Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nelayan Natuna di "Kota Tengah Malam"

Kompas.com - 21/04/2012, 13:36 WIB

Oleh Rosyita

Satu atau dua kali dalam satu bulan kapal-kapal nelayan asing akan berkumpul dan berlabuh di tengah laut pada malam hari berpesta dengan lampu yang terang benderang, bak sebuah kota tengah malam di tengah laut di wilayah kedaulatan NKRI.

Demikian sekelumit kisah Pak Madji (50) nelayan dari Pulau Laut, sebuah kecamatan yang memiliki dua pulau terluar yang berhadapan langsung dengan negara Vietnam, yakni Pulau Sekatung dan Semiun di Kabupaten Natuna, Provinsi kepulauan Riau.

Antara sedikit tergagap, ternyata pengetahuan nelayan satu ini tentang wilayah kedaulatan laut NKRI cukup baik. Pak Madji sambil menghisap rokok yang asapnya mengepul mengusir tiupan angin senja di pelataran rumah nelayan tepi pantai di pasar Ranai, satu-satunya pasar bagi masyarakat ibukota Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Lelaki legam itu bertutur lincah, berkisah tentang nasib nelayan yang berada di ujung utara negeri perbatasan bernama tanah air Indonesia.

Masih bersemangat untuk memperbaiki nasib nelayan ke depan, walaupun dalam kurun waktu 12 tahun kabupaten ini sudah terbentuk, namun tiada perubahan berarti. "Saya berharap, anak cucu saya tidak lagi melihat pemandangan lampu yang kerlap-kerlip di tengah lautan, yang seakan mengejek bangsa yang terkenal dengan semboyan 'nenek moyangku seorang pelaut' ini," harapnya.

Asa yang sama dituturkan Pak Weh (47) seorang pelaut di Pelabuhan Rakyat Penagi ini tak mampu menelan kekecewaan terhadap kondisi yang menimpa nasib nelayan yang kian hari kian menyedihkan. "Hasil tangkapan kami semakin menurun dari waktu sebelumnya," katanya sambil bercerita pula tentang Kampong Penagi yang membuatnya tersenyum mengenang ramainya dulu pelabuhan rakyat ini.

Lelaki ini yang kenal Kantor Berita Indonesia "Antara" dari hobi mengisi teka teki silang berbincang asyik tentang Pelabuhan Penagi merupakan pelabuhan bongkar muat pertama di Pulau Bunguran Timur, Ranai ibukota Kabupaten Natuna. Namun, sekelebat, ia beralih topik kembali ke `laptop`.

"Kami bak penonton, sementara orang-orang asing itu mengeruk hasil laut yang kaya akan hasil perikanan," ujarnya nanar memandang hamparan laut nan biru seakan menerawang negeri yang semula terkenal dengan Pulau Tujuh ini.

Baginya, tak asing lagi kekayaan hasil laut Natuna dijaring oleh nelayan-nelayan asing dengan alat tangkap serta alat navigasi kapal yang serba canggih. Sementara dirinya dan nelayan-nelayan tradisional di kabupaten hasil pemekaran Provinsi Kepulauan Riau tahun 1999 hanya gigit jari melihat nelayan-nelayan asing mencuri dengan gagah berani.

"Hingga hari ini kenapa pemerintah seakan tidak peka dan membiarkan saja persoalan nelayan, negeri ini perlu pelabuhan yang memenuhi semua yang terkait dengan aktifitas nelayan," ujarnya. "Andai saja bisa terwujud," sambungnya lirih.

Dari data Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Natuna tahun 2010, kasus illegal fishing mencapai 108 kasus yang didominasi kapal nelayan asing yang berasal dari negara-negara utara, seperti Vietnam, Thailand, China dan Malaysia. "Terdata tahun 2010 penangkapan mencapai 108 kasus, yang didominasi oleh kapal asing dari Vietnam, Thailand, Malaysia, China juga dari nelayan kita sendiri," rinci Kepala Seksi Pengawasan DKP natuna, Buyung Priady.

