Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jangan Sampai Terulang Lagi

Kompas.com - 28/10/2011, 05:07 WIB

Sejak masih berbentuk Perusahaan Jawatan Kereta Api, korupsi sudah ada di perkeretaapian. Akibatnya, boro-boro berinvestasi, untuk layanan publik pun terabaikan.

Saat PJKA menjadi PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan kondisi likuiditas membaik, korupsi masih terjadi. ”Kebocoran masih terus terjadi sampai sekarang,” kata Ketua Dewan Penasihat Masyarakat Kereta Api Moch S Hendrowijono, Rabu (26/10).

Praktik korupsi itu mulai dari pembelian solar untuk bahan bakar KA, percaloan, pembayaran tiket di atas KA (suplisi) yang tak disetor, hingga pengadaan seperti lokomotif atau gerbong. Ia berharap PT KAI meningkatkan pengawasan internal dengan mengangkat orang luar berintegritas dan jejak rekam baik. ”Selama ini pengawas cuma orang dalam KAI,” tambah dia.

Penyebab lain, bisnis KA di Indonesia tak ada pesaing. Jadi, harga mudah dimainkan dan sulit mencari perbandingan.

Dari catatan Kompas, pimpinan dan bendahara proyek jalur ganda-ganda (double-double track/DDT) Manggarai-Cikarang, Yoyo Sulaiman dan Iskandar Rosyid, divonis enam dan lima tahun penjara pada Agustus 2007. Keduanya terbukti menggelembungkan jumlah warga penerima ganti rugi dan menambah luas tanah serta bangunan saat pembebasan lahan proyek.

Laporan pemantauan proyek pinjaman luar negeri Bappenas triwulan I tahun 2011, menyebut proyek DDT yang didanai pinjaman Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) sebesar 41,03 miliar yen baru terpakai 995,7 juta yen. Saat ini proyek dalam proses prakualifikasi ulang. Mubasir, memang.

Tahun 2009 Indonesia Corruption Watch menemukan penjualan dengan harga rendah aktiva tetap PT KAI, antara lain eks lokomotif dan gerbong yang dinilai tak produktif. Negara rugi sebab seharusnya bisa untuk meningkatkan infrastruktur KA.

Periode yang sama, Direktur Keuangan PT KAI, AK, ditahan Polda Jawa Barat karena diduga korupsi terkait investasi PT KAI senilai Rp 100 miliar di PT Optima Kharya Capital Management. Dewan Komisaris PT KAI pun terseret diperiksa.

Kasus lain, dugaan korupsi hibah 60 gerbong KA eks Jepang dengan terdakwa Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Soemino Eko Saputro. Pengangkutan gerbong KA itu sangat mahal. Menurut temuan Komisi Pemberantasan Korupsi, satu unit gerbong biayanya 7 juta yen (sekitar Rp 720 juta) atau total Rp 43,2 miliar. Negara pun rugi Rp 10 miliar-Rp 16 miliar.

Soemino, seperti terungkap dalam dakwaan jaksa di sidang perdana Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Agustus lalu, menyebut keterlibatan Menteri Perhubungan Hatta Rajasa yang kini Menteri Koordinator Perekonomian. Hatta menugaskan Soemino mencari KRL bekas.

Kepada Kompas, September lalu, Hatta mengatakan, ”Saya justru yang minta proses pengadaan dihentikan dan minta BPKP turun.” Ia juga membantah pemerintah menunjuk langsung Sumitomo sebagai pengangkut gerbong.

Tahun depan PT KAI mendapat hibah dan membeli 150-230 gerbong bekas dari Jepang. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan Rahmat Walujanto yang pernah mengeluarkan nota dinas tentang kesalahan prosedur hibah 60 gerbong pun mewanti-wanti. ”Patuhi ketentuannya,” kata dia.

Rahmat menyebut aturan Peraturan Pemerintah Nomor 2/ 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerusan Hibah Luar Negeri dan

Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK.05/2009 tentang Sistem Akuntansi Hibah.

”Ketentuan itu bisa mencegah terulangnya kasus kemarin (Soemino),” lanjut dia. Aturan itu, selain memberi informasi kepada kementerian/lembaga dan donor, juga memberi sanksi jika syarat hibah tak dipenuhi. (HAR)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com