapitalisme secara luas.

Saya cenderung mempertanyakan relevansi mempertentangkan ide-ide liberal-kapitalisme dengan sosialisme. Pada kenyataannya, saat ini tak ada negara yang benar-benar menjalankan secara ketat salah satunya. Di negara liberal, praktik yang sosialistis berlangsung melalui tunjangan sosial. Artinya, tujuan sosialisme dicapai melalui jalan yang kapitalistis.

Bahkan, seorang Presiden AS, Barack Obama, dicela sebagai seorang sosialis karena memperjuangkan asuransi jaminan kesehatan bagi orang miskin di negaranya. Singapura varian yang lain lagi: berpartai tunggal, tetapi bercorak liberal kapitalistis. Peran BUMN-nya sangat besar dengan tabungan masyarakat melalui Central Provident Fund yang luar biasa besarnya untuk ikut melayani kebutuhan warga.

Taiwan dan Korea Selatan yang sama-sama membangun dengan corak liberal kapitalistis juga memiliki arsitektur perekonomian yang berbeda. Taiwan adalah model ideal sebuah pembangunan yang merata. Motor pembangunan ekonominya adalah usaha kecil dan menengah. Korsel serupa Jepang yang menempatkan usaha besar sebagai motor pertumbuhan ekonomi.

Keberhasilan ekonomi Jepang, Korsel, Taiwan, dan China melalui adopsi prinsip kapitalisme-liberalisme telah membuat mereka lebih berdaulat, tak bisa didikte negara Barat. Mengelola ekonomi negara selamanya memerlukan ruang gerak yang luas. Bagi penyelenggara negara di Indonesia, hal itu dijamin konstitusi. Mengutip ucapan Deng Xiaoping: ”Tak peduli kucing itu hitam atau putih, yang penting dapat menerkam tikus”.

Dengan praktik berbeda, perekonomian masa Soekarno dan Soeharto gagal karena mismanajemen politik dan ekonomi. Mau berjalan ke mana perekonomian Indonesia nanti juga ditentukan kemauan kita membenahi sikap mental, etos kerja, dan semangat kejuangan merebut berbagai peluang di era globalisasi ini. Pemberantasan korupsi dan suap di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta di masyarakat sangat menentukan kemajuan dan kemakmuran negara dan bangsa kita.

Siswono Yudo Husodo Ketua Yayasan Universitas Pancasila

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com