Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tiket Seharga Dua Buah Cabai

Kompas.com - 28/10/2011, 05:02 WIB

Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia Ignasius Jonan setengah bercanda setengah meringis mengatakan di kantornya di Bandung, Senin (24/10) sore, harga tiket komuter Jakarta- Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi kelas ekonomi sama dengan dua buah cabai.

arga tiket ditetapkan pemerintah Rp 1.500-Rp 2.000 untuk kelas ekonomi karena PT KAI mendapat penugasan menjalankan layanan publik. Pemerintah mengimbangi tugas tersebut dengan memberikan dana layanan publik (PSO). Akan tetapi, realisasinya jauh dari kebutuhan. ”Tahun ini, dana tersebut belum turun,” kata Jonan.

Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada Pasal 165 Ayat 3 menyebut, jika penugasan tersebut secara finansial tidak menguntungkan, pemerintah harus memberikan kompensasi atas biaya yang telah dikeluarkan BUMN tersebut, termasuk margin yang diharapkan sepanjang dalam tingkat kewajaran.

Peneliti kereta api dari LIPI, Taufik Hidayat, di kantornya di Bandung, mengatakan, pemerintah memang tak konsisten. Dia mencontohkan, dana PSO tahun 2009 sebesar Rp 535 miliar, sementara realisasi dana yang dikeluarkan PT KAI Rp 900 miliar. ”Pemerintah intervensi terlalu dalam dari tarif hingga prasarana. Kita harus belajar dari India,” kata dia.

Menurut Jonan, pemerintah tak pernah serius menyentuh kereta api. Realisasi rata-rata dana PSO, misalnya, hanya 60 persen dari kebutuhan. Keadaan ini masih ditambah belum dipenuhinya kebutuhan untuk perawatan prasarana sesuai dengan UU No 23/2007 tentang Perkeretaapian.

Jika keadaan terus berlanjut, Jonan tidak berani menjanjikan peningkatan pelayanan kereta kelas ekonomi. Menurut dia, ada dua opsi untuk mengoperasikan kereta api secara layak dan berkembang. Pertama, PT KAI tidak ditugasi memberikan layanan umum dengan konsekuensi boleh menetapkan tarif maksimum untuk KRL komuter Jabodetabek 75 persen dari harga tiket bus termurah yang ditetapkan pemerintah pada koridor yang sama. Kedua, pemerintah memenuhi semua dana PSO. ”Kalau saya ditanya, pilih opsi pertama. Satu kelas saja, pakai AC. Bogor-Jakarta harga tiket Rp 9.000, yang lain Rp 8.000,” kata Jonan.

Namun, Taufik mengingatkan, untuk KRL Jabodetabek tetap harus ada kelas ekonomi karena pada kereta api juga melekat fungsi sosial. ”Persoalannya, komitmen dan konsistensi pemerintah,” ujar Taufik.

Kepentingan masyarakat

Minat masyarakat pada kereta api sangat besar. Itu terlihat saat perjalanan KRL jalur Bogor-Jakarta berkurang karena ada perbaikan gardu listrik. Meskipun Kementerian Perhubungan menyediakan bus, penumpang tetap memilih kereta. Waktu tempuh yang lebih panjang membuat pilihan pada bus kurang menarik.

Kereta api juga menjadi solusi paling ekonomis untuk angkutan orang dan barang. Selain menghemat bahan bakar, angkutan kereta juga mencegah kerusakan jalan, dapat menurunkan angka kecelakaan jalan raya, dan seharusnya dapat ekonomis bagi masyarakat.

Sayangnya, minat masyarakat pada kereta api dan fakta angkutan darat nonkereta tak menyelesaikan kebutuhan angkutan massal Jakarta dan sekitarnya lambat direspons.

Sejak tahun 1965 hingga sekarang sudah lahir belasan kajian rencana induk pengembangan kereta api Jabodetabek. Kajiannya rinci, mulai dari jumlah rangkaian dan keretanya, peningkatan lintasan, waktu pelaksanaan, besar dan sumber pembiayaan, hingga aspek sosial demografi. Kajian terakhir adalah Study on Integrated Transportation Master Plan for Jabodetabek (SITRAMP). Melihat keadaan saat ini, tampak sebagian besar kajian tersebut tinggal sebagai kertas di dalam laci.

Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono kepada Kompas mengatakan, salah satu kendala adalah pembiayaan. Karena sistem penganggaran, rata-rata anggaran hanya dipenuhi 30-40 persen dari kebutuhan.

Dana terbatas itu masih harus dibagi dengan moda transportasi lain. ”Untuk kereta api saja harus disediakan juga anggaran untuk kereta api perintis dan penyelesaian rel ganda Jakarta-Surabaya,” kata Bambang.

Membangun perkeretaapian sebagai angkutan massal yang aman, nyaman, efisien, efektif, dan produktif tidak terlepas dari politik anggaran. APBN Indonesia terlalu berat pada biaya pegawai.

Sempitnya dana pembangunan tersebut seyogianya mendorong pemerintah lebih tajam menentukan fokus pembangunan. Namun, dalam pidato Presiden mengantar RAPBN 2012 dan nota keuangannya di Gedung MPR/DPR/DPD pada 16 Agustus 2011, transportasi tidak masuk dalam 11 prioritas pembangunan nasional.

Anggota Komisi V DPR yang membidangi transportasi dan anggota Badan Anggaran DPR, Fary Francis, menyatakan, Komisi V sudah mendorong pemerintah mengembangkan kereta api. Meski demikian, pemerintah tetap memilih mengembangkan transportasi jalan raya.

Fary menunjuk pagu anggaran yang diajukan pemerintah dalam nota keuangan RAPBN 2012 untuk kereta api sebesar Rp 12,6 triliun, sementara pagu indikatif, artinya yang diminta, hanya Rp 5,3 triliun. ”Dari politik anggaran terlihat pemerintah tidak memprioritaskan kereta api. Anggaran untuk jalan raya diusulkan lebih besar 5-6 kali,” kata Fary.

Indikator lain, menyusutnya panjang rel, yang menurut Fary kini tinggal 4.790 kilometer dari 8.000 kilometer pada tahun 1.900. Penyusutan itu, antara lain, karena rusak tak terpelihara.

Komprehensif

Berbeda dengan beberapa negara, seperti India dan China, kereta api di Indonesia tidak berada di bawah satu atap dengan tujuan pengelolaan lebih transparan dan akuntabel. Akan tetapi, konsekuensinya, koordinasi antarinstansi harus sangat baik.

Dalam pengembangan KRL Jabodetabek yang menurut Kementerian Perhubungan menargetkan 3 juta perjalanan orang pada 2016 dari saat ini 400.000 perjalanan orang, salah satu yang harus segera diselesaikan adalah pelintasan sebidang. Untuk mencapai target itu, menurut Bambang, persilangan sebidang antara kereta api dan kendaraan bermotor harus dibenahi. Lalu, dilakukan penambahan jumlah dan kapasitas gardu listrik bagi KRL, stasiun baru, hingga penyediaan kendaraan pengumpan dari rumah dan tempat kerja ke stasiun. ”Intinya, menata KRL itu harus diikuti penataan ruang,” papar Bambang.

Namun, pelaksanaannya tidak semudah yang dikatakan. Untuk pembenahan pelintasan sebidang di Jakarta, misalnya, kata Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Industri, Perdagangan, dan Transportasi Sutanto Soehodho, Pemprov DKI hanya sanggup membangun 2-3 titik pelintasan bawah atau di atas tanah per tahun. Padahal, di DKI terdapat 164 pelintasan sebidang resmi dan 3.000 pelintasan tak resmi. Namun, menurut dia, hal itu tak akan menyelesaikan kemacetan di Jakarta karena jumlah kendaraan terus bertambah. Karena itu, lanjutnya, jalur kereta apilah yang harus dibangun di bawah atau di atas tanah.

Membangun kereta api merupakan pekerjaan jangka panjang yang memerlukan komitmen, konsistensi, dan koordinasi. Untuk saat ini, target yang harus dipenuhi adalah keselamatan dan ketepatan waktu. Akan tetapi, hal paling mendasar, demikian Taufik, adalah menentukan visi apakah perkeretaapian akan berfungsi sosial, komersial, ataukah menggabungkan keduanya. Tiap pilihan membawa konsekuensi yang harus konsisten dipenuhi.

(Ninuk Mardiana Pambudy/Orin Basuki)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com