Bogor, Kompas -
Wakil Ketua I Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun mengungkapkan hal itu di sela seminar nasional bertajuk ”Akselerasi Inovasi Industri Kelapa Sawit untuk Meningkatkan Daya Saing Global” di Bogor, Kamis (26/1). Seminar diselenggarakan bersamaan Kongres Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (Maksi), organisasi nonprofit yang dibentuk akademisi, peneliti, dan pemangku kepentingan kelapa sawit.
Indonesia diprediksi memproduksi 25,9 juta ton crude palm oil (CPO) tahun 2012, atau 50,3 persen produksi global. Volume
Indonesia mampu memenuhi kenaikan permintaan karena masih berpeluang meningkatkan produksi. ”Negara lain sudah tidak bisa lagi. Indonesia masih bisa meningkatkan produksi dengan inovasi penelitian dan revitalisasi lahan,” ujar Derom.
Derom memperkirakan harga CPO bisa menyentuh level 1.200 dollar AS (Rp 10,8 juta) per ton karena keterbatasan suplai minyak nabati lain, seperti kedelai, akibat kekeringan di Amerika Selatan. Saat ini, harga CPO sudah termasuk ongkos pemompaan ke lambung kapal, asuransi, dan sewa kapal di Rotterdam, Belanda, yakni 1.070 dollar AS (Rp 9,6 juta) per ton.
Indonesia kini merupakan produsen CPO terbesar dunia. Namun, kebijakan yang belum terpadu membuat pengembangan industri kelapa sawit relatif berjalan parsial.
Ketua Umum Maksi periode 2009-2011, Tien R Muchtadi, mengatakan, sudah banyak hasil penelitian tentang kelapa sawit. Namun, upaya membawa hasil penelitian menjadi inovasi agar diterima pasar belum optimal.
Menurut Rektor Institut Pertanian Bogor Herry Suhardiyanto, Indonesia butuh agenda riset, alokasi dana penelitian memadai, dan peralatan penelitian.
Ketua Komite Inovasi Nasional (KIN) Zuhal mengatakan, KIN berjuang agar dana riset bisa ditingkatkan. Saat ini, anggaran riset baru 0,3 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, atau 0,08 persen dari produk domestik bruto (PDB).
”Kami targetkan akhir tahun 2014 mencapai 1 persen dari PDB,” ujar Zuhal.