Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Zona Euro Kusut

Kompas.com - 07/12/2011, 04:26 WIB

Frankfurt, Selasa - Masalah zona euro yang sedang terlilit utang benar-benar amat kusut. Pemerintahan tak mampu mengelola ekonomi dan lembaga pemeringkat Standard & Poor’s menyebutnya sebagai pengelolaan ekonomi yang jauh dari mantap. Para anggota serikat buruh menolak pengurangan tunjangan sosial.

Para pemain utama atau penentu kebijakan juga tidak bertindak. Masing-masing saling menunggu pihak lain untuk berbuat terlebih dahulu. Karena itu, pasar semakin bingung dan publik tidak mendapatkan gambaran tentang bagaimana zona euro yang beranggotakan 17 negara itu keluar dari krisis utang.

Persoalan besar di zona euro adalah tumpukan utang yang terakumulasi. Untuk kasus Yunani, data-data statistik utang disembunyikan dan baru ketahuan bohong dua tahun lalu.

Ada kekhawatiran investor bahwa utang-utang tidak terbayarkan lagi, terutama Yunani, Irlandia, Portugal, dan kini menyerempet Italia dan Spanyol. Hal ini membuat sejumlah pemerintahan tidak mudah mendapatkan lagi utang baru lewat penerbitan obligasi. Utang ini penting sebagai sumber penerimaan untuk menggerakkan pemerintahan dan perekonomian.

Perbankan zona euro, yang merupakan salah satu pilar sektor keuangan, juga terjerat kredit macet. Sekitar 50 persen piutang investor berbentuk obligasi yang diterbitkan Pemerintah Yunani telah hangus. Para investor khawatir sisa obligasi yang masih mereka pegang berpotensi musnah. Hal inilah yang menyebabkan lelang obligasi mulai tidak laku atau, jika laku, suku bunganya cukup tinggi dan mencapai 8 persen.

Muncul pertanyaan bagaimana cara menolong Uni Eropa atau zona euro keluar dari kemelut utang, yang berkembang menjadi kemelut ekonomi dan krisis politik yang telah menjatuhkan sejumlah pemerintahan.

Polandia mengatakan, Jerman yang relatif kaya tergolong paling mampu untuk menolong para tetangga. Adalah Jerman yang bisa memberikan dana talangan ke tetangga. Kanselir Jerman Angela Merkel berkali-kali mengatakan, pengurangan defisit anggaran dan penghematan pengeluaran pemerintah adalah dasar dari penuntasan krisis.

Dalam istilah Dubes Jerman untuk Indonesia, Dr Norbert Baas, ”Tidak ada solusi jangka pendek, seperti pemberian bantuan, karena hal itu tidak akan menjamin kedisiplinan pengelolaan ekonomi.”

Jerman mengindikasikan agar sejumlah negara bangkrut mendekati Dana Moneter Internasional (IMF) untuk diberi dana seperti yang pernah didapatkan Indonesia. Perancis tidak menginginkan ini dengan alasan telah menunjukkan ketidakkompakan zona euro. Direktur Pelaksana IMF Christina Lagarde menegaskan, IMF sebenarnya siap menolong, tetapi tidak ada permintaan. Hal itu dia katakan dalam sebuah pertemuan di Sao Paolo, Brasil, Jumat, 2 Desember.

Jerman tidak punya alat untuk memaksakan disiplin. Karena itu, berharap dengan memohon kepada IMF, otomatis pemantauan disiplin ekonomi akan termasuk di dalamnya. Niat Jerman ini gagal dan dibentuklah European Financial Stability Fund (EFSF). Namun, dengan uang yang sedikit, hanya satu triliun dollar AS, EFSF tak mampu menyelamatkan zona euro dari krisis.

Ada niat untuk melibatkan Rusia, Brasil, China, dan sejumlah negara lain untuk memberi pinjaman kepada zona euro. Egoisme kawasan, gengsi sebagai negara kuat, membuat Eropa tak mudah membuka diri pada bantuan asing. China juga punya perhitungan dan tak mau begitu saja memberikan pinjaman jika embargo senjata oleh AS dan Eropa tidak dicabut, sehubungan dengan Tragedi Tiananmen. Harian Inggris The Telegraph edisi 6 Desember memberitakan, Perancis ingin melonggarkan embaro, tetapi Inggris tidak.

Ubah Traktat Lisabon

Lagi, Perancis lewat Presiden Nicolas Sarkozy mengindikasikan keinginan agar Bank Sentral Eropa (ECB) menyuntikkan modal ke sektor perbankan, menurunkan suku bunga, mencetak mata uang euro, dan menggantikan para investor untuk sementara dengan membeli obligasi sejumlah negara.

Jerman dan Presdir ECB Mario Draghi menolak hal ini. Masalahnya hal itu akan membuat independensi ECB terkikis. Tambahan pula, ECB tidak memiliki landasan hukum untuk melakukan semua itu. ECB hanya bertugas mengelola inflasi.

Karena itu, tuntutan kembali ke Jerman agar aktif menolong. Namun, Jerman tak mau sepanjang zona euro tak bisa membatasi diri dengan disiplin berdasarkan Stability and Growth Pact, yang meminta zona euro agar maksimal mempertahankan defisit anggaran pemerintah 3 persen dari produk domestik bruto.

Namun, tidak ada hukum yang bisa memaksa kedisiplinan negara-negara anggota. Karena itu, Jerman menuntut agar kedisiplinan ini diikat secara hukum. Masalah muncul. Traktat Lisabon tidak memiliki perangkat hukum seperti itu, yakni yang mengharuskan anggota dikenai penalti jika melanggar disiplin.

Kini ada perancangan soal perubahan traktat. Namun, traktat ini juga hanya didikte Perancis dan Jerman, yang belum tentu bisa disetujui anggota lain. Setiap traktat baru hanya bisa berlaku jika masing-masing parlemen negara meratifikasi traktat. Tambahan lagi, dibutuhkan paling cepat 18 bulan hingga traktat baru disepakati.

Karena itu, tak heran jika Merkel mengatakan, ”Penyelesaian krisis Eropa membutuhkan waktu bertahun-tahun.”

(AFP/AP/REUTERS/MON)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com