Oleh BI Purwantari dan Hylarius Ninu
Pengalaman traumatis warga Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, sebagai korban gempa dan tsunami membentuk persepsi khusus tentang bencana. Warga tak hanya menyadari petaka yang senantiasa mengintai. Mereka juga melahirkan inisiatif lokal terkait mitigasi bencana.
Meski demikian, inisiatif tersebut masih harus berhadapan dengan realitas kebudayaan dan tuntutan ekonomi. Masih melekat
”Saya sedang tidur setelah pulang melaut. Tiba-tiba istri membangunkan saya, kasih tahu ada gempa. Saya turun ke laut. Tanah terbelah. Saya teriak supaya semua orang lari ke bukit,” cerita Sawarudin mengenang gempa 7,8 skala Richter dan tsunami setinggi 36 meter yang menerjang pantai utara Flores.
Tak kurang dari 700 warga Pulau Babi tewas dan hilang. Sawarudin kehilangan seorang adiknya.
Selain Pulau Babi, Kampung Wuring yang dihuni oleh etnis Bajo yang berumah di atas air juga menjadi wilayah dengan korban yang cukup banyak. ”Korban meninggal di sini 225 orang, kebanyakan anak-anak dan orang tua,” papar Tajudin (68), nelayan Bajo yang lahir di Wuring, wilayah di pesisir utara Pantai Sikka. Di seluruh Kabupaten Sikka, petaka tsunami tahun 1992 merenggut 1.500 nyawa meninggal dan hilang. Selain itu lebih dari 1.000 bangunan juga rusak.
Kabupaten Sikka terletak di bagian tengah Pulau Flores dan dikenal sebagai wilayah rawan bencana. Michael Mane, Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sikka, menyebut, ”Sikka ini seperti supermarket bencana.” Tak kurang dari 15 jenis bencana berpotensi mengancam kehidupan warga Sikka. Dari semuanya, gempa dan tsunami dikhawatirkan mengakibatkan kerusakan paling besar.
Peristiwa gempa bukanlah hal asing. Menurut catatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, sejak awal tahun 2012, di wilayah Sikka terjadi tiga kali gempa berskala 4,7 SR-6,3 SR.
Pengetahuan dan pengalaman traumatis sebagai korban tsunami pada 12 Desember 1992 berkontribusi membentuk kesadaran terhadap bencana. Kesadaran ini ditunjukkan oleh inisiatif mitigasi yang digulirkan pemerintah daerah dan warga.
Dari pemerintah lokal, khususnya BPBD Sikka, bekerja sama dengan beberapa lembaga swadaya masyarakat menyelenggarakan sosialisasi, pembentukan Forum Pengurangan Risiko Bencana berbasis sekolah dasar dan madrasah. Sejumlah jalur evakuasi beserta petunjuk arah evakuasi terpasang di Dusun Wuring, Kelurahan Nangahure, dan area pesisir pantai.
Inisiatif lokal dari warga pun muncul menanggapi kondisi geografis rawan gempa. Stefanus, sarjana teknik sipil dan guru di STM Negeri I Maumere, merancang dan membangun rumah konstruksi bambu yang diyakini tahan gempa. Rumah ini berfondasi batu, tetapi kolom dan dinding memakai konstruksi bambu yang diplester pasir dan semen.
”Karya ini didorong pengalaman sebagai korban gempa dan bekal pendidikan serta pelatihan guru-guru kejuruan teknik sejak tahun 2000,” papar Stefanus yang mengajar bidang konstruksi bangunan. Menurut dia, ada 10 sekolah dasar dan 6 rumah yang telah memakai konstruksi ini.
Di samping sejumlah inisiatif lokal, mitigasi bencana di wilayah Sikka diwarnai realitas kebudayaan masyarakat pesisir utara. Di Kampung Wuring, Kelurahan Wolomarang, bermukim sekitar 440 keluarga etnis Bajo, Buton, Bugis, dan Bone yang berumah di atas air. Sebagai orang laut, komunitas ini tak bisa hidup menjauh dari laut. Seperti diungkap La Dato (56), warga Wuring, ”Ibaratnya kami ini begitu turun dari rumah sudah di perahu.”
Pasca-petaka tsunami 1992, warga Kampung Wuring direlokasi oleh pemerintah daerah ke arah bukit, yakni di Kelurahan Nangahure. Namun, sebagian besar kembali ke Kampung Wuring dan membangun lagi pondok-pondok kayu di atas air. Pondok-pondok itu menghadap langsung ke laut lepas. Tak ada penghalang apa pun.
”Di Nangahure kami diberi rumah jatah, tetapi letaknya jauh dari pantai,” cerita La Dato. Bagi La Dato dan warga Bajo lainnya, jarak rumah ke laut menjadi representasi penghidupan ekonomi dan budaya. Jika jarak tersebut terlalu jauh, sama artinya dengan mematikan ekonomi dan kebudayaan mereka. Rumah, perahu, dan air laut adalah satu kesatuan. Pengalaman traumatis 20 tahun silam tak mampu mengikis rasa kesatuan tersebut.
”Setelah 1992, Kampung Wuring itu sudah ditetapkan sebagai wilayah garis merah,” kata Lurah Wolomarang Yoris.O. Florino. Menurut dia, program relokasi tidak berhasil sepenuhnya karena wilayah Wuring-Wolomarang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi dibandingkan Dusun Wuring di Kelurahan Nangahure.
”Saat musim ikan, penghasilan kami hanya Rp 100.000 per hari karena harga ikan turun. Tetapi, di luar musim itu, kami bisa bawa pulang Rp 300.000 per hari,” kata La Dato.
Aktivitas di wilayah pesisir yang berpotensi terkena tsunami tak hanya di Kampung Wuring. Dari 160 desa dan kelurahan di Sikka, sekitar 20 di antaranya ada di wilayah pesisir. Di tempat-tempat ini kepentingan ekonomi, khususnya sektor perikanan, sangat kuat.
Jika tsunami melanda lagi, dampak korban jiwa seperti kejadian tahun 1992 tampaknya akan sulit dihindari.