Diketahui pula, kerugian negara terhadap aktivtas illegal fishing ini pada tahun 2010 mencapai Rp30 triliun pertahun dan tahun 2011 turun menjadi Rp18 triliun. "Sementara tahun 2011 hanya delapan kasus semua kapal asing," tutupnya.

Kondisi ini membuat Bupati Natuna, Ilyas Sabli menegaskan akan mendatangkan kapal hiu macan untuk mengawasi illegal fishing oleh kapal asing yang marak terjadi di perairan Natuna. "Sekitar Bulan Juni 2012 mendatang kita akan melakukan penandatangan MoU antara Pemda Natuna dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan pusat untuk operasinya kapal Hiu Macan guna mengawasi aktivitas di perairan Natuna," katanya.

Dia mengatakan, langkah ini tidak bisa ditunda lagi. Karena aktivitas illegal fishing sudah banyak dikeluhkan oleh masyarakat nelayan Natuna."Kita tidak ingin dirugikan lagi dan ujung-ujungnya nelayan kita juga dirugikan. Kondisi ini sangat meresahkan," jelasnya sambil menerangkan semakin banyaknya keluhan masyarakat.

Pengawasan aktivitas nelayan asing di perairan Natuna selama ini diakui sangat kurang. "Karena itu, kita sudah memutuskan untuk bekerja sama dengan DKP pusat untuk menggunakan kapal Hiu Macan dengan sistem sharing biaya operasional," ulasnya.

Diharapkan, katanya dengan pengawasan yang intensif dapat mengurangi aktifitas pelanggaran di perairan Natuna. Walaupun banyak nelayan yang mengeluhkan keberadaan kapal-kapal asing yang melakukan illegal fishing, namun data yang bersumber dari DKP Natuna malah menunjukkan penurunan dari tahun 2010.

Sementara itu, Kepala bidang produksi,Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Natuna Zakimin, di Ranai menyebutkan berdasarkan data produksi perikanan untuk penangkapan terjadi penurunan."Pada tahun 2010 mencapai 42.120,10 ton, namun ditahun 2011 terjadi penurunan sekitar 2.000 ton, yakni 40.114,18 ditahun 2011," urainya. Kondisi ini, menurutnya disebabkan jumlah alat tangkap yang berkurang dari 14.803 unit tahun 2010 menjadi 12.725 unit.

Kenyataan lain, terkait alat tangkap dikeluhkan pula salah satu nelayan dari Kecamatan Pulau Tiga, Atan (34), praktik pencurian ikan sudah sangat meresahkan bagi nelayan."Bahkan, mereka tidak segan-segan lagi masuk ke wilayah empat mil, merusak alat penangkap ikan nelayan, yakni rawai," ungkapnya.

Kapal yang kerap menggunakan bendera Indonesia itu memiliki perahu semut yang turun menggunakan alat tangkap petrol, menarik ikan-ikan yang berada di bawah empat mil, sehingga merusak alat tangkap rawai yang dipasang nelayan Natuna. "Entah bagaimanalah nasib kami," ungkapnya putus asa, walaupun di wilayahnya Pulau Tiga akan dibangun pelabuhan terpadu yang didanai APBN tahun 2012.

Satu lagi kenyataan lain, kembali Pak Weh bercerita pada musim utara, mulai Bulan Oktober hingga awal Januari merupakan panen bagi nelayan-nelayan asing. "Saat itu musim utara, dimana gelombang di laut Natuna bisa mencapai ketinggian delapan meter, manalah bisa kami nelayan tradisional mampu mengarungi lautan di musim utara itu, hanyalah kapal asing yang memiliki lampu kerlap-kerlip di malam hari di tengah lautan yang melaju menebar jala modern," kisahnya panjang tak mampu merekam lagi dalam kaset kecil yang tiba-tiba berhenti berputar.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com