Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tanpa Pengawasan, Jakarta Bisa "Stroke"

Kompas.com - 20/10/2011, 08:23 WIB
Neli Triana

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Saat terhenti di tengah sesaknya kendaraan di Jalan Prof Dr Satrio, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (19/10/2011), angan melayang. Seperti apakah kawasan ini lima hingga 10 tahun mendatang? Kanan-kiri jalan gencar dibangun gedung-gedung tinggi modern yang cantik. Proyek jalan layang nontol juga digenjot.

Sekitar 4 kilometer dari pertigaan Karet Pedurenan hingga jalan layang Saharjo, berbagai kompleks bangunan, mulai dari pertokoan, apartemen, sampai perkantoran, dalam proses pembangunan. Di sini nantinya tercipta Kuningan Shopping Belt. Warga Jakarta diharapkan bisa merasakan atmosfer Orchard Road, Singapura, di sini.

Jaminan kenyamanan layaknya Orchard Road mungkin agak susah dipercaya pemenuhannya. Ketua Jurusan Perencanaan Kota dan Real Estat Universitas Tarumanagara Suryono Herlambang mengatakan, di bangunan tinggi yang dikelola modern, paling tidak membutuhkan satu pekerja setiap 10 meter persegi luas ruangnya.

”Khususnya untuk gerai atau toko. Itu belum hitung-hitungan pekerja cleaning service dan penjaga keamanan. Entah berapa jumlah total pekerjanya. Sebagai pusat belanja, tentu juga akan mengundang orang datang,” kata Suryono.

Padahal, sekarang Jalan Prof Dr Satrio hingga Casablanca setiap pagi dan sore macet. Maklum, jalan ini adalah ruas utama kedua penghubung ke bagian timur Jakarta setelah Jalan Gatot Subroto.

Tak ada lagi ruas jalan yang lurus dengan lebar memadai yang bisa menjadi jalur alternatif menuju bagian timur Jakarta. Memang, jalan layang nontol diharapkan bisa menjadi alternatif itu. Namun, apakah penambahan jalan layang Kampung Melayu-Tanah Abang sepanjang 7,3 km tersebut seimbang dengan berlipat kali penambahan kesibukan mobilitas di kawasan Kuningan nanti?

Berdasarkan survei lalu lintas Dinas Perhubungan DKI di Casablanca tahun 2009, setiap pagi ada 35.532 kendaraan dan sore hari ada 10.995 kendaraan di jalur arah barat-timur. Sementara arah timur-barat ada 18.897 kendaraan pada pagi dan 17.846 kendaraan pada sore hari.

Harap diingat, kawasan ini juga terhubung dengan kesibukan di Jalan HR Rasuna Said dan kawasan primer Jalan Sudirman. Hanya sebagian kompleks kawasan properti skala besar, atau lebih dikenal dengan istilah superblok, itu dilayani angkutan massal bus transjakarta. Selebihnya, hanya ada angkutan umum reguler. Penggunaan kendaraan pribadi dipastikan tetapi menjadi pilihan para pekerja ataupun pengunjung superblok.

Kondisi serupa tidak hanya terjadi di Kuningan dan sekitarnya. Sampai tahun 2011, sesuai data Dinas Tata Kota DKI, sudah ada 25 superblok dibangun di Jakarta dan 13 lainnya menyusul dikerjakan.

Konsep tepat

Pembangunan superblok sebenarnya memberikan keuntungan bagi kawasan urban, seperti Jakarta, yang terbatas lahannya tetapi penduduknya padat. Superblok adalah pembangunan beragam gedung dengan fungsi berbeda di sejumlah kapling lahan oleh pengembang dengan konsep terpadu.

Superblok ideal adalah kawasan mandiri, terkontrol, dan terpadu di mana warga kota dapat tinggal, bekerja, dan berekreasi dalam satu kawasan.

”Mobilitas dengan kendaraan akan berkurang,” kata arsitek Ridwan Kamil.

Kepala Dinas Tata Kota DKI Wiriyatmoko menambahkan, superblok itu penting untuk harmonisasi. ”Koridor- koridor antarsuperblok ini harus kami atur. Kami akan membuat sebuah kota yang lebih terkoordinasi. Sebuah kota yang kompak,” katanya.

Yang paling ideal, kata Wiriyatmoko, superblok tidak eksklusif bagi semua warga masyarakat. Namun, karena harga tanah di tengah kota mahal, tidak semua warga mampu membeli rumah di superblok. Untuk itu, ke depannya Pemerintah Provinsi DKI akan mengatur keberadaan hunian untuk warga kurang mampu berdekatan dengan infrastruktur, terutama akses transportasi massal.

Yang paling krusial, katanya, pada saat pembangunan. Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) harus benar-benar mengawasi. ”Percuma membuat panduan tata kota jika implementasinya tidak ada di lapangan,” ujar Wiriyatmoko, yang kini juga merangkap sebagai Pelaksana Harian Kepala Dinas P2B DKI.

Salah penerapan

Namun, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DK Sarwo Handayani mengatakan, mobilitas keluar masuk penghuni superblok tetap tinggi sehingga tetap membebani jalan.

”Penyebabnya macam-macam, misalnya fasilitas pendidikan yang ada di sana kurang memadai. Tempat kerjanya tidak di sana. Namun paling tidak, mereka tinggal dan belanja di sana,” kata Sarwo.

Menurut Sarwo, superblok tidak ditujukan untuk orang menengah bawah sehingga keberadaannya tidak harus dekat fasilitas transportasi publik.

Pendapat berbeda dilontarkan Suryono Herlambang dan Ridwan Kamil. Keduanya meyakini, superblok, yang konsepnya diadopsi dari penataan kota-kota di Amerika Serikat ataupun Eropa, dibangun dekat jalan utama dan menyediakan transportasi publik memadai.

”Kewajiban pengembang adalah menyiapkan fasilitas agar penghuninya bisa mudah mengakses transportasi publik. Di samping itu membangun/memperbaiki secondary road (jalan utama kedua) di sekitar superblok untuk membagi beban jalan utama yang telah ada,” katanya.

Kewajiban itu yang banyak dilanggar oleh pengembang superblok di Jakarta. Tidak ada sanksi tegas dari pemerintah sebagai pemberi izin, pengawas, dan juga sebagai pihak yang mewakili kepentingan umum.

Suryono menambahkan, longgarnya pengawasan terlihat dari belum tuntasnya satu kawasan superblok dibangun tetapi superblok lain sudah bermunculan. Fasilitas untuk berekreasi penghuni superblok juga dibuat begitu megah, seperti mal besar, yang menarik pengunjung dari tempat lain. Idealnya, fasilitas rekreasi itu hanya untuk melayani penghuni superblok.

”Jika pemerintah tidak tegas dan kuat dalam mengawasi dan menindak pelanggaran, suatu saat Jakarta bisa stroke. Lalu lintasnya lumpuh,” katanya.

Gejala kekacauan kota kini sudah begitu terasa. Suryono menyebut, Jakarta sekarang menjadi kota tanpa bentuk. ”Seperti telur orak-arik,” katanya. (ARN/COK/PUT)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com