Sejumlah kegiatan untuk mempromosikan karawo, yang membuat sulaman unik dan rumit ini kembali naik daun, tak bisa menghapus keresahan akan bayang-bayang punahnya karawo. Perkembangan zaman, teknologi, dan maraknya beragam budaya asing yang dibawa berbagai media membuat penyulam-penyulam resah.
Keresahan antara lain dirasakan Hj Iko Mandai (55) yang sejak kecil sudah pandai menyulam dan kini menghimpun 260 perempuan penyulam. Menurut Iko, keberadaan televisi dengan beragam acara dan beragam teknologi komunikasi di antaranya telepon genggam, iPad, dan jejaring sosial telah merampas minat generasi muda dari tradisi menyulam.
Iko menuturkan, semasa kecilnya, anak-anak yang masih duduk di bangku SD umumnya sudah bisa membuat sulaman. Menyulam biasanya dilakukan sepulang sekolah di sela mengerjakan pekerjaan rumah.
”Sekarang, anak-anak muda lebih senang berada di mal, di warnet, main telepon, dan lainnya. Kalaupun diminta oleh orangtuanya untuk membantu, mereka akan menyulam di depan televisi dan akhirnya lebih banyak waktu yang habis untuk menonton atau sambil SMS-an, BBM-an, Facebook-an ketimbang menyulam. Bahkan, ibu- ibu pun kerap menyulam sambil nonton sehingga pekerjaan menjadi lambat,” kata Iko di rumah sulamnya di Kecamatan Telaha, Kabupaten Gorontalo.
Kalsum (31), penyulam lainnya, bercerita bagaimana siswa SD di sekitar rumahnya akan datang membawa kain dan meminta dibuatkan sulaman jika mereka mendapat tugas keterampilan, membuat karawo dari sekolah.
Kondisi ini membuat Iko kerap membawa pesanan karawo kepada penyulam-penyulam yang berdiam di desa terpencil atau pegunungan. Alasannya, penyulam di desa lebih cepat menyelesaikan pesanan karena tidak banyak gangguan.
”Kalau kami yang di gunung belum banyak gangguan. Tak ada listrik, tak ada televisi, telepon, tidak banyak kegiatan. Makanya kalau ada pesanan bisa lebih fokus mengerjakan setelah tugas rumah selesai,” ujar Ince (45), penyulam di Kecamatan Telaga Biru, Kabupaten Gorontalo.
Berbagai upaya dilakukan untuk mempromosikan sekaligus menaikkan gengsi karawo, termasuk pada generasi muda. Yus Iryanto Abbas, perancang busana, terus membuat rancangan yang mengikuti tren dengan bahan kain yang kian beragam. Adapun John Koraa, perancang motif karawo yang sudah menghabiskan lebih separuh hidupnya membuat rancangan motif karawo, juga terus bereksplorasi menciptakan motif-motif baru yang menarik.
Di instansi pemerintah swasta, berkarawo sekali sepekan dan di acara-acara tertentu sudah digalakkan. Adapun Bank Indonesia tak henti melakukan pendampingan kepada para penyulam, termasuk memberi pelatihan kepada anak-anak SMA.
”Kami berharap mendekatkan karawo kepada generasi muda. Bukan hanya menggugah minat memakai, tapi mau berkecimpung dalam industri karawo,” kata Wahyu Purnama, Kepala Bank Indonesia Perwakilan Gorontalo.
BI sejauh ini sudah melatih sekitar 500 anak dan remaja. Sebagai langkah awal tentu harus dibuat agar karawo enak dipandang, nyaman dipakai, dan dengan model terkini hingga orang akan lebih berminat.
Upaya tersebut layak diapresiasi sebagai upaya membangun benteng pertahanan karawo sebagai identitas budaya Gorontalo. (RENY SRI AYU)