Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

FPDI-P: Harga BBM Tidak Layak Naik

Kompas.com - 29/02/2012, 15:57 WIB
Sandro Gatra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Program subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang dilakukan pemerintah selama ini dinilai sudah tepat lantaran dinikmati oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Dengan demikian, rencana pemerintah yang menaikkan harga BBM bersubsidi dinilai tidak layak dilakukan.

Hal itu merupakan sikap Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang disampaikan Ketua Kelompok Fraksi PDI-P di Komisi VII Daryatmao Mardiyanto dan Sekretaris Fraksi PDI-P Bambang Wuryanto saat jumpa pers di ruang Fraksi PDI-P di Komplek DPR, Jakarta, Rabu (29/2/2012).

Fraksi PDI-P menyikapi dua opsi usulan pemerintah untuk mengurangi besaran subsidi BBM. Opsi pertama, kenaikan harga jual eceran premium dan solar Rp 1.500 per liter. Opsi kedua, memberikan subsidi tetap, maksimum Rp 2.000 per liter, untuk premium dan solar. Penerapan opsi itu disertai pemberian kompensasi.

Daryatmo menjelaskan, dokumen Bank Dunia tentang skenario pengurangan subsidi BBM menunjukkan bahwa dari total premium yang dikonsumsi rumah tangga, 64 persennya untuk bahan bakar sepeda motor. Hanya 36 persen dipakai untuk mobil.

Bambang menambahkan, sebesar 41,8 persen premium digunakan oleh masyarakat berpenghasilan dibawah Rp 2 juta perbulan; 33,2 persen digunakan masyarakat berpenghasilan antara Rp 2 juta-Rp 3,6 juta ; 23,6 persen antara Rp 3,6 juta - Rp 5,5 juta.

"Masyarakat berpengasilan diatas Rp 5,5 juta yang menggunakan premium hanya 1,4 persen. Jadi statemen subsidi salah sasaran itu clear (salah). Subsidi sudah benar. Jadi jangan dipakai alasan subsidi salah sasaran," kata Bambang.

Daryatmo mengatakan, rencana pemerintah menaikan BBM bersubsidi menunjukkan pemerintah menuduh masyarakat dalam posisi menghabiskan energi. "Seolah-olah (masyarakat) perlu dihukum dengan harga keekonomian," ucapnya.

Fraksi PDI-P mengungkapkan besaran subsidi BBM sejak tahun 2005 sampai 2012 mengalami penurunan hingga 53,6 persen. Data itu berbanding terbalik dengan anggaran belanja birokrasi yang naik hingga 21 persen.

"Subdisi pangan sudah mulai berkurang. Policy apa itu? Hajat hidup orang banyak di makanan dan energi," ucap Daryatmo.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com