Berbeda dengan beberapa negara, seperti India dan China, kereta api di Indonesia tidak berada di bawah satu atap dengan tujuan pengelolaan lebih transparan dan akuntabel. Akan tetapi, konsekuensinya, koordinasi antarinstansi harus sangat baik.
Dalam pengembangan KRL Jabodetabek yang menurut Kementerian Perhubungan menargetkan 3 juta perjalanan orang pada 2016 dari saat ini 400.000 perjalanan orang, salah satu yang harus segera diselesaikan adalah pelintasan sebidang. Untuk mencapai target itu, menurut Bambang, persilangan sebidang antara kereta api dan kendaraan bermotor harus dibenahi. Lalu, dilakukan penambahan jumlah dan kapasitas gardu listrik bagi KRL, stasiun baru, hingga penyediaan kendaraan pengumpan dari rumah dan tempat kerja ke stasiun. ”Intinya, menata KRL itu harus diikuti penataan ruang,” papar Bambang.
Namun, pelaksanaannya tidak semudah yang dikatakan. Untuk pembenahan pelintasan sebidang di Jakarta, misalnya, kata Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Industri, Perdagangan, dan Transportasi Sutanto Soehodho, Pemprov DKI hanya sanggup membangun 2-3 titik pelintasan bawah atau di atas tanah per tahun. Padahal, di DKI terdapat 164 pelintasan sebidang resmi dan 3.000 pelintasan tak resmi. Namun, menurut dia, hal itu tak akan menyelesaikan kemacetan di Jakarta karena jumlah kendaraan terus bertambah. Karena itu, lanjutnya, jalur kereta apilah yang harus dibangun di bawah atau di atas tanah.
Membangun kereta api merupakan pekerjaan jangka panjang yang memerlukan komitmen, konsistensi, dan koordinasi. Untuk saat ini, target yang harus dipenuhi adalah keselamatan dan ketepatan waktu. Akan tetapi, hal paling mendasar, demikian Taufik, adalah menentukan visi apakah perkeretaapian akan berfungsi sosial, komersial, ataukah menggabungkan keduanya. Tiap pilihan membawa konsekuensi yang harus konsisten dipenuhi.