Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebocoran Parkir Terjadi Terus-menerus

Kompas.com - 12/10/2012, 03:22 WIB

Jakarta, Kompas - Lima tahun terakhir, pendapatan pajak parkir di DKI Jakarta tidak pernah mencapai target. Potensi kebocoran terjadi karena longgarnya pengawasan laporan pendapatan parkir. Kondisi itu diperburuk minimnya petugas untuk mengawasi kejanggalan laporan keuangan para pengelola parkir.

”Target tidak pernah tercapai karena beberapa faktor di antaranya kepatuhan wajib pajak. Setiap tahun, tingkat kepatuhan sekitar 85 persen, masih ada 15 persen yang belum patuh membayar pajak parkir kepada pemerintahan daerah,” kata Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Iwan Setiawandi, Kamis (11/10), di Jakarta.

Iwan mengatakan, dengan pegawai yang minim, pihaknya berusaha menegakkan aturan mengenai perpajakan. Sebenarnya ada sanksi administratif dan pidana terhadap mereka yang tidak memenuhi kewajiban membayar pajak parkir. Sanksi administratif berupa pemberlakuan pajak 25 persen dari pendapatan parkir. Sementara sanksi pidana, pelaku dapat dikenai hukuman penjara satu sampai dua tahun jika terbukti membuat laporan fiktif.

”Namun, sanksi ini belum sampai kepada semua wajib pajak yang nakal. Kami hanya berlakukan kepada pelanggar pajak skala besar. SDM (sumber daya manusia) kami terbatas,” kata Iwan.

Dia mengakui, ada titik kritis aliran dana pajak parkir sampai ke kas daerah. Titik kritis itu pada tingkat kepatuhan wajib pajak yang belum maksimal. Kerawanan lain dalam proses pemeriksaan pegawai pajak dengan pengelola parkir.

”Di sana sangat rawan ada transaksi ilegal, maka perlu pegawai yang memiliki integritas tinggi. Sebaiknya, mulai menggunakan teknologi untuk mengontrolnya,” katanya.

Pendapatan dari sektor parkir dapat digolongkan dalam retribusi dan pajak. Pendapatan retribusi ini dikelola pemerintah yang meliputi parkir di badan jalan (on street) dan di luar badan jalan (off street). Sementara pajak parkir dipungut dari pengelola parkir swasta yang seluruhnya di luar badan jalan.

Berdasarkan catatan Kantor Dinas Pelayanan Pajak DKI, sebanyak 827 pengelola parkir wajib menyetor 20 persen dari pendapatannya kepada pemerintahan daerah. Dari jumlah itu, per September 2012, ada 704 wajib pajak melakukan kewajibannya, sedangkan 123 wajib pajak lainnya atau 14,87 persen belum memenuhi kewajiban.

Mencapai 50 persen

Kebocoran pendapatan dari parkir, menurut anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta, Andyka, bisa mencapai lebih dari 50 persen. Pengawasan yang minim dan regulasi yang kurang matang membuat kebocoran terus terjadi. ”Untuk parkir on street, kebocoran terjadi karena petugas parkir terbatas. Keluar masuk kendaraan tidak terdeteksi serta tarifnya pun dipukul rata. Karcis pun ada yang diberi dan ada yang tidak,” ujarnya.

Setoran parkir di pinggir jalan yang masuk dalam kategori retribusi tidak diatur berdasarkan jumlah kendaraan atau lama waktu parkir. Parkir itu lebih banyak dikelola organisasi atau warga setempat sehingga pemerintah sulit menentukan besaran tarifnya. Setoran itu masuk ke Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perparkiran. Alirannya mulai dari juru parkir kepada penanggung jawab tempat parkir lalu ke UPT Perparkiran. Kebocoran parkir off street sangat mungkin terjadi karena tidak ada audit terhadap penerimaan parkir.

”Datanya sangat rentan dimanipulasi karena tak ada pengawasan. Komputer yang menghitung keluar-masuk kendaraan tidak bisa dilihat,” kata Andyka.

Biasanya pengelola parkir dalam gedung menyerahkan kepada operator. Namun, saat akan diperiksa, operator dan pengelola saling lempar tanggung jawab. Perlu sistem online untuk meminimalisasi kebocoran itu.

Tidak profesional

Ketidakprofesionalan pengelolaan parkir di Jakarta mudah terlihat di mana-mana. Di kawasan bisnis, seperti di sepanjang Jalan Fatmawati hingga Blok M (Jakarta Selatan), dijumpai petugas parkir berseragam ataupun tak berseragam menjaga luasan lahan parkir tertentu. ”Saya giliran pagi sampai sore. Jaga sederetan depan ruko-ruko ini saja,” kata Iim, salah satu tukang parkir, tak jauh dari ITC Fatmawati. Apabila dicermati, wilayah tugas Iim hanya sekitar 10 deretan ruko.

Dalam sehari, Iim bisa mendapat minimal Rp 30.0000 untuk dibawa pulang. Menurut dia, tarif parkir sepeda motor ditarik Rp 1.000 atau Rp 2.000 jika parkir berjam-jam, sementara mobil minimal Rp 2.000.

Iim tidak tahu pasti uang hasil parkir itu disetor ke mana. Ia hanya tahu ada orang tertentu di kawasan itu yang rutin mengambil hasil kerjanya dan memberinya imbalan. ”Ada yang bilang disetor juga ke RT/RW sampai kelurahan setempat. Namun, saya tidak tahu pasti,” katanya.(FRO/NEL/NDY)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com