Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

CEO Sinar Mas: Mari Berpihak pada Petani

Kompas.com - 06/02/2012, 10:34 WIB

Oleh Abun sanda

Sebagai chief executive officer sebuah grup bisnis Sinar Mas, wajar kalau Franky Oesman Widjaja banyak berbicara tentang bisnis ataupun visi bisnis ke depan. Namun, beberapa tahun terakhir ini, ia lebih suka berbicara sangat detail tentang bagaimana memberi kontribusi bagi peningkatan produksi pertanian nasional. 

Ia berkeliling Tanah Air melihat kondisi lapangan, menghadiri aneka seminar soal pertanian di dalam dan luar negeri. ”Passion saya di situ. Saya selalu mendapat inspirasi hidup dari para petani. Kebetulan saya Wakil Ketua Umum Kadin, yang di antaranya membidani pertanian,” tutur suami dari Inge Setyawati Tanuwidjaja serta ayah Shierly, Jeselyne, dan Emmeline.

Kini, tutur Franky Widjaja, ia menyediakan lebih dari separuh waktunya untuk berkontribusi mencari terobosan meningkatkan produk pertanian. Dalam forum ekonomi dunia di Davos, Swiss, Franky juga dipercaya memberi presentasi tentang hal ini. Tentu ia merasa sangat terhormat.

Berikut petikan wawancara dengan Franky, hari Jumat (3/2/2012), di Jakarta.

Anda menyukai pertanian. Mengapa?

Sebagai pengurus Kadin, saya memang diberi tanggung jawab tentang hal ini, sesuatu yang memang saya sukai. Tetapi di luar aspek itu, inklinasi saya memang di pertanian dan perkebunan. Awalnya, saat selesai kuliah di Jepang hampir 30 tahun silam, ayah (Eka Tjipta Widjaja) tidak membolehkan saya langsung masuk kantor. ”Ayo ke Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara. Belajar dari bawah,” begitu kata ayah.

Sejak itu, beberapa tahun saya masuk-keluar kebun, naik-turun perahu kayu atau sesekali naik sepeda dan sepeda motor untuk mengumpulkan kopra rakyat. Ini fase berkesan pada saya sebab ayah memang begitu. Semua anaknya dilatih dulu di lapangan, dalam hutan, serta alam yang menantang.

Dalam hutan pekat, sinar matahari pun sulit menembus, berjalan menuju kampung penduduk. Kopra-kopra yang kami beli dari petani kami kumpulkan. Ada yang diangkut dengan truk, ada pula melalui perahu kayu. Kalau semua pekerjaan itu tuntas, tak bisa dilukiskan bagaimana senangnya.

Ada alasan lain?

Produk beras kita, meski telah kita pompa produksinya, belakangan ini selalu tidak cukup. Kita selalu impor 500.000 ton hingga 2,5 juta ton beras per tahun. Jangan lupa, ketika meraih swasembada beras tahun 1984, kita baru saja merampungkan revolusi hijau. Penduduk Indonesia pun belum sampai 180 juta jiwa.

Kini, tatkala lahan produktif dan strategis tergerus infrastruktur dan ekspansi hunian manusia, Indonesia harus meningkatkan produksi beras. Memang meningkat, tetapi tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhan. Penduduk Indonesia sudah 240 juta jiwa. Indonesia pengonsumsi beras yang hebat.

Kalau negara tetangga mengonsumsi 60 kg per kapita per tahun, Indonesia mengonsumsi 136 kg beras per kapita per tahun. Rata-rata produksi sawah Indonesia 2 ton per hektar per tahun, bandingkan sejumlah negara tetangga yang mampu menghasilkan 6 ton per hektar per tahun. Indonesia pun pengguna gula dan karbohidrat besar sehingga menjadi pengidap diabetes terbesar keempat di dunia.

Apa rencana Anda?

Kita harus berkampanye dan menempuh beberapa hal strategis. Pertama, meningkatkan produktivitas lahan pertanian. Ini berkaitan dengan upaya lebih memodernkan proses produksi, menyediakan irigasi, bibit unggul, pupuk yang cukup, penyuluhan untuk menyampaikan pengetahuan baru tentang teknologi. Saya suka terenyuh mendengar ada petani mengurangi tebaran pupuk karena anak perlu susu atau ada anak hendak menikah.

Kedua, pemerintah tentu mau memberi petani pinjaman dengan margin nol persen. Lalu mengajak inti dan plasma bekerja sama membangun interaksi positif untuk meningkatkan produksi pertanian. Brasil kini meraih kemajuan dalam ekonomi karena berani memberi kredit kepada petani dengan nol margin. Pemerintah yang turun tangan memberi margin kepada perbankan. Jadi ada semacam keberpihakan yang jelas. Tidak heran, kini skala ekonomi Brasil sudah melewati Inggris.

Di perkebunan sawit, aspek ini diterapkan dan kini Indonesia menjadi penghasil CPO terbesar. Kini selain batubara, CPO menjadi komoditas unggulan untuk ekspor. Untuk areal 7,5 juta hektar sawit yang ditanam, menghasilkan 23 juta ton. Kalau sawit per ton senilai 1.000 dollar AS, maka hasilnya adalah 23 miliar dollar AS. Pemerintah, melalui pajak, memperoleh 12 miliar dollar AS, luar biasa. Kalau produksi beras dipompa sedemikian rupa, juga akan menghasilkan pendapatan rakyat dan pendapatan negara dengan skala luar biasa. Kita bisa, kok, menjadi negara kaya, sepanjang kita mau melakukan terobosan dan lebih langkas menetaskan inovasi-inovasi baru. Belajar dari kelapa sawit inilah, saya yakin kalau ada kerja sama sangat baik antara inti, plasma, dan pemerintah, Indonesia dalam waktu singkat akan menjadi negara penghasil beras yang diperhitungkan.

Bagaimana memulainya?

Mulai dulu dari langkah-langkah kecil. Misalnya, sediakan lahan, kemudian bikin modulnya. Kedua, beri contoh langsung. Soal contoh ini penting. Dulu, dengan kelapa sawit, banyak yang tidak mengerti. Tetapi dengan contoh, dengan modul yang jelas, pendanaan yang baik, semua berjalan baik. Lalu banyak yang tertarik dan ”ikut ke dalam kereta”.

Tetapi lahan strategis untuk padi tergerus infrastruktur, perumahan.

Dalam konteks ini ”kepentingan nasional yang lebih besar” harus dikedepankan. Mesti ada rule yang mengatur ini dengan tegas. Misalnya, tidak bisa mengonversi lahan strategis nan subur sebagai jalan raya atau kawasan perumahan. Tidak bisa pula mengganggu irigasi atau daerah tangkapan air. Kalau dilanggar, berarti kriminal.

Bisnis Sinar Mas maju pesat di perkebunan sawit, properti, kertas dan lain-lain.

Kalau tentang bisnis maju, biasa sajalah, sebab bisnis harus maju, kan? Saya lebih tertarik berbicara proses regenerasi di grup ini. Pendirinya, Pak Eka Tjipta. Kami sebagai anak-anaknya meneruskan apa yang beliau rintis, syukur kalau bisa lebih maju. Kini pendiri Sinar Mas boleh berjalan dengan kepala tegak karena proses regenerasi berjalan baik. Pemegang posisi-posisi puncak tidak lagi hanya anak-anak Pak Eka, tetapi para cucu (generasi ketiga, kerap disingkat G3). Mereka sudah naik ke panggung. Terlatih di lapangan. Aspek lapangan inilah yang acap ditekankan ayah kami sebab bagi dia gambaran bisnis itu kaki dan tangan bergerak. Kalau hanya duduk di kantor, waduh!

Sebagai CEO, bagaimana Anda membagi waktu dengan keluarga?

Keluarga bagi saya nomor satu. Saya bisa letih seperti apa, tetapi kalau sudah bertemu istri dan anak-anak, keletihan itu lenyap seketika. Sungguh nyaman bergurau dengan mereka, makan bersama, nonton film bersama, diskusi bersama. Kerap olahraga bersama.

Ini sebabnya mengapa kalau tidur, saya bisa sangat dalam. Anda tahu, karena terbiasa bekerja keras, saya bisa bekerja tanpa tidur tiga hari tiga malam. Tetapi setelah itu saya bisa tidur 16-18 jam, tanpa bangun, tanpa terusik urusan ke toilet. Very deep sleep itu kan karunia Tuhan yang luar biasa.

Ada yang ingin Anda sampaikan?

Saya ingin menggugah siapa saja untuk berbuat baik, berbuat amal yang luar biasa. Hidup kita selalu indah kalau kita berbuat baik bagi sesama.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com