KOMPAS.com - Di tengah hamparan laut luas Nusantara, nelayan Indonesia ternyata hidup merana. Bahkan, kemiskinan, kekurangan, kebodohan, dan keterbelakangan menjadi stigma. "Iya, memang ada stigma seperti itu," aku Kepala Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kelautan dan Perikanan Kementerian Keluatan dan Perikanan (BPSDM-KKP) Sjarief Widjaja pada Jumat (25/1/2013) di kantornya di Jakarta.
Untuk mengikis stigma itu, pendidikan adalah salah satu jalan yang bisa ditempuh. Pilihan itu, kemudian, menjadi salah satu landasan dirinya menulis buku bertajuk Sekolah Nelayan.
Sjarief lebih lanjut memaparkan, di kawasan-kawasan sentra nelayan macam di Indramayu dan Tegal, anak-anak nelayan banyak yang putus sekolah. Mereka kebanyakan mengikuti jejak orang tua, menuju laut mencari ikan.
Masuk akal kemudian, pendidikan bagi generasi penerus itu terbengkalai. Tak cuma itu, ditambah dengan kemiskinan, anak-anak nelayan menjadi begitu berkekurangan. Dalam pengamatan Sjarief, banyak anak nelayan tidak punya sepatu untuk sekolah. "Bahkan, untuk memotong kuku, anak nelayan perlu diajari,"ujar Sjarief.
Berangkat dari keprihatinan itulah, pendidikan menjadi pilihan penting untuk membangkitkan sikap anak-anak nelayan Indonesia mampu menjadi lebih baik, mampu bersaing. "Pendidikan anak nelayan memutus kemiskinan,"kata Sjarief yakin.
Data termutakhir menunjukkan, jumlah nelayan Indonesia ada 2,7 juta jiwa. Mereka tinggal di 10.624 desa nelayan. Total jumlah desa di Indonesia mencapai 78.000 buah.
Bertolak dari pendidikan, di dalam buku setebal 113 halaman itu, Sjarief menggagaskan sekolah lapang sebagai salah satu pemecahan agar anak nelayan bisa setidaknya mendapatkan pendidikan dasar seperti membaca dan menulis. Sejak tahun lalu, pihaknya sudah membuat empat sekolah lapang di perkampungan nelayan Belawan (Sumatera Utara), Cilacap (Jawa Tengah), Kupang (NTT), dan Parigi (Sulawesi Tengah). "Kami menyesuaikan jadwal dengan anak-anak nelayan. Usai melaut, barulah mereka belajar,"katanya sambil menambahkan kalau minimal 40 persen siswa sekolah memang benar-benar anak nelayan.
Menurut rencana, pada tahun ini, lanjut Sjarief, pihaknya akan menambah lagi tujuh sekolah lapang lagi di sentra-sentra nelayan seperti Sibolga (Sumatera Utara), Tegal (Jawa Tengah), Pontianak (Kalimantan Barat), Ambon (Maluku), Sorong (Papua), dan Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat). "Sekolah lapang gratis bagi anak-anak nelayan,"katanya.
Tak cuma itu, daya tampung sekolah lapang juga akan ditambah lipat dua. Sampai dengan akhir tahun ini, target kapasitas mencapai 6.000 siswa.
Pada bagian lain, Sjarief menjelaskan kalau KKP juga meningkatkan kemampuan sekolah-sekolah formal kelautan dan perikanan dengan muatan lokal sesuai dengan lokasi. "Kalau di Tegal, muatan lokal akan terkait dengan perikanan tangkap mulai dari hulu sampai dengan hilir. Di Boyolali, konsentrasinya budidaya lele,"ujarnya lagi sembari menambahkan kalau pihaknya pun mengarahkan lulusan pendidikan sekolah usaha perikanan menjadi wiraswasta bidang perikanan dan kelautan.
Data menunjukkan, sampai kini KKP memiliki 9 Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM), 3 Akademi Usaha Perikanan, dan 1 Sekolah Tinggi Usaha Perikanan. "Di Sekolah Tinggi Usaha Perikanan sudah ada Strata 2 Vokasi Perikanan juga,"kata Sjarief.
Sementara, pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki 167 Sekolah Menengah Kejuruan Perikanan. Lalu, ada 28 universitas negeri yang memiliki fakultas maupun jurusan perikanan. "Ke depan, integrasi antara sekolah-sekolah perikanan itu akan semakin lebih baik," demikian Sjarief Widjadja.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.