Hari-hari ini kita lihat situasi di Eropa semakin tak pasti. Lebih dari itu, situasi diperburuk dengan penjualan massal obligasi pemerintah dari sejumlah negara.
Sejak beberapa bulan lalu kita melihat meningkatnya perilaku para investor menghindari risiko dengan meninggalkan pasar keuangan di Asia. Ketidakpastian di sektor keuangan akan mendorong animal spirits dan perilaku latah (herd behaviour). Dalam situasi tak pasti, individu dalam sebuah kelompok akan mencoba mengurangi risiko dengan bergerak mengikuti pola kelompoknya. Contohnya: ketika sebuah produk keuangan mulai dilepas dan harga jatuh, orang berduyun-duyun menjual produk itu, sering tanpa sepenuhnya punya informasi lengkap soal produk itu.
Untuk mengurangi risiko, sektor keuangan, termasuk perbankan, melakukan pengurangan risiko dengan suntikan modal di Eropa. Apa implikasinya kepada Asia? Pasokan kredit ke Asia turun signifikan. Tak dapat dimungkiri bahwa perbankan di Eropa memiliki pinjaman cukup besar di beberapa negara Asia, khususnya yang bersifat jangka pendek.
Perbankan atau perusahaan yang meminjam dari Eropa akan terkena. Untungnya, pinjaman ini sebagian dibiayai deposan lokal lewat cabang bank-bank Eropa di Asia sehingga tak terlalu rentan. Namun, terjadinya pengurangan risiko dengan suntikan modal akan membuat banyak negara di Asia mengalami credit crunch, berhentinya penyaluran kredit. Pemicunya bisa berawal dari penarikan seluruh pembiayaan dari sektor perbankan domestik dan pasar derivatif, atau secara langsung lewat penurunan suplai kredit ke nonbank. Selain itu, kredit untuk perdagangan juga amat rentan terhadap upaya korporasi untuk mengurangi utang (deleveraging) di beberapa negara Asia.
Bagaimana Indonesia? Bukankah kita tak memiliki keterkaitan yang besar terhadap perbankan di Eropa? Benar! Namun, jangan lupa, efek tular akan terjadi melalui negara-negara Asia yang punya keterkaitan besar terhadap Eropa. Ketika negara-negara Asia itu terkena, Indonesia juga akan terkena dampaknya.
Contoh paling nyata dan sudah dirasakan sekarang adalah pembiayaan dollar AS. Di banyak negara, termasuk Indonesia, kita sudah mulai melihat ketatnya likuiditas dollar. Di sini kita harus melihat situasi perbankan dengan hati-hati.
Mengapa kita harus hati-hati terhadap sektor perbankan dalam situasi krisis? Ada baiknya kita belajar dari krisis 2008. Saat itu hampir semua indikator perbankan terlihat baik. Dampak krisis baru tecermin lewat likuiditas, padahal indikator modal dan perbankan lain relatif baik